Penjajah sedang mencari-cari sang Raja. Bagaimanapun caranya sang Raja harus tertangkap, hidup maupun mati. Namun sang Raja nampaknya sudah mempersiapkan segalanya. Ia bersembunyi diantara tanaman tebu yang membentang luas di ladang kerajaan. Sang Raja berhasil selamat dari maut. Karena legenda itulah tebu dipercaya dapat mendatangkan rezeki dan juga perlindungan.

Cerita di atas merupakan legenda yang dipercaya oleh masyarakat Tionghoa yang punya tradisi pemasangan tebu terkait perayaan Tahun Baru Imlek. Tebu-tebu tersebut dipasang di depan pintu-pintu rumah.

Selain karena dipercaya dapat mendatangkan rezeki dan juga perlindungan, tebu juga punya nilai filosifinya sendiri. Secara filosofis, tebu merupakan tanaman yang melambangkan kehidupan. Semakin panjang batang tebu itu, maka umur kehidupan juga kian panjang.

Demikian juga dengan ruas setiap batang tebu. Semakin banyak ruasnya, maka dipercaya makin banyak membawa rezeki. Dalam bahasa Mandarin, filosofi tersebut dikenal dengan sebutan Ciek Ciek Shiang Shiang, yang artinya setiap ruas yang ada pada tebu melambangkan tahapan kehidupan manusia.

tebu

Coba kita perhatikan proses pertumbuhan tebu itu. Ketika ditanam, mata tunas secara perlahan menjelma sebagai tanaman tebu baru. Tebu muda ini terus tumbuh menjulang tinggi, kemudian merunduk ke bumi. Ini sama persis dengan jalan kehidupan manusia.

Gunadi dalam nusabali.com mengatakan, tebu juga tanaman yang memilik rasa manis, sehingga disukai banyak makhluk hidup. Dengan filosofi itu, keberadaan manusia di muka bumi ini hendaknya bisa mendatangkan manfaat bagi sesama makhluk hidup. Tak heran jika tebu menjadi salah satu tumbuhan yang saya kagumi sejak kecil.

Melihat perkebunan tebu di pinggiran kota ketika kami bepergian adalah salah satu hobi saya kala itu. Siapa sangka, tebu tidak hanya menyimpan legenda dan nilai filosofis yang mendalam, tapi tebu juga menjadi potensi bahan bakar nabati di Indonesia. Yuk simak bagaimana tebu menjadi pertolongan pertama untuk bahan bakar fosil yang mulai habis.

Dampak Lingkungan BBM Fosil

Dari pembahasan tebu, mari kita bahas terlebih dahulu bagaimana BBM fosil ini berdampak terhadap lingkungan. Disadari atau tidak, penggunaan bahan bakar minyak berbasis fosil saat ini telah menjadi penyebab utama perubahan iklim dunia. Bahan bakar fosil itu seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam yang biasa digunakan manusia sebagai sumber energi.

Sumber energi tersebut digunakan untuk transportasi, industri, dan rumah tangga. Di seluruh dunia, minyak bumi, batu bara, dan gas alam memasok 88% dari kebutuhan energi global. Padahal, ketiga jenis energi itu bisa menghasilkan gas-gas seperti karbon dioksida, metana, dan nitrous oksida yang jumlahnya semakin lama semakin memenuhi kuota atmosfer dunia.

Tidak berhenti di situ, dikutip dari Buku Bahan Bakar Nabati, masalah muncul ketika ketiga jenis gas tersebut meneruskan radiasi gelombang pendek atau cahaya matahari dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau radiasi balik dalam wujud panas bumi. Oleh karena itulah suhu atmosfer bumi semakin panas. Lalu terbentuklah gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim.

bahan bakar nabati untuk perubahan iklim

BBM fosil, baik premium, solar, maupun minyak tanah merupakan bahan bakar yang bersifat tidak bisa diperbaharui (non renewable) yang membutuhkan waktu jutaan tahun untuk membentuknya kembali. Ia juga bersifat mencemari lingkungan dengan efek rumah kacanya, kontinuitas suplainya tidak terjamin, dan bersifat tidak berkelanjutan (non-sustainable). 

Jika tidak ada perubahan pada pola konsumsi kita pada bahan bakar fosil, cadangan BBM diperkirakan akan habis kurang dari 200 tahun lagi. Itu artinya tidak butuh waktu yang lama kita akan kehilangan energi itu. Pada saat seperti itu sudah tidak ada artinya lagi apapun yang kita usahakan seperti penghematan, efisiensi hingga penggunaan teknologi canggih.

Bahkan menurut Dewan Energi Dunia, pemakaian energi yang cenderung naik hingga 50% pada tahun 2020 lalu, cadangan minyak dan gas bumi di Indonesia diperkirakan tidak akan punya umur panjang, maksimal hanya 25 tahun saja.

Oleh karena itu tanpa adanya penemuan cadangan baru, cadangan yang ada hanya akan cukup untuk memenuhi konsumsi 18 tahun saja untuk minyak bumi, sekitar 50 tahun untuk gas bumi, dan sekitar 150 tahun untuk batu bara.

Alternatif Bahan Bakar Nabati dari Pendaman Indonesia

Sebenarnya potensi bahan bakar Nabati di Indonesia ini sangat banyak. Mulai dari pohon jarak pagar, singkong, dan juga tebu semuanya memiliki struktur mirip dengan Bahan Bakar Minyak (BBM). Zat kimia alami yang strukturnya mirip tersebut adalah asam lemak.

Indonesia sangat kaya akan pohon-pohon potensial penghasil minyak lemak. Ditengah impor BBM 360.000 barel/hari, Indonesia justru penghasil minyak lemak terbesar di dunia dengan 31 juta ton/tahun CPO (Crude Palm Oil, Minyak sawit mentah) yang setara dengan 600.000 barel/hari minyak bumi.

Indonesia sepatutnya bangga karena merupakan salah satu negara produsen minyak nabati terbesar.

Ada singkong, jarak pagar, tebu, dan mikroalga yang juga diyakini bisa menjadi Bahan Bakar Nabati. Kita mulai dari singkong.

alternatif bahan bakar fosil

Singkong atau Manihot esculenta

Merupakan tanaman yang sangat mungkin untuk dikembangkan secara besar-besaran di Indonesia. Penanaman dan pemeliharaan singkong pun cukup mudah dan memiliki tingkat produki yang sangat tinggi. Tanaman ini mampu menghasilkan 30-60 ton per hektar.

Berdasarkan daya adaptasinya singkong juga mampu bertahan hidup secara meluas di daerah-daerah yang cukup ekstrim dan umumnya beriklim tropis, seperti Indonesia. Singkong juga termasuk tanaman yang fleksibel karena dapat tumbuh dan berproduksi di daerah dataran rendah maupun dataran tinggi.

Selain itu singkong juga sangat cocok dikembangkan di lahan-lahan marginal, kurang subur, dan miskin sumber air. Lahan-lahan seperti ini jumlahnya berlimpah di luar Jawa yakni mencapai puluhan juta hektar. Oleh karena itu hal tersebut tidak akan menyebabkan terjadinya kompetisi atau perebutan lahan amtara budidaya tanaman singkong dengan padi.

Seiring naiknya harga BBM, pengembangan bioetanol dari singkong mulai terus dikembangkan dan menjadikan komoditas ini kian layak diusahakan sebagai sumber pangan dan energi.

Jarak Pagar atau Jatropha curcas

Selain singkong, ada juga jarak pagar yang merupakan tanaman dengan potensi untuk dijadikan sebagai bahan baku BBN. Dalam hal ini bahan bakar biodiesel. Jarak pagar merupakan tanaman yang hidup pada ketinggian 300 meter di atas permukaan laut.

Kelebihan dari jarak pagar adalah kemudahan dalam budi dayanya. Tidak membutuhkan perawatan intensif, tidak manja akan air, bisa hidup di lahan marginal dan kritis yang miskin hara, umurnya juga bisa lebih dari 50 tahun, dan tidak memerlukan banyak pupuk. Ditambah lagi ia memiliki toleransi yang tinggi terhadap suhu udara, dan banyak manfaat yang bisa dipetik.

Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, bukan hanya minyak lemak yang dihasilkan dari tumbuhan, Indonesia juga memiliki potensi menghasilkan minyak lemak melalui mikroalga. Mikroalga dapat menghasilkan minyak 30x lipat dibandingkan minyak sawit/hektar/tahun. Mikroalga ini banyak ditemukan di perairan tawar maupun laut.

Melalui fakta tersebut, ditambah kenyataan bahwa Indonesia adalah negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, maka para ahli berpendapat bahwa Indonesia seharusnya bisa memanfaatkan ini dan berharap dapat dikomersialkan pada tahun 2030.

jarak pagar

Bahkan untuk memproduksi biofuel baik biodiesel atau bioetanol Indonesia sudah cukup mumpuni dalam hal itu. Indonesia telah cukup memiliki keahlian yang baik untuk mengembangkannya. Sejumlah lembaga seperti lembaga riset Pemerintah, BUMN, perguruan tinggi, hingga perusahaan swasta sudah memproduksi biofuel dalam skala pilot, bahkan komersial.

Bahan baku input biofuel pun beragam. Tidak hanya kelapa sawit, singkong, tebu dan jarak pagar saja, tetapi juga sudah merambah ke minyak jelantah, nipah dan tumbuhan lainnya. Namun dalam artikel ini saya ingin membahas tebu yang sering saya jumpai di sekitar kota tempat saya tinggal.

Saccharum officinarum, Masa Depan Energi di Indonesia

Seperti yang telah kita ketahui, iklim tropis di Indonesia sangat cocok sebagai tempat untuk tumbuh dan berkembangnya Saccharum officinarum atau tebu. Indonesia juga merupakan negara terkaya sumber daya genetik tebu dan diyakini sebagai daerah asal tebu dunia khususnya dari Papua.

Berdasarkan identifikasi kesesuaian lahan yang pernah dilakukan, saat ini setidaknya tersedia sekitar 2 juta hektar lahan yang sesuai untuk tanaman tebu. Lahan tersebut tersebar di Papua (mayoritas), Kalimantan dan juga Maluku.

bahan bakar nabati

Jika perencanaan, kebijakanm dan pengembangannya tepat dan sesuai, sangat mungkin Indonesia akan dapat kembali menjadi negara eksportir gula sekaligus menjadi produsen bioetanol dari tebu, sama seperti Brazil.

Selain itu para ahli gula dunia berpendapat bahwa Indonesia berpotensi untuk mengembangkan industri berbasis gula. Indonesia termasuk salah satu dari 33 negara yang dikenal sebagai IOR (Indian Ocean Rim) yang berperan penting dalam pergulaan dunia, mengonsumsi 29% konsumsi gula dunia, dan menyuplai 33% ekspor gula dunia.

Memang saat ini Indonesia masih menjadi negara importir gula yang amat besar, tapi penilaian para ahli gula dunia bahwa Indonesia berpotensi besar untuk menjadi negara produsen dan eksportir gula dunia bukanlah suatu penilaian yang mengada-ada dan tak berdasar. Yuk saatnya kita membuktikannya.

Suplai dan Konsumsi Bahan Bakar Nabati Saat Ini

Meskipun baru dikomersilkan secara legal sejak 20 Mei 2006, konsumsi biofuel cukup menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari data indikatif penjualan BioSolar dan BioPremium PT Pertamina. Sebagai Badan Usaha Milik Negara, PT Pertamina telah melakukan aksi nyata dengan melakukan penjualan BBN berupa BioSolar B-5 dan BioPremium E-5 pada 210 SPBU di wilayah DKI Jakarta, Surabaya dan Malang.

Contoh SPBU BioSolar di kotaku, di wilayah Kestarian, Kota Malang

bahan bakar nabati

pict from : foursquare

Jika kita semua bekerja sama untuk mendukung pengembangan BBN untuk jangka panjang, pasokan BBN di Indonesia bisa mencapai ratusan ribu barel per hari di tahun-tahun mendatang. Salah satu contoh dukungan sejumlah perusahaan swasta misalnya pada konstruksi pabrik bioetanol berbahan baku tebu oleh Sugar Group di Lampung.

Pabrik berkapasitas 60juta kiloliter itu sudah selesai pada Maret 2007 lalu. Ada juga perusahaan swasta lainnya yang membangun pabrik bioetanol berbahan baku singkong. Pabrik berkapasitas 60 juta kiloliter bioetanol itu sudah selesai pada 2008 lalu. Di masa-masa mendatang, daftar ini pasti akan semakin panjang lagi. Jadi, yuk optimis mengembangkan BBN dengan bahan baku di sekitar kita 🙂

Semoga artikel ini bermanfaat ya!

Source :

madaniberkelanjutan.id

https://ebtke.esdm.go.id/

itb.ac.id

Bahan Bakar Nabati – Tim Nasional Pengembangan BBN