cara merawat kucing

Up and Down Merawat Kucing, Hewan Peliharaan yang Dulu Kubenci

No Comments

Photo of author

By jeyjingga

Sejak menikah dengan lelaki yang sangat menyukai kucing, bahkan mencintainya lebih dari mencintai harta bendanya itu, mau tidak mau saya ikut menyesuaikan dengan beberapa kebiasaannya.

Sebelum menikah, suami saya punya 13 ekor kucing yang dipelihara sejak beliau duduk di bangku sekolah menengah pertama. Lalu saat SMA karena harus mondok di Sukabumi lalu meneruskan kuliah di UNAIR lalu lanjut ITB akhirnya kucingnya semuanya hilang. Tidak ada yang bersisa di rumahnya, karena memang sudah tidak ada yang merawat.

Saat menikah pun kami juga tidak langsung punya rumah, jadi keinginannya untuk memelihara kucing harus ditahan dulu. Hingga akhirnya saat pertama kali membangun rumah, ada seekor kucing oren yang sepertinya baru berusia 1 bulan selalu ikut menyambut kami yang datang menengok rumah yang sedang dalam proses pembangunan.

Kucing itulah kucing pertama kami bertiga (saya, suami, dan anak) dan akhirnya saya sepakat untuk memeliharanya begitu kami pindah rumah. Saya beri nama oneng karena warnanya yang oren terang benderang, kontras dengan cat biru tembok luar rumah kami.

Karena Oneng lah saya jadi suka kucing, bahkan menyayangi mereka. Bukan hanya kucing-kucing yang kami pelihara tapi juga kucing-kucing jalanan yang akhirnya membuat saya berempati ketika melihat mereka mengais makanan di jalan-jalan.

Mengambil Pelajaran dari Proses Merawat Lima Kucing dengan Berbagai Sifat Yang Berbeda

tantangan merawat kucing

Setelah Oneng menjadi kucing pertama di rumah kami, suami dan saya juga sepakat untuk mengadopsi satu kucing lagi sebagai pendamping Oneng agar tidak kesepian di rumah.

Datanglah Mori, kucing kedua yang kami pelihara. Lalu tak sengaja datang juga kucing telon yang kami beri nama Oli, datang dalam kondisi tubuhnya berjamur, banyak luka di sana sini, pokoknya memprihatinkan. Kami besarkan ketiganya hingga semuanya siap untuk disteril.

Kucing ketiga adalah Poni, lalu datang yang namanya Lucky, saya juga ditawari sepupu untuk mengadopsi Lili si abu-abu yang lucu dan takut banget dengan manusia. Hingga Lili punya beberapa anak dan saya adopsi dua anaknya yang kami beri nama Soki (karena dia seperti memakai kaos kaki putih dengan baju abu-abu), Tabby, dan Shiro (kucing putih dengan ekor dan telinga abu-abu).

Sayangnya Oli hilang, Poni juga hilang, Lucky kami berikan pada salah satu saudara setelah berhasil steril, jadi di rumah tinggal Oneng, Lili, Tabby, Shiro dan Tabby. Kelimanya adalah anak manja yang selalu menyambut kami saat pulang.

Melihat tumbuh kembang mereka sejak lahir hingga saat ini saya jadi belajar tentang banyak hal.

Karena merawat kucing-kucing saya ini mungkin terdengar sederhana: memberi makan, membersihkan kandang, mengajak mereka main sebentar, selesai. Tapi siapa sangka, dari rutinitas kecil ini kita bisa belajar banyak hal tentang hidup, kesabaran, bahkan tentang diri sendiri.

Sebagai seorang bloger yang tinggal serumah dengan lima ekor kucing domestik dan juga mixdom yang manja tapi kadang menyebalkan, saya ingin berbagi refleksi kecil tentang bagaimana merawat kucing ternyata memberi saya banyak pelajaran berharga yang tidak saya duga sebelumnya.

1. Berlatih Kesabaran

Kucing bukan makhluk yang bisa disuruh-suruh. Bahkan kalau kita memanggil seratus kali pun, dia baru datang kalau dia mau. Kecuali mungkin beberapa kucing yang sudah terlatih yaa. Awalnya mungkin bikin geregetan, tapi di situlah pelajaran pertama datang: kesabaran.

Saya jadi belajar untuk menunggu, untuk tidak memaksakan kehendak, dan untuk lebih memahami bahwa setiap makhluk punya ritme dan keinginannya sendiri. Nggak semua bisa dipaksa, termasuk kasih sayang seekor kucing.

2. Konsistensi Itu Kunci

Memberi makan kucing di jam yang sama setiap hari, membersihkan tempat pasirnya secara rutin, dan memperhatikan perubahan sikapnya adalah bentuk konsistensi kecil yang membuat kita terbiasa hidup lebih teratur.

Tanpa disadari, kita sedang melatih diri untuk menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab.

3. Empati yang Tumbuh Lewat Tatapan Mata

Kucing memang tidak bisa berbicara, tapi ekspresinya itu menurut saya sungguh luar biasa ekspresif. Dari sinilah saya belajar tentang empati. Bagaimana membaca bahasa tubuh makhluk lain, merasakan bahwa mungkin dia sedang tidak nyaman, sakit, atau hanya butuh ditemani.

Merawat kucing mengajarkan kita untuk lebih peka, tidak hanya pada hewan, tapi juga pada orang di sekitar kita.

4. Cinta Itu Butuh Ruang

Berbeda dengan anjing yang selalu antusias dan menempel terus ke pemiliknya, kucing adalah makhluk yang mencintai dari kejauhan. Kadang mereka datang untuk manja, lalu pergi begitu saja setelahnya. Dari situ, saya belajar bahwa cinta yang sehat bukan tentang kepemilikan, tapi tentang kebebasan. Kita harus bisa mencintai tanpa mengekang.

Duh jadi keinget saat si Poni, kucing kami yang meninggalkan rumah selama dua minggu dan ternyata sudah ditemukan tidak bernyawa oleh penjaga kebun kami di jalur menuju ke sungai yang biasa dilalui oleh para petani jeruk. Pun dengan Mori yang tiba-tiba saja hilang padahal sebelumnya minta dimanja oleh saya dan suami semalaman.

Ia tak pernah kembali lagi dan kami selalu mendoakan Mori dalam kondisi sehat dan ditemukan oleh orang yang sayang dengan kucing.

5. Menghidupkan dan Menghargai Momen Sekecil Apapun Itu

Tidak ada hal besar yang terjadi saat bermain dengan kucing memang, kecuali kucing kita bersahabat dengan kucing istana presiden, Bobby. Momen kita bersama kucing mungkin hanya lima menit kejar-kejaran tali, atau mereka tidur melingkar di samping kita saat kerja. Atau datang ke pangkuan kita saat selesai salat, masih banyak lagi tingkah ajaib mereka yang sebenarnya adalah momen kecil tapi akan terus terkenang dalam hati kita.

Tapi anehnya, momen-momen kecil itu punya kekuatan besar untuk menghangatkan hati. Karena hal itulah saya menjadi orang yang lebih menghargai momen. Lebih bisa berhenti sejenak dari kesibukan, dan menikmati kebersamaan yang hening tapi damai.

Bahkan momen sekecil saya cuci piring, lalu mereka bangkit dan melingkari kaki, bukan minta makan, mereka tahu saya sudah selesai makan, sudah kenyang dan butuh rehat dari aktivitas. Mereka hanya minta dielus perut dan lehernya, juga kepalanya. Hanya itu.

Siapa sangka, dari seekor kucing yang suka mencakar sofa, manjatin gorden, dan merusak dudukan motor kami, kita bisa belajar banyak tentang hidup? Ternyata, menjadi ‘parent’ bagi makhluk kecil berbulu ini bukan hanya soal memberi, tapi juga menerima pelajaran, kebahagiaan, bahkan kesabaran.

Kalau di antara teman-teman sedang mempertimbangkan untuk merawat kucing, mungkin ini saat yang tepat. Karena bisa jadi, justru dia yang akan ‘merawat’ bagian diri kita yang selama ini diam-diam butuh sentuhan lembut kasih sayang.

cara merawat kucing

Tantangan Merawat Kucing

Sebagaimana yang dialami oleh semua pawrents, tantangan merawat kucing pasti ada. Namun bukan manusia namanya kalau kita tidak bisa mencari solusinya. Karena manusia adalah makhluk berakal, sudah semestinya tantangan kucing bukan menjadi hambatan untuk memeliharanya.

Beberapa tantangan ketika merawat kucing di antaranya :

  • Extra Cost baik saat kucing berada di dalam rumah maupun ketika kita harus keluar kota. Menyediakan pakan yang berkualitas untuk kucing adalah satu tantangan tersendiri, karena itu artinya kita harus siap merogoh kocek lebih dalam. Belum lagi jika kita harus keluar kota, maka ongkos untuk membayar catsitter atau memasukkan kucing ke hotel tentu adalah hal yang harus kita perhitungkan karena lumayan banget lah.. 
  • Membersihkan rumah harus setiap hari! Tidak bisa dua hari sekali atau seminggu sekali, setiap hari saya harus ngepel kalau tidak ingin bulu kucing bertaburan di dalam rumah, juga dengan debu-debu yang mereka bawa dari luar. Belum lagi dengan tempat pup atau pipis kucing yang harus dibersihkan setiap hari dan tempatnya dipisah dengan tempat tinggal kita agar ruangan tidak berbau.
  • Siap untuk steril. Kita semua tahu bahwa jika tidak melakukan steril, maka kucing yang berkembang biak tidak akan terkendali. Hal ini membuat kita kewalahan dan tentunya juga mengganggu kesehatan kucing.
  • Harga dokter hewan yang masih relatif mahal. Memang sih, dibanding manusia, pengobatan untuk beberapa kasus pada kucing tidak mahal. Namun yang namanya makhluk hidup, tentu harus kita perhitungkan biaya untuk kesehatannya pula. Apalagi jika di kota tempat tinggal kita tidak banyak dokter hewan, sudah pasti harganya akan lebih mahal. Mengobati kucing pun akhirnya menjadi pertimbangan, bukan prioritas utama.
  • Lingkungan yang tidak mendukung juga menjadi salah satu tantangan terbesar bagi kita sang pencinta kucing dan yang memeliharanya. Ada banyak kejadian yang mungkin sudah pernah teman-teman temui bahwa di beberapa tempat di kota Malang ternyata ada daerah yang sengaja meracuni semua kucing hingga tewas. Semua itu karena lingkungan tidak mendukung keberadaan kucing itu sendiri. Mau kucing yang terlatih maupun yang tidak sekalipun.

Wah kalau diteruskan ternyata jadi sangat panjang ya? Hehehe..

Itulah perjalanan saya memelihara kucing. Perjalanan yang dimulai dari perasaan untuk terus menolak hingga perasaan syukur karena bisa memelihara mereka dan menjadikan mereka tempat untuk “pulang” setelah padatnya aktivitas di luar.

Berbagai macam tantangan yang kami lewati ternyata tidak seberapa dengan hangatnya hati ketika mereka menyambut kepulangan kami di rumah.

Leave a Comment