Di tahun 2683, bumi sedang kesakitan. Tanah hijau berubah menjadi kecoklatan. Gersang dibakar api yang semena-mena.
Burbur, burung Kasumba yang terkenal sebagai ilmuwan, tengah menderita atas trauma peperangan 50 tahun lalu terhadap manusia. Burung lainnya, sang Pembawa Kabar, memimpin perjalanan ini hingga suatu waktu Rindang datang dan mengaku sebagai burung Albatros — burung terkuat di muka bumi sekaligus burung legendaris dalam kitab suci kaum burung.
Peradaban burung di tahun 2683 tidak lantas selesai satu malam. Bumi masih menangis saat api tahu-tahu menjilat daratan. Kawanan burung bertaruh nyawa, selagi hutan terakhir di bumi habis dibakar.
Pada tahun 2683 bumi tengah penuh luka. Kisah inilah sebab tangisannya. -Cerita Bumi Tahun 2683 oleh Aesna-
Cerita Bumi tahun 2683 yang ditulis oleh Aesna tersebut mengingatkan saya akan kota-kota yang kini mulai terendam air ketika hujan datang. Kota-kota yang kering kerontang ketika kemarau tiba.
Tahun 2683 masih sekitar enam abad lagi dari sekarang. Saya justru tidak bisa seoptimis Aesna yang mengisahkan bagaimana penderitaan burung Kasumba sebagai spesies terakhir yang bertahan di hutan Kalimantan, Indonesia.
Bahkan mungkin satu abad lagi, bumi ini akan berubah menjadi hitam, tidak lagi coklat. Gosong bukan lagi gersang. Peradaban baru tentu saja tidak akan bisa dimulai kembali. Kita akan musnah dan hanya akan menjadi sejarah.
Lihat saja bagaimana manusia mengotori lautan, membuang sampah di tempat anjing mengeluarkan kencingnya, memborong kopi ribuan kilometer dari tempat mereka berdiri, membeli baju setiap keluar model terbaru, dan masih banyak lagi perbuatan kita yang tak terasa telah membuat bumi ini sakit.
Bahas Soal Perubahan Iklim, Ngga Bosen?
Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC) menegaskan kembali bahwa emisi gas rumah kaca, termasuk karbon dioksida merupakan faktor pendorong utama perubahan iklim yang menyebabkan reaksi berantai sebagaimana yang telah kita rasakan dampaknya akhir-akhir ini. Cuaca ekstrim, peningkatan permukaan air laut, bencana alam seperti kekeringan, banjir, hingga kebakaran hutan.
Emisi Gas Rumah Kaca meningkat sebesar 43% dalam 20 tahun terakhir. Jadi tidak salah jika saya mengatakan tahun 2600 terlampau jauh dari krisis iklim yang sebenarnya sudah sangat dekat. Bisa jadi krisis iklim yang lebih buruk akan terjadi lebih cepat. Kalau sudah seperti ini, apakah kita akan menjadi bosan berbincang tentang perubahan iklim?
Apakah kita akan terus berpangku tangan dan apatis terhadap keadaan? Bisa-bisa generasi Z dan alpha-lah yang nanti akan merasakan dampak dari perubahan iklim nantinya. Mungkin saat ini kita masih bisa mengatasinya dengan AC ketika panas menyengat dan suhu udara mencapai 40 derajat celcius. Namun bagaimana nanti anak-anak dan cucu kita?
Apa yang bisa mereka lakukan ketika pulau-pulau yang dihuninya saat ini tenggelam karena naiknya muka air laut. Bagaimana jika bumi tidak lagi menjadi planet yang ramah untuk manusia? Masihkah kita bosan untuk terus membahas dan memberi edukasi pada yang lainnya? Masihkah kita, #MudaMudiBumi akan selalu apatis padahal kita punya kekuatan untuk melakukan mitigasi perubahan iklim?
Putra dan Putri Indonesia Bersatu Melalau Mitigasi Perubahan Iklim
Semangat Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 2021 menjadikan saya ingin sekali mengajak teman-teman, adik-adik dan siapapun yang dapat menjangkau tulisan ini untuk mengingat kembali bagaimana sumpah kita, sebagai pemuda untuk Indonesia.
Sumpah untuk bertumpah darah satu, tumpah darah Indonesia. Sumpah untuk menjadi bangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan pemuda yang menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Serta bersatu padu untuk melalau, menghalangi, atau mencegah perubahan iklim untuk dunia yang lebih baik daripada sekarang.
Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menghambat laju perubahan iklim sebenarnya. Sebagai pemuda, kita bisa menerapkan hal-hal tersebut untuk kita lakukan bersama-sama. Mulai dari mengurangi food lost dan food waste, penerapan prinsip 5R yang dimulai dari skala rumah tangga, gerakan menanam pohon, dan salah satunya membeli produk lokal untuk memperpendek supply chain energy.
Jika tak bisa menanam pohon karena kekurangan lahan, kita masih bisa menunjukkan kepedulian pada bumi dengan memperpendek supply chain energy dengan beralih pada produk-produk lokal dan membentuk local digital market. Tidak susah bukan?
Bagi saya yang sejak lahir tinggal di kota pendidikan dengan jumlah puluhan Universitas baik negeri maupun swasta, kota Malang sudah penuh sesak dan masih akan terus bertambah setiap tahunnya karena kehadiran pendatang.
Banyak dari teman-teman saya mengamalkan ilmunya di kota tempat ia menggali ilmu sebanyak-banyaknya. Lalu banyak juga dari mereka yang tak ingin kembali ke daerah masing-masing. Hasilnya? Daerah pelosok akan tetap seperti itu, tak ada pembangunan dan juga pemanfaatan sumber daya alam dengan maksimal.
Padahal daerah-daerah tersebut membutuhkan pembaharu yang mampu memajukan dan menyejahterakan penduduk sekitarnya. Pendidikan yang ditempuh oleh putra daerah diharapkan dapat memberi perubahan. Setidaknya akademisi yang datang dari kota bisa memberikan ide inovatifnya untuk mengembangkan hasil produk lokal sehingga punya nilai jual dengan kualitas yang lebih tinggi.
Bukan hanya dari deforestasi, konsumsi makanan diperkirakan bertanggung jawab atas emisi global di semua sektor. Estimasi tersebut mencakup semua kegiatan produksi makanan, mulai dari pertanian, energi yang digunakan, produksi bahan kimia dan mineral, penggunaan lahan, hingga sampah yang dihasilkan dalam proses produksi bahan makanan, sekaligus emisi GRK dari distribusi bahan makanan tersebut.
Kenapa sih Kita Perlu Konsumsi Makanan Lokal?
Rata-rata per tahun Indonesia mengeluarkan Rp 110 trilyun untuk impor pangan, sementara nilai pembiayaan pertanian dalam APBN hanya Rp 38,2 trilyun. Ketergantungan impor terus-menerus akan mempengaruhi penurunan produksi pangan dalam negeri.
Dari sisi produsen pangan utama, petani dalam hal ini, jumlahnya masih sangat dominan di Indonesia. Berdasarkan sensus pertanian masih terdapat 25 juta rumah tangga petani, dengan rata-rata pertumbuhan 2,2% per tahun, bahkan 46% tenaga kerja masih bekerja di sektor pertanian, suatu jumlah yang sangat besar. Namun di sisi sumber daya pertanian seperti, tanah, air, benih, dan dukungan infrastruktur dan kebijakan pertanian justru menghambat produksi pertanian nasional.
Alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan monokultur (sawit khususnya), tambang dan infrastruktur sebesar 230.000 hektar per tahun akan mempengaruhi penurunan produksi pangan dengan cepat, pengusaan sumber daya air oleh sejumlah perusahaan swasta mempengaruhi produksi dan produktifitas tanaman pangan.
Di sisi lain kebijakan pertanian justru membuka pintu impor pangan besar-besaran, hal ini menurunkan insentif bagi petani untuk terus berproduksi, seperti contohnya pada petani kedelai yang sempat mengalami swasembada pada awal tahun 1990an namun mendapat gempuran kedelai impor murah membuat mereka kalah bersaing sehingga saat ini kita harus mengimpor 70% kebutuhan kedelai kita. Bagaimana solusinya?
Local Digital Market : Usaha #MudaMudiBumi Untuk Mitigasi Perubahan Iklim
Local digital market merupakan upaya untuk menghimpun produk-produk lokal serupa katalog digital untuk masyarakat. Mirip saat kita berbelanja online, local digital market menjadi sarana bertemunya pembeli dan penjual. Local digital market mendukung UMKM lokal untuk berjualan secara digital.
Apalagi di tengah era Society 5.0 ini, ide local digital market bisa lho kita serahkan eksekusinya ke generasi Z hingga alpha yang sudah tentu melek teknologi. Pada banyak analisis, para ahli menyatakan bahwa Gen Z memiliki sifat dan karakteristik yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi ini dilabeli sebagai generasi yang minim batasan (boundary-less generation).
Ryan Jenkins (2017) dalam artikelnya berjudul “Four Reasons Generation Z will be the Most Different Generation” misalnya menyatakan bahwa Gen Z memiliki harapan, preferensi, dan perspektif kerja yang berbeda serta dinilai menantang bagi organisasi. Karakter Gen Z lebih beragam, bersifat global, serta memberikan pengaruh pada budaya dan sikap masyarakat kebanyakan.
Satu hal yang menonjol, Gen Z mampu memanfaatkan perubahan teknologi dalam berbagai sendi kehidupan mereka. Teknologi mereka gunakan sama alaminya layaknya mereka bernafas. Tentu akan mudah jika kita merangkul gen Z hingga alpha untuk menjadi bagian dari mitigasi perubahan iklim, salah satunya dengan ide local digital market.
Menghimpun seluruh petani, pekebun, peternak, hingga pengrajin lokal dan bersama-sama membuat local digital market yang tentunya sangat mengurangi jejak karbon di bumi kita. Jika kita mulai membiasakan diri untuk mengonsumi dan memakai produk lokal, kita juga akan ikut mengurangi food lost dan food waste yang biasa terjadi ketika satu produk harus dikirim ke suatu tempat dengan berbagai macam alat transportasi.
Penduduk Madura akan tetap melestarikan makanan pokoknya berupa jagung, penduduk Sulawesi tetap dengan sagu, Papua juga demikian, dan tidak memaksa semua harus menanam dan mengonsumsi beras, terlebih jika beras tersebut impor. Selain mengurangi jejak karbon, diversifikasi dan keanekaragaman pangan di Indonesia pun tetap terjaga bukan?
Jika kita bisa bersama-sama bahu membahu bersama Pemerintah Daerah, pihak swasta dan masing-masing keluarga punya kemauan untuk mengurangi pembakaran karbon, kita bisa menahan laju emisi yang terbuang ke atmosfer.
Emisi Gas Rumah Kaca dari makanan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya populasi manusia, namun setiap individu dapat berperan dalam menurunkan permintaan konsumsi makanan dengan cara membeli makanan secukupnya dan membeli dari petani kita sendiri.
Salah satu dukungan kecil saya untuk Net Zero Emissions adalah dengan membeli bahan makanan, pakaian dan produk-produk dari petani atau pengrajin lokal. Baik melalui local digital marketing maupun secara langsung.
Beberapa manfaat yang bisa kita dapatkan diantaranya :
- Memperpendek rantai pasokan dan memperkecil karbon yang terlepas akibat transportasi.
- Menyejahterakan masyarakat sekitar.
- Turut mendukung pemerataan pendapatan dan juga persebaran penduduk.
- Menjaga diversifikasi dan keanekaragaman pangan di Indonesia.
Indonesia yang merupakan zamrud khatulistiwa, hutan yang luasnya terbentang tanpa cela, gambut dan berbagai jenis tumbuhan dan hewan di penjuru Nusantara, sudah selayaknya untuk kita jaga kelestariannya bersama-sama.
Tidak hanya kekayaan, bahkan mulai tahun 2020 tanah air tercinta kita juga akan memiliki amunisi tambahan. Yaitu 190juta generasi muda yang kreatif, imajinatif dan inovatif. Apalagi di tahun 2030 nanti, tahun yang disebut sebagai tahun bonus demografi. Akan semakin banyak anak bangsa yang siap mendukung pembangunan negeri.
Sayangnya, tugas kita masih banyak. Apalagi melihat kekayaan alam Indonesia yang sangat membanggakan tersebut di atas. Bagaimana cara kita menjaganya? Tentu setiap orang punya kemampuannya masing-masing.
Membeli produk untuk kebutuhan sehari-hari dari pasar tradisional yang merupakan hasil bumi dari petani sekitar adalah salah satu cara saya setiap harinya menuju Net Zero Emissions. Jika belum mampu, kita bisa membentuk local digital market di era 5.0 ini.
Saya membayangkan, bagaimana jika setiap orang selalu mengusahakan untuk membeli kebutuhan hidup mereka dengan membeli produk lokal terdekat?
Sesederhana membeli sayuran dan buah di pasar krempyeng alias pasar kecil tradisional yang hampir selalu ada di tiap perumahan. Beruntung saya lahir dan besar di daerah padat penduduk yang sangat dekat dengan pasar tradisional.
Buah-buahan dan sayuran yang mereka miliki tak kalah jauh kualitasnya dengan buah-buahan dan sayuran impor dengan permukaannya yang kemilau. Buah, sayuran, lauk pauk, hasil laut, sungai, danau dan juga hutan menyimpan begitu banyak manfaat bagi bangsa kita.
Sumpah Pemuda Versiku
Melalui gerakan “Beli dari Petani Lokal” bersama-sama dengan Pemerintah Daerah, swasta, masyarakat sipil, akademisi, dan lain-lain tidak ada yang mustahil kok jika kita berpegangan tangan menyelesaikan masalah bersama-sama. Beli dari petani lokal menawarkan sebuah modal pembangunan yang dapat menjaga lingkungan dan menyejahterakan masyarakat. Jika kita bergotong royong sesuai peran masing-masing, semua PR mudah terselesaikan.
Kita makin bangga dengan produk lokal bernilai tinggi yang produksinya aman. Tanah kita sehat, air kita bersih dan 190 juta anak bangsa mendapat tempat berkarya di penjuru Indonesia.
Bayangkan jika kita semua mampu merangkai masa depan Indonesia. Tanah jadi subur, air mengalir bersih, dan masyarakat pun mandiri. Kita pasti bisa bergotong-royong agar harapan mencapai Net Zero Emissions di tahun 2050 bisa terwujud. Kita hanya perlu melakukannya secara bersama-sama, agresif, dan secepatnya!
Mulai dari hal-hal kecil seperti membeli produk lokal yuk! Lingkungan akan terjaga, masyarakat sejahtera dan Bumi di tahun 2683 mungkin secerah langit sore ini.
#UntukmuBumiku, inilah sumpah pemuda versiku : Kami putra putri Indonesia, bersatu melalau perubahan iklim untuk dunia! Salah satunya dengan membeli dan mengkonsumsi produk lokal untuk mitigasi perubahan iklim.
Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Yuk sekaranglah #TimeForActionIndonesia!
Referensi :
spi.or.id
merdeka.com/ Mitigasi Perubahan Iklim
https://puslitjakdikbud.kemdikbud.go.id/
Ikuti juga Komunitas Pertanian Sariagri yuk untuk mendukung pertanian Indonesia.
Selama ini tetap setia di produk lokal kak. Secara idup di kampung, jadi tetap lokalan sih biasanya. Selain terjangkau, juga lebih man dikonsumsi. Semoga bumi makin membaik…
isu emisi gas rumah kaca emang jadi salah satu isu lingkungan dan jadi PR bersama ya kak, ternyata beli produk sayur-buah dari petani lokal pun bisa jadi usaha kita buat jaga lingkungan ya. Nah aku biasanya beli dari petani lokal yang emang udah difasilitasi di layanan e-commerce nih
Pengantarnya keren apa yang terjadi ya 6 abad dari sekarang klo kitanya masih gini gini aja g ada kepedulian terhadap bumi n lingkungan
ketika krisis ekonomi global justru yang bisa membantu negara itu dr umkm.. jadi memang harusnya kita mendukung produk lokal ya..ternyata bisa banget buat mitigasi perubahan iklim
Setuju banget sama ini. Masak makanan dari bahan lokal ga kalah enak kok daripada harus pakai bahan-bahan impor. Beli bahan segar dari pasar tradisional juga selain lebih sehat, bahkan harganya lebih murah. Meski dimulai dari hal kecil, tapi setidaknya bermanfaat untuk bumi.
Sudah saatnya kita bahu membahu membenahi lingkungan yang sedang tidak baik-baik saja. Ternyata kalau diteliti dengan baik, ada kolerasi antara peningkatan produk lokal dengan pelestarian lingkungan ya. Kalau saya pribadi suka banget makanan lokal, kayak jagung rebus manis, krikpik singkong atau ubi kukus, hehehehe, maklum kan saya orang kampung.
Terima kasih Mba Jihan ulasannya sangat inspiratif dan bermanfaat.
Miris banget ngeliat sampah dimana-mana, pohon ditebangi dan berbagai fauna diburu hanya untuk kesenangan manusia. Perlu kesadaran penuh untuk menanggulanginya
Ah iya mbak Jey, mitigasi perubahan iklim ini menjadi tanggung jawab semua pihak ya
termasuk para pemuda dan pemudi
salah satunya dengan mengosumsi pangan lokal
Makanan lokal sekarang juga jarang terlihat. Kalau dulu mudahnya melihat orang-orang desa makan nasi jagung atau nasi ketela (nasi dicampur ketela, mirip-mirip nasi jagung cuma campurannya ketela). Sekarang mah boro-boro.
Makanan itu justru kelihatan mewah saat ini.
Aku nggak tahu apakah sudah membantu mengurangi perubahan iklim yang jelas keluarga kami berusaha mengurangi sampah makanan. Masak secukupnya saja, alih-alih masak banyak lauk. Dan berusaha menghabiskan apa yang sudah dimasak.
Ngeri juga ya kak kalau bumi jadi kecoklatan dan kering kerontang gitu.
Memang prediksinya masih lama. Tapi kalau gak dimulai pembenahaan dari sekarang. Gak kebayang deh
Masih setia belanja ke pasar, bayar cash. Dari diri kita sendiri kesadaran untuk menyelamatkan bumi n iklim
Ngomong-ngomong bei dari petani lokal, aku dulu waktu di Jakarta sering beli online dari salah satu mp kenamaan. Tujuannya juga membeli bahan pangan yang berkualitas dan memang sekaligus memberdayakan petani.
Keren banget openingnya, jadi mikir jauh kedepan nasib indonesia gimana.
Samp sekarang yg terlalu mengandalkan import dan kesadaran masyarakat mencintai produk lokal masih kurang.. itu sih yang ku lihat
Yes, saya juga setia dengan produk lokal. Saya masih bertahan ke warung lokal, bahkan membeli kepada petani yang langsung menjajakan hasil tanamannya. Pokoknya sekarang makin rajin ke pasar. Pilih yang segar dan berasal dari bumi pertiwi.
wah sepakat banget dengan konsepnya mba jihan niy, kita bisa menjaga alam dari hal kecil seperti 5R yang diterapkan di rumah ya. Saya bahkan tidka terpikirkan soal ini awalnya, membaca ini jadi terinspirasi deh mba Jihan
Semoga kita semua makin melek dan menjaga soal mitigasi perubahan iklim ini, kalau nggak ya bumi makin gak nyaman untuk ditinggali dan timbul berbagai hal berbahaya. Semangat menjaga lingkungan
Alhamdulillah selama ini masih bergantung sama lokal market..ternyata memang ada gunanya juga ya untuk bumi… Pangan lokal disini juga masih jadi tuan rumah..
Semoga makin banyak yang aware dengan perubahan iklim ini ya.. dan lebih banyak juga yang mau berkomitmen untuk memutus mata rantai perubahan iklim dengan melakukan perubahan