Kenaikan harga tiga jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi merupakan pil pahit bagi sebagian besar masyarakat. Baru saja ekonomi masyarakat pulih setelah pandemi Covid-19, kini dihadapkan pada kondisi naiknya harga beberapa jenis BBM yang diikuti oleh kenaikan biaya lainnya. Seperti transportasi, bahan pangan, dan lainnya. – Rizal Wijaya sebagai Host dalam Diskusi Ruang Publik KBR dan YLKI 8 November 2022
Kementrian Keuangan menyebut BBM bersubsidi saat ini lebih banyak dinikmati oleh rumah tangga mampu. Karena itu, penyaluran BBM bersubsidi kepada masyarakat yang tidak mampu adalah hal yang penting. Bagaimana memastikan BBM bersubsidi ini diterima oleh kelompok masyarakat yang tepat? Seperti apa dampak kenaikan BBM bersubsidi terhadap lingkungan dan juga tingkat konsumsi BBM di masyarakat?
Dalam diskusi Ruang Publik edisi 8 November 2022 turut hadir narasumber : Tulus Abadi sebagai Ketua Pengurus Harian YLKI, Luckmi Purwandari, ST. M.Si, sebagai Direktur Pencemaran Udara KLHK, Maompang Harahap, ST., M.M. sebagai Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas, Dr. Syafrin Liputo,A.T.D.,M.T sebagai Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
Serta narasumber webinar bersama blogger dan influencer yang dihadiri pula oleh Narasumber kredibel Bapak Tri Yuswidjajanto Zaenuri – Kelompok Keahlian Konversi Energi ITB, yang turut memberikan rekomendasi dan solusi bagaimana sebaiknya kita sebagai masyarakat dan juga Pemerintah menghadapi persoalan BBM bersubdisi ini.
Selayang Pandang Kondisi DKI Jakarta dan Pengendalian BBM Bersubsidi di Dalamnya
Pengendalian BBM bersubsidi tepat sasaran merupakan topik yang cukup serius karena menyangkut masa depan DKI Jakarta, sebagai cerminan dari kota-kota besar lain di Indonesia. Bersama Bapak Tulus Abadi sebagai Ketua Pengurus Harian YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) di sesi pertama Diskusi Ruang Publik KBR, dipaparkan bahwa pengendalian BBM menjadi hal yang sangat krusial, apalagi di wilayah DKI Jakarta.
Karena meskipun transportasi publik di Jakarta sudah sangat bagus namun tetap saja pengguna kendaraan roda dua empat ini adalah kendaraan yang paling banyak menyerap penggunaan BBM.
Pada konteks lingkungan, Jakarta menjadi kota yang sering diklaim sebagai kota yang paling besar dalam hal terpapar polusi di Indonesia, dan tidak lama lagi di dunia. Kenyataan tersebut ternyata juga berbanding lurus terhadap penggunaan kendaraan pribadi dengan bahan bakar yang tidak ramah lingkungan. Sehingga berkontribusi secara signifikan terhadap pencemaran lingkungan.
Pengguna kendaraan pribadi roda empat dan dua di Jakarta ternyata juga kebanyakan dari golongan mampu, sehingga muncullah ketidakadilan ekonomis dan ekologis dalam hal ini.
Masih disebutkan oleh Bapak Tulus bahwa dalam mengatasi soal kemacetan dan polusi ini kita dapat mendominasikan penggunaan angkutan umum dan bagaimana caranya agar bahan bakar di Jakarta harusnya menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan sesuai standar Euro.
Ketergantungan kendaraan pribadi memang sangat tinggi meskipun nanti akan disasar dengan penggunaan kendaraan listrik misalnya. Namun lagi-lagi hal tersebut belum bisa mengatasi dan mengurangi tingkat polusi di Jakarta.
Menurut data terakhir, Bapak Tulus menyebutkan bahwa penggunaan kendaraan roda dua ternyata juga semakin tinggi dan dominan. Selain itu tentu distribusi polusinya akan semakin merata (tidak hanya di tempat-tempat yang dikatakan sebagai pusat ekonomi), tapi juga sudah masuk ke gang-gang sempit yang disebut sebagai kawasan “rentan ekonomi” dan terjadilah di sana polusi udara, polusi suara, dan yang semisal.
Inilah yang harus diantisipasi oleh Pemprov DKI, harapannya Jakarta akan menjadi kota yang lebih manusiawi, lebih ramah dan layak untuk ditinggali dari sisi ekologis dan ada keadilan ekonomi dengan menghidupkan penggunaan bahan bakar yang lebih adil.
Sebenarnya mengapa Jakarta? Karena Jakarta sebagai barometer nasional, dan penggunaan kendaraan pribadi baik roda dua maupun empat di Jakarta 35% di antaranya adalah kendaraan pribadi yang berputar di sekitar Jakarta dan Jabodetabek. Artinya ini urgent untuk pengendalian kendaraan pribadi dan bahan bakar sebagai salah satu sumber energi.
Sayangnya selama ini kita hanya fokus pada kendaraannya, bukan pengendalian bahan bakarnya. Kalau masyarakat masih saja menggunakan bahan bakar seperti Pertalite atau yang setara dengan itu misalnya, maka kualitas lingkungan hidup kita akan memburuk. Minimal Pertamax deh, karena dengan begitu kita bisa mengurangi emisi dan polusi langit-langit Jakarta (Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI).
Inilah yang seharusnya dikendalikan oleh Pemprov Jakarta. Jangan menganggap biasa ketika langit Jakarta selalu mendung, karena bisa jadi memang langit tersebut karena selimut polusi yang mendukung terjadinya cuaca buruk.
Saya juga sependapat dengan Bapak Tulus bahwa selama tidak ada kesadaran dari masyarakat kita sendiri, maka selama itulah polusi akan semakin tak terkendali.
Pentingnya Transformasi Masyarakat dalam Pengendalian BBM Bersubsidi Tepat Sasaran
Selain Bapak Tulus Abadi, turut hadir juga narasumber pada kesempatan hari itu, yakni Bapak Maompang Harahap, ST., M.M. sebagai Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas.
Beliau juga menyatakan bahwa sebenarnya sudah ada pengendalian bahan bakar solar yang sudah diatur dalam Perpres. Namun masalahnya adalah di satu sisi Pemerintah menjamin pasokan bahan bakar sementara di sisi lain ada subsidi dan kompensasi. Dua hal yang menurut saya sebagai orang awam cukup bertolak belakang. Satu sisi ingin meringankan beban rakyat namun di sisi lain Pemerintah juga mendukung masyarakat untuk menggunakan bahan bakar fosil dengan jaminan pasokan itu sendiri.
Namun tetap saja yang paling memengaruhi hal ini adalah bagaimana masyarakat bisa bertransformasi, jika sudah mampu janganlah menggunakan bahan bakar bersubsidi. Setidaknya kita bisa membantu masyarakat yang lebih membutuhkan, Pemerintah, dan kita juga ikut bersumbangsih untuk mengurangi polusi di sekitar kita.
Dukungan Pemprov DKI Untuk Pengendalian BBM Bersubsidi Tepat Sasaran dengan Penyediaan Transportasi Publik yang Nyaman dan Aman
Bersama dengan narasumber dari Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Bapak Dr. Syafrin Liputo,A.T.D.,M.T dalam diskusi pagi itu bahwa sebenarnya Pemerintah juga sudah menyediakan layanan transportasi publik untuk menekan penggunaan BBM bersubsidi.
Pengaruh pada masyarakat bagaimana? Apakah sudah berbondong-bondong menggunakan transportasi publik dibanding menggunakan kendaraan pribadi?
Nah, di sinilah tantangannya. Terkait dengan kebijakan transportasi publik di Jakarta ternyata dulu pengguna TransJakarta masih menyentuh angka 300ribuan orang. Lalu transportasi umum diintegrasikan secara penuh hingga sebelum pandemi pun akhirnya pengguna TransJakarta naik 3x lipat. Pada Januari 2020 lalu menyentuh angka 1juta pengguna.
Berapa BBM yang bisa dihemat masih memerlukan penelitian lebih. Namun dengan langkah ini sudah bisa menurunkan penggunaan kendaraan pribadi.
Selain itu angkutan umum yang telah disediakan juga sudah memiliki standar yang cukup tinggi. Layanan TransJakarta juga sudah steril lajunya, selain itu KRL dan MRT juga sudah diatur kepastian berangkatnya sehingga ini dapat membantu masyarakat untuk bisa sampai ke tujuan tepat waktu.
Tidak hanya turut berkontribusi untuk menekan polusi dan juga pemakaian kendaraan pribadi, namun dengan menggunakan transportasi umum kita juga bisa menghemat biaya transportasi. Untuk tiket Transjakarta hingga KRL pun hanya 10ribu rupiah saja. Sangat terjangkau dan masyarakat bisa menghemat biaya transportasi dengan menggunakan transportasi umum yang sudah disediakan.
Lalu jika memang sudah mengalami peningkatan pengguna transportasi umum di Jakarta apakah pencemaran udara di Jakarta juga sudah terbukti turun?
Apakah Kualitas Udara di Jakarta Membaik Setelah Diberlakukannya Pengendalian BBM Bersubdisi?
Bersama Ibu Luckmi Purwandari, ST. M.Si, dugaan saya perihal kondisi udara di Jakarta semakin menguat setelah beliau membeberkan fakta dan data di lapangan. Bahwa sumber pencemaran udara di Jakarta memang lebih banyak disebabkan karena kendaraan bermotor dan juga aktivitas industri di sekitarnya.
Namun sebelum dan sesudah pandemi yang terjadi selama dua tahun belakangan, dapat dikatakan bahwa berdasarkan data dari KLHK pencemaran udara tren-nya menurun beberapa bulan terakhir di 6 stasiun pemantau kualitas udara di Jakarta.
Persentase penurunan memang belum dihitung, namun tren-nya sudah turun. Sebab menurunnya tren pencemaran udara di Jakarta tersebut bisa jadi karena ada dua kemungkinan dalam hal ini:
- Karena masyarakat sudah mulai beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum sehingga penggunaan bahan bakar banyak berkurang. Atau bisa juga dikarenakan:
- Masyarakat sudah mulai sadar untuk menggunakan BBM non subsidi yang lebih ramah lingkungan, sehingga emisi bahan bakar pun juga ikut menurun.
Namun untuk diketahui butuh berapa lama hingga udara bisa bersih setelah diberlakukan kebijakan ini? Hal ini harus diteliti lebih dalam lagi dan membutuhkan waktu untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut. Barangkali beberapa bulan lagi Ibu Luckmi bersama team akan menghitung dan menganalisisnya.
Yang pasti udaranya semakin membaik, persentase standar pencemaran udara juga semakin menurun. Hal ini tentu saja tidak lepas dari berbagai usaha yang telah dilakukan oleh banyak pihak. Salah satunya sejak tahun 2017 sudah diberlakukan peraturan agar kendaraan yang diproduksi baru-baru ini harus memenuhi standar baku mutu emisi yang sesuai dengan standar dunia untuk mencegah pencemaran lingkungan.
Lalu kendaraan yang bisa memenuhi baku mutu emisinya pajaknya akan lebih ringan dibanding kendaraan yang baku mutu emisinya melebihi standar (dan ini sedang digodog bersama agar segera terealisasikan).
Kualitas udara ini tentu saja tidak hanya dari emisi bahan bakar kendaraan, tapi juga dari industri, topografi, meteorologi, hingga faktor bencana alam. Sebagai manusia yang memiliki ilmu untuk itu maka kita kerjakan apa yang kita bisa lakukan. Seperti mengurangi penggunaan kendaraan bermotor (terlebih lagi pribadi), mengurangi penggunaan AC untuk mengurangi pencemaran udara, dan juga ikut menanam pohon di lingkungan sekitar.
Sebab kualitas udara membaik juga didapatkan dari teknologi kendaraan yang mampu menekan emisi bahan bakar yang diproduksinya. Kendaraan yang diproduksi mulai tahun 2016 sampai sekarang kualitas teknologinya lebih baik dalam menghasilkan emisi daripada kendaraan yang diproduksi di bawah tahun-tahun tersebut.
Pernyataan tersebut juga didukung oleh Bapak Tulus Abadi bahwa kemungkinan membaiknya kualitas udara tersebut dikarenakan adanya migrasi dari penggunaan bahan bakar dari Pertalite ke Pertamax sehingga ada penurunan emisi bahan bakar di Jakarta. Sehingga bisa dikatakan hal ini cukup efektif, meskipun tetap saja masih belum bisa mengurangi dominasi kendaraan pribadi. Karena transportasi umum itu sendiri mungkin belum bisa mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat.
Rekomendasi Pengendalian BBM Bersubsidi di Wilayah DKI Jakarta
Dalam bincang publik KBR bersama YLKI pagi itu didapatkan simpulan dari Bapak Tulus bahwa subsidi energi adalah untuk masyarakat tidak mampu. Jadi subsidi energi itu memang hak kita, namun untuk masyarakat tidak mampu.
Lalu apakah pengguna roda empat adalah termasuk ke dalam masyarakat tidak mampu? Tentu saja tidak. Kita kembali lagi pada terminologi tepat sasaran, yang berarti bukan pengguna roda empat. Bagaimana dengan pengguna roda dua? Mungkin sebagian iya dan sebagian juga tidak.
Masih ada 30% yang rentan ekonomi baik roda dua maupun roda empat. Sialnya 70% pengguna kendaraan pribadi dibeli dengan proses kredit dan banyak yang mengalami kemacetan, dalam hal cicilan (inilah yang akhirnya bisa menjadi kelompok rentan ekonomi).
Oleh karena itu untuk pengendalian BBM bersubsidi tepat sasaran di wilayah DKI Jakarta ini setidaknya ada dua langkah yang bisa kita lakukan bersama-sama:
- Insentif: Pemprov DKI menyediakan sebanyak mungkin transportasi umum untuk masyarakat yang berkapasitas tinggi dan juga nyaman untuk pengguna.
- Disinsentif: Kalau masyarakat masih tidak mau menggunakan angkutan umum yang disediakan maka ia harus mau menggunakan BBM yang lebih mahal dan jauh lebih baik karena ia sudah ikut mencemari kualitas udara di kawasan tersebut. Mau tidak mau penggunaan bahan bakar harus yang ramah lingkungan jika memang mereka masih tidak mau menggunakan transportasi umum.
Selain itu kebijakan yang sudah berlaku seperti mobil yang belum lulus uji emisi, dia akan terkena tarif parkir yang mahal (ini salah satu contoh upaya Pemprov DKI Jakarta untuk mengurangi dampak tersebut).
Berbagai upaya telah dilakukan bersama-sama mulai dari YLKI, Pemerintah, dan instansi terkait, tinggal masyarakatnya saja ini yang mau atau tidak untuk diajak bergerak dan memperbaiki kualitas udara kita bersama.
Jadi sebenarnya bagaimana? Apakah Subsidi BBM masih perlu dipertahankan?
Subsidi BBM Perlukah Dipertahankan?
Dalam kesempatan selanjutnya dalam webinar hadir narasumber Bapak Tri Yuswidjajanto Zaenuri – Kelompok Keahlian Konversi Energi ITB menyebutkan bahwa kendaraan bermotor roda dua dengan RON 90 dibanding menggunakan RON 92 sebenarnya tidak jauh berbeda untuk penggunaan bahan bakarnya. Kita hanya menghemat 1000 rupiah saja setiap hari ketika menggunakan bahan bakar non-subsidi.
Selisihnya hanya sedikit dan tidak sebanding dengan efek yang dihasilkan untuk lingkungan kita. Subsidi BBM yang diberikan Pemerintah senilai triliunan rupiah (sebagaimana yang telah teman-teman lihat dalam tangkapan layar tersebut di atas) itu nyatanya belum efektif dan lingkungan kita masih saja tercemar. Karena nilai efektifitasnya hanya sebesar 30% saja, lainnya menjadi polusi dan terbuang.
Namun mengingat semua masyarakat kita belum mampu, maka sebaiknya kebijakan subsidi BBM tersebut dipermudah. Anggaplah roda dua butuh subsidi karena mereka kalau punya lebih banyak uang pasti beli mobil, jadi bolehlah kendaraan roda dua mendapatkan subsidi BBM.
Kendaraan yang mendapatkan subsidi BBM bisa diberikan Plat kuning (bekerjasama dengan kepolisian). Sehingga tidak perlu lagi melihat besar cc mobil, tidak perlu lihat tipe, dan lain-lain. Adapun untuk taxi online dimudahkan untuk transmigrasi ke plat kuning. Pelaksanaannya pun lebih mudah, tidak perlu aplikasi yang masih menjadi kontroversi sampai saat ini.
Dari sisi teknologi bisa dibuat atau dipaksa dengan: kendaraan tersebut hanya cocok dengan bahan bakar tertentu. Ini bisa dilakukan oleh Pemerintah bekerjasama dengan penyedia kendaraan untuk mengatur beberapa mobil yang tidak bisa digunakan dengan RON rendah, sehingga mereka tidak akan bisa menggunakan BBM bersubsidi.
Sekarang juga sudah mulai ada beberapa merk mobil yang tidak memberlakukan garansi jika pengendara tidak menggunakan BBM yang direkomendasikan. Selain servicenya harus bayar, garansinya juga gugur. Ini juga efektif.
Kendalanya ada di sales yang tidak mengetahui product knowledge, namun biasanya setidaknya 3 bulan sebelum ia menjadi sales ia sudah diberikan pelatihan tentang product knowledge tentang kendaraan tersebut. Misalnya saja penggunaan beberapa merk di Toyota bahwa untuk tipe mobil tertentu sales sudah memberitahukan bahwa mobil tersebut tidak bisa menggunakan bio solar, dan harus menggunakan Pertamina Dex atau Dexlite.
Kalau penjelasan dari produsen itu jelas dan tegas, biasanya sales juga akan menyampaikan hal itu pada konsumen agar ke depannya tidak banyak pengaduan tentang kerusakan hingga garansi yang gugur karena pelanggaran penggunaan bahan bakar.
Bersama dengan Pak Panji Ditlantas Polda Metro Jaya, disebutkan bahwa total kendaraan bermotor di wilayah DKI Jakarta menyentuh 12juta lebih pengendara yang terbagi dalam berbagai jenis kendaraan berpenumpang. Dalam hal ini bahkan kepolisian pun sudah berupaya untuk mengurangi penggunaan BBM yang mencemari lingkungan Jakarta.
Yakni dengan diberlakukannya pembatasan jam kerja untuk mengurai kemacetan dimana-mana, pemberlakukan ganjil genap, memaksimalkan fungsi Kambtibmas untuk terus menyuarakan agar masyarakat menggunakan kendaraan umum, dan lain-lain.
Usaha Pemerintah, YLKI, bahkan hingga blogger maupun influencer seperti tersebut di atas tentu saja tidak akan ada artinya jika tidak dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat juga. Jika dobrakan yang dilakukan masyarakat untuk mendukung pengendalian BBM bersubsidi ini terus berlanjut dan dilakukan secara masif diiringi dengan sikap menjaga lingkungan, saya yakin Jakarta sebagai ibukota negara kita akan menjadi kota yang lebih baik.
Menjadi kota yang lebih manusiawi (meminjam kalimat Bapak Tulus Abadi), menjadi kota dengan langit yang biru tak tertutup selimut polusi, dan menjadi kota yang ramah lingkungan dan nyaman untuk ditinggali.
Semoga artikel “Pengendalian BBM Bersubdisi Tepat Sasaran di Wilayah DKI Jakarta” ini bermanfaat. Jangan lupa sebarkan jika dirasa bermanfaat untuk mengedukasi teman, saudara, orang tua maupun pasanganmu ya!
Referensi:
Talkshow Ruang Publik KBR – Pengendalian BBM Bersubsidi Tepat Sasaran di Wilayah DKI Jakarta