M Rozi (50) warga Dusun Senamat Ulu, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi tak kuasa menahan sedih ketika mengingat alat-alat berat milik perusahaan PT Malaka Argo Perkasa menghabiskan sekitar seribu pohon kayu manis berusia lebih dari sepuluh tahun di suatu pagi tahun 2012

Ia hanya bisa diam, terpaku, dan tak mengerti mengapa alat itu tiba-tiba tanpa permisi meratakan sekitar 2,5 hektar kebunnya di lahan hutan desanya itu. Bertahun-tahun ia mengolah tanah itu dan juga hektaran lahan lain di hutan adat dusun tersebut bersama warga lainnya. Namun, mengapa mereka mendapatkan perlakuan tak sopan dari perusahaan-perusahaan sawit itu?

“Dimana letak keadilan di negeri ini?” Ujar Rozi dan masyarakat adat lainnya.

Tentu saja konflik di daerah Senamat Ulu bukan konflik satu-satunya yang mengusik masyarakat adat di sekitar Jambi. Masih ada cerita tentang warga Serampah, Merangin, Provinsi Jambi yang daerahnya berangsur menjadi hamparan kebun kopi. Lalu masih banyak lagi masyarakat adat yang terdesak karena lahannya telah rusak, hutannya tak lagi bisa dilindungi.

Kearifan Sarampas Menjaga Peradaban 

masyarakat adat sarampas

source : mongabay

Kali lain, juga ada masalah yang menimpa masyarakat adat di sekitar Provinsi Jambi juga. Berdasarkan penelusuran tim Kompas Gramedia dalam buku ‘Perjuangan Kelompok Adat Menjaga Hutan di Jambi’, ada begitu banyak hutan dan lahan mereka yang kini gundul atau berubah menjadi kebun kelapa sawit yang menguntungkan perusahaan swasta. Tanpa memperhatikan kelestarian alam, keberlangsungan masyarakat adat, serta warisan hutan yang berharga untuk anak cucu kita.

Konflik pada tahun 2003 masih lekat dalam ingatan Ishak Pendi (50). Ribuan warga pendatang dari daerah tetangga merambah hutan-hutan perawan di Kecamatan Jangkat, Merangin, Jambi. Pegunungan Bukit Barisan Sumatera itu berangsur menjadi hamparan kebun kopi. (Perjuangan Kelompok Adat Menjaga Hutan di Jambi, halaman 16).

Kalau melihat jejak digitalnya, masyarakat adat gelisah melihat perubahan alam di sana yang mungkin tidak kita rasakan di sini, di Pulau Jawa yang menjadi Pusat Pemerintahan Indonesia. Hutan penyangga Taman Nasional Seblat (TNKS) juga ternyata digunduli. Pembakaran hutan dimana-mana. Puncaknya, terjadi ketegangan sosial antara penduduk lokal dan pendatang.

Masyarakat adat setempat meyakini bahwa kehidupan senantiasa akan terjaga dengan menghormati hutan beserta seluruh penghuninya. Inilah bagian dari peradaban Serampas yang lekat dengan alam rimba. Kehidupan mereka tak terusik zaman. Desa-desa tua di wilayah Serampas berlokasi dalam zona inti TNKS. Jaraknya tak sampai 200 kilometer dari pusat ibu kota Bangko, Kabupaten Merangin. Namun untuk menjangkaunya, dibutuhkan waktu seharian perjalanan darat.

Konflik untuk memulangkan datang tentu saja bukan jadi hal yang mudah. Telah terjadi jual-beli lahan dalam hutan adat, yang ternyata ketika ditelusuri ada keterlibatan dari warga lokal setempat karena butuh uang untuk biaya anaknya sekolah.

Lalu masyarakat pun berembuk kembali, pada saat itu para tetua adat sepakat membeli kembali lahan asalkan si pendatang meninggalkan hutan yang berada dalam pengaturan hukum adat Serampas. Sejak saat itulah tak ada yang boleh membeli lahan di wilayah Serampas bagi pendatang. Konflik pun berakhir.

Para pelindung hutan ini juga telah menetapkan aturan-aturan. Seperti larangan menebang pohon di sepanjang tepi sungai, berburu satwa untuk dijual (harusnya hanya untuk makan), bambu, rotan, manau, ataupun getah jelutung juga tak boleh dijual. Kekayaan alam di sana bukan untuk memperkaya diri, tapi untuk memenuhi kebutuhan bersama. Hangat sekali ketika saya membaca aturan ini.

Direktur Mitra Aksi Hambali, yang mengadvokasi masyarakat setempat, menilai bahwa sistem peradaban dan kearifan lokal marga Serampas masih utuh, dalam konteks pengelolaan alam dan hubungan kemasyarakatan. Kondisi desa yang terisolasi (membutuhkan perjalanan darat yang sangat lama untuk bisa sampai kesana) memperkecil interksinya dengan dunia luar.

Pembangunan yang minim menyentuh mereka rupanya justru menguatkan komunitas masyarakat adat ini untuk bertahan menjalani kehidupan dengan kearifan lokal sambil menjaga alam. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Mbak Mina Setra, Deputi IV Sekjen AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Urusan Sosial dan Budaya bahwa masyarakat adat adalah penjaga alam kita. Tak ada mereka, hutan yang kita miliki juga akan lenyap.

Kecerdasan Masyarakat Adat Yang Tak Tersentuh Modernitas

kerajinan tangan masyarakat adat

source : tangkapan layar saat webinar bersama Eco Blogger Squad dan AMAN

Ketika berada di tengah webinar bersama Mbak Mina Setra, Deputi IV Sekjen AMAN beberapa waktu lalu banyak sekali pengetahuan dan sudut pandang baru yang saya dapatkan. Termasuk pandangan terhadap masyarakat adat yang biasanya berkembang di tengah-tengah kami, masyarakat perkotaan.

Mungkin banyak dari kita yang menganggap masyarakat adat sebagai masyarakat dengan pendidikan yang rendah, terbelakangan, jauh dari jangkauan teknologi dan modernitas, pekerjaan yang tidak efisien, dan masih banyak lagi. Padahal kalau kita melihat bagaimana mereka menentukan musim hanya dengan melihat arah angin, menentukan waktu yang pas untuk menanam maupun memanen hanya dengan melihat bulan dan bintang di kegelapan malam, semuanya tepat dan ternyata bisa dibuktikan secara ilmiah.

Kalau kita melihat bagaimana pola tenunan pada kain-kain yang membalut kulit mereka, tas anyaman yang begitu kokoh bahkan bisa digunakan untuk membawa hewan buruan sebesar babi hutan, kita akan dibuat takjub bagaimana insting dan ingatan mereka begitu kuat.

Apakah mereka bodoh? Apakah mereka bisa maju?

Tentu saja mereka tidak bodoh. Karena kalau dikembalikan pada diri sendiri, pasti diantara teman-teman yang hidup di perkotaan akan sulit membuat kain tenun asli buatan tangan tanpa menggambar polanya terlebih dahulu. Pasti sulit untuk kita menentukan musim tanam, musim panen atau bahkan merasakan kehadiran hewan buruan tanpa alat bantuan. Kita pun bodoh di bidang tersebut.

Jadi, seperti yang telah dikatakan oleh Mbak Mina Setra saat webinar kemarin : Jangan pernah mengatakan bahwa masyarakat adat itu bodoh. Jangan pernah mengatakan bahwa masyarakat adat itu ngga ngerti apa-apa. Justru mereka tahu lebih banyak dibanding kita tentang alam dan hutan. Merekalah sang penjaga hutan yang sesungguhnya, yang menjaga nafas dan alam kita.

Kalau dibalik, kita-lah yang bodoh sebenarnya. Sudah tahu teori ini itu soal alam, banyak banget yang tahu soal itu. Tapi apa yang kita lakukan? Duduk berpangku tangan dan hanya melihat pembalakan hutan? Apa langkah nyata yang sudah kita lakukan selain berdoa dalam hati dan diam?

Upaya Masyarakat Adat Menjaga Peradaban dan Kelangsungan Bentala

Kearifan yang ada di dalam masyarakat adat menjadi daya tarik tersendiri. Inilah sebenarnya yang harus ada dalam diri kita, kesadaran tinggi bahwa masyarakat adat adalah penjaga bumi dengan segala kearifannya. Mereka-lah yang menjaga kelangsungan hidup bentala atau bumi kita hingga anak cucu kita nanti bisa menikmatinya.

Kenapa masyarakat adat dikatakan sebagai penjaga bumi?

Karena masyarakat adat tidak mengeksploitasi, mereka mengambil secukupnya saja. Berbeda jika ditangani oleh negara maupun perusahaan. Pasti akan dieksploitasi habis-habisan. Mereka memikirkan anak cucunya, kebutuhan hari ini diambil hari ini. Ya sudah, itu sudah cukup bagi mereka.

Supermarket kami itu ya di hutan 

Begitulah ungkapan mereka. Masyarakat adat hanya akan mengambil apa yang dibutuhkan, bukan untuk dijual apalagi dikuasai. Beberapa gerakan yang saat ini telah mereka lakukan berdasarkan penuturan Mbak Mina Setra, Deputi IV Sekjen AMAN dalam webinar beberapa waktu lalu untuk menjaga kelangsungan masyarakat adat diantaranya :

Gerakan Balik Kampung

gerakan balik kampung

source : tangkapan layar dalam sesi webinar

Gerakan ini juga terpikirkan oleh saya yang tinggal dan lahir di perkotaan dan merasa sangat sumpek dengan semakin bertambahnya penduduk di kota saya. Bertambahnya pendatang dari luar untuk mencari nafkah memang tidak bisa sepenuhnya saya salahkan. Namun, gerakan balik kampung ada benarnya juga kalau ingin pemerataan ekonomi sebagaimana cita-cita kita bersama.

Bayangkan saja ada ratusan ribu mahasiswa setiap tahunnya yang datang ke kota saya. Diantara mereka tentu saja ada yang lulus tahun itu juga, namun ada juga yang tidak. Lalu diantara yang lulus itu, mereka tidak kembali ke kampung halaman masing-masing. Namun mereka menetap di kota ini sambil mencari pekerjaan.

Begitu seterusnya dari tahun ke tahun. Kota semakin penuh sesak, dan kampung atau desa-desa yang mereka tinggalkan akan selamanya seperti itu dari tahun ke tahun. Tak ada perubahan. Andai saja diantara mereka mau mendedikasikan diri mereka setelah mendapatkan ilmu di universitas untuk kembali ke kampung masing-masing, mungkin terasa adil bagi masyarakat perkotaan dan juga penduduk masyarakat adat.

Namun baru-baru ini masyarakat adat telah banyak memetik jerih payahnya dari gerakan balik kampung ini. Beberapa orang yang ingin mendedikasikan dirinya untuk tempat lahirnya kembali ke kampung halaman masing-masing untuk mengembangkan desa-desa mereka dengan ilmu yang dimiliki di bidang masing-masing. Sehingga saat ini banyak kita temui konservasi hutan berbasis pertanian organik, sekolah adat, dan lain-lain.

Konservasi Berbasis Pertanian Organik

konservasi kebun masyarakat adat

konservasi oleh masyarakat adat

 

Pada akhirnya, sekelompok orang yang penuh dedikasi ini pulang ke kampung untuk berkebun dan ternyata berhasil. Diantara mereka ada yang membuat kebun organik, kebun herbal untuk tanaman obat-obatan, bahkan sekarang ada yang menggabungkan itu menjadi pariwisata.

Maksudnya, kebun-kebun tersebut dijadikan sebagai kawasan eco tourism. Tujuannya tentu saja yang paling utama memberikan edukasi pada masyarakat yang datang ke kebun tersebut tentang tanaman-tanaman yang mereka tanam dan apa saja manfaatnya. Selain itu juga menjembatani dan membangun komunikasi yang baik antara masyarakat adat dan juga pihak luar.

Sehingga harapannya, orang-orang seperti saya ini akan memahami betapa berharganya hutan yang selama ini dilindungi oleh masyarakat adat di tanah air kita.

Inilah tugas kita bersama. Menjaga masyarakat adat tetap berada di tempatnya sehingga alam pun akan tetap terjaga. Selain itu sebagai blogger saya pun merasa punya kewajiban untuk memberi edukasi pada masyarakat di luar masyarakat adat agar tidak melecehkan adat istiadat, ikut menggemakan pesan bahwa “jika wilayah adat habis pasti komunitasnya juga akan habis.”

Meskipun kita juga tak bisa menutup mata bahwa tantangan di kalangan internal masyarakat adat sendiri juga perlu diberikan solusi. Seperti menyeleksi pengaruh perubahan-perubahan yang terjadi di dalam komunitas, memeluk perubahan yang datan dan disesuaikan dengan adat istiadat setempat, juga memberikan edukasi pada mereka tentang kesetaraan lelaki dan wanita untuk pengambilan setiap keputusan.

Berat juga ya? Tentu saja, oleh karena itulah keberhasilan kita untuk menjaga masyarakat adat akan diganjar oleh kebahagiaan dan kelangsungan hidup anak cucu kita nantinya.

 

Referensi :

Perjuangan Kelompok Adat Menjaga Hutan di Jambi – Kompas Gramedia

Badujs en Moslims oleh Nicolaas J.C. Geise

Materi webinar tentang Masyarakat Adat bersama Mina Setra