Tidak benar jika dikatakan perubahan iklim terjadi dengan lambat, apalagi kalau dibilang tidak terjadi. Jika kekhawatiran kita mengenai perubahan iklim sebatas efeknya menaikkan permukaan air laut, itu belum apa-apa. Baru secuil dari segala kemungkinan musibah yang disebabkannya, dan bisa terjadi bahkan dalam masa hidup seorang remaja sampai kelak usianya yang beranjak senja.

Apalagi jika dikaitkan dengan wabah atau pandemi yang tengah terjadi saat ini. Sempatkah terpikir oleh kita bahwa perubahan iklim bahkan akan membawa dampak penyakit zaman purba yang muncul kembali?

Perubahan Iklim dan Wabah Penyakit

perubahan iklim

pict from freepik

Beberapa waktu lalu saya telah menyelesaikan bacaan berjudul Bumi Yang Tak Dapat Dihuni yang ditulis oleh David Wallace. Banyak sekali pengetahuan yang saya dapatkan dari sana perihal perubahan iklim. Termasuk bagaimana iklim berhubungan dengan wabah penyakit.

Batu adalah catatan sejarah planet. Jutaan tahun terimpit kekuatan-kekuatan waktu geologis menjadi lapisan setebal beberapa sentimeter, bahkan lebih tipis. Es bekerja dengan cara yang sama, sebagai pencatat iklim, tapi juga membekukan sejarah, yang sebagian bisa hidup lagi jika dicairkan. Kini ada penyakit-penyakit yang terjebak dalam es dan tak beredar di udara selama jutaan tahun. Artinya, sistem kekebalan tubuh kita tak bakal tahu cara melawan penyakit purba yang muncul dari es.

Pada sebuah laboratorium sudah ada beberapa mikroba yang hidup kembali satu bakteri “ekstremofil” berumur 32.000 tahun dihidupkan kembali pada 2005, bakteri berumur 8 juta tahun dihidupkan kembali pada 2007. Kemudian ada bakteri berumur 3,5 juta tahun yang disuntikkan seorang ilmuwan Rusia ke rubuhnya sendiri karena penasaran apa yang akan terjadi, dan dia selamat.

Artika juga menyimpan penyakit-penyakit menakutkan dari masa yang lebih baru. Lalu di Alaska, para peneliti telah menemukan sisa-sisa flu 1918 yang menulari sampai 500 juta orang dan menewaskan sampai 50 juta orang. Para ilmuwan curiga penyakit cacar dan pes terjebak di es Siberia, juga banyak penyakit lain yang telah menjadi legenda dan menjadi sejarah singkat wabah penyakit berat lalu terungkap di bawah cahaya matahari yang memanasi Artika.

Banyak organisme beku yang tak akan hidup lagi ketika es meleleh; yang bisa dihidupkan kembali pun mengalaminya dalam konsisi laboratorium yang terkendali. Namun pada 2016, seorang anak laki-laki meninggal dan dua puluh orang lain tertular antraks ketika es abadi yang meleleh mengungkap bangkai rusa kutub yang mati karena bakteri tersebut setidaknya tujuh puluh lima tahun lalu.

Yang lebih membuat khawatir para ahli epidemiologi dibandingkan penyakit purba adalah penyakit yang ada sekarang berpindah tempat, berubah, atau bahkan mengalami evolusi lanjutan karena pemanasan global. Ada hal-hal yang sudah kita ketahui secara pasti mengenai bagaimana iklim memengaruhi beberapa penyakit. Malaria misalnya. Malaria marak di kawasan panas, sehingga Bank Dunia memperkirakan bahwa pada 2030, 3,6 miliar orang akan menghadapinya sebagai akibat langsung perubahan iklim. Kita tidak akan bisa memungkiri itu.

Apa yang dikatakan oleh banyak ilmuwan tentang “alam semesta baru” tidak berlebihan. Para ilmuwan memperkirakan bahwa planet ini dapat dihuni sejuta virus yang belum dikenal. Bakteri lebih banyak lagi, dan barangkali kita baru tahu bahkan lebih sedikit dari jumlah tersebut. Namun yang paling menakutkan barangkali adalah yang hidup dalam tubuh kita, sekarang dengan damai.

Lebih dari 99% bakteri dalam tubuh manusia kini belum dikenal sains, artinya kita hidup dalam ketidaktahuan hampir total mengenai kemungkinan efek perubahan iklim terhadap kuman di dalam perut kita, misalnya. Tentu saja kebanyakan virus dan bakteri dalam diri kita tak mengancam manusia, paling tidak untuk saat ini. Mungkin perbedaan satu sampai dua derajat suhu global tak akan mengubah secara dramatis perilaku sebagian besarnya. Namun kita tetap perlu waspada karena beberapa kasus hewan yang tiba-tiba mati karena bakteri dalam tenggorokannya yang seolah menjadi peluru ketika iklim berubah menjadi lebih panas.

Ketidaktahuan adalah sumber ketidaknyamanan. Perubahan iklim barangkali akan memperkenalkan kita kepada sebagian mereka.

Menjaga Iklim, dari Model hingga Ibu Rumah Tangga

perubahan iklim

pict from freepik

KBR adalah salah satu media yang menggaungkan bahayanya pemanasan global secara masif. Bagaimana kita harus menjaga keseimbangan alam, memelihara ekosistem, dan lain sebagainya. Hingga suatu hari saya mendengarkan siaran perihal #CeritaKitaTentangPerubahanIklim bersama dengan orang-orang hebat yang sudah secara mempraktikkan apa yang telah diketahuinya mengenai pemanasan global.

Mulai dari Alun-alun Utara Bengkulu, ada Zul Karnedi, yang dulu pemburu telur penyu kini malah berbalik menjadi penyelamat dan pelestari penyu. Ada juga seorang Blogger yang tinggal di Yogyakarta, Siti Hairul yang menggalakkan pemakaian Menstrual Cup dan menyerukan agar kaum perempuan menghentikan pemakaian pembalut dan popok sekali pakai. Tak hanya Siti Hairul, blogger lainnya, yang juga Ketua Umum Pusat Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN) Widyanti Yuliandari berbagi cerita bagaimana ia tertarik menuliskan  ide-ide soal pelestarian lingkungan di blognya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Strategi Konservasi Indonesia, Mubariq Ahmad berbagi dampak soal perubahan iklim. Apa saja dampaknya dan bagaimana seharusnya kita bersikap? Yuk simak resume materi yang telah disampaikan oleh para narasumber hebat di atas.

Harapan dari Davina Veronica

Davina Veronica yang juga seorang model ini merasa takut dan sedih atas berbagai kerusakan yang terjadi di bumi ini. Namun kita harus selalu memberi harapan langsung pada masyarakat. Saya yang sering keluar masuk hutan. Binatang dalam hal ini masih belum masuk ke dalam isu prioritas. Mereka seperti tidak punya tempat tinggal karena semuanya diambil untuk memenuhi kebutuhan manusia. Akhirnya mereka kehilangan tempat. Padahal kita tahu keberadaan satwa ini adalah sebagai penyeimbang dalam kehidupan di bumi ini. Tapi karena adanya manusia di bumi ini, populasi yang tidak terkontrol, hampir-hampir setiap jengkal yang mereka miliki diambil oleh manusia seluruhnya.

Padahal bumi ini kan tempat seluruh makhluk hidup, bukan hanya manusia. Pandemi saat ini seperti dua sisi mata uang yang punya dampak negatif sekaligus positif terhadap bumi. Ketiadaan aktivitas manusia di luar rumah untuk sementara waktu memberikan waktu pada bumi untuk beristirahat. Namun di satu sisi jumlah sampah masih tetap banyak. Nampaknya, bumi belum bisa beristirahat dari sampah.

Optimisme Pelestari Penyu

Pak Zul dulunya adalah pemburu telur penyu, dan kini malah berbalik menjadi penyelamat dan pelestari penyu. Beliau mengemukakan bahwa kondisi ekosistem penyu di Langka Bengkulu saat ini bisa dibilang lumayan. Terumbu karang masih bisa dijaga, pantai-pantai kita juga masih cukup sempurna. Kalau soal sampah, banyak sampah-sampah kayu dari hutan. Maka populasi penyu masih dalam taraf aman. Namun harap diingat bahwa penyu-penyu kita itu ikut memakan sampah-sampah yang dibuang di laut. Maka mari jaga kebersihan untuk menyelamatkan anak cucu kita di masa depan.

Edukasi dari IIDN dan Para Blogger

Mbak Widyanti Yuliandari, ketua IIDN menyampaikan bahwa ia senang sekali bloger bisa ikut ngobrol perihal iklim, apalagi live bersama dengan narasumber yang lain. Untuk isu lingkungan di kalangan bloger masih tidak terlalu sering untuk diangkat, dibanding tema-tema lain di Indonesia. Peran bloger sebagai individu yang memiliki passion untuk sharing pengalaman dan ide pada orang lain, termasuk menyebarkan kebaikan dan isu lingkungan seperti ini. Namun akhir-akhir ini mulai tampak. Banyak teman bloger yang akhirnya menulis menceritakan pengalamannya dalam melestarikan lingkungan.

Beliau memulai edukasi perubahan iklim sejak 10 tahun yang lalu. Karena saat itu masyarakat belum melihat fakta dari dampak perubahan iklim tersebut, sehingga masih terdengar asing dan terkesan aneh. Namun saat ini kita boleh senang hati karena saat ini sudah banyak yang melek terhadap isu lingkungan.

Siti Hairul Daya (blogger) menceritakan pengalamannya ketika mencoba untuk memutus rantai penumpukan sampah dari pembalut dan popok sekali pakai. Salah satu caranya yaitu dengan memakai menstrual cup.

Saat itu saya menanyakan ke petugas pengumpul sampah : Apa yang bikin tidak nyaman ketika mengumpulkan dan mengelola sampah? jawaban beliau yaitu pembalut sekali pakai. menurut beliau, pembalut sekali pakai di TPA tidak bisa diolah. Pemerintah sudah menyediakan pengolah sampah yang didatangkan dari luar negeri. Namun, pembalut adalah salah satu sampah yang tidak bisa diolah. Akhirnya saya mulai menghentikan pemakaian popok sekali pakai untuk anak-anak saya dan juga saya mulai menggunakan mens-cup.

Motivasi dari Direktur Eksekutif Yayasan Strategi Konservasi Indonesia

konservasi untuk perubahan iklim

pict from freepik

Direktur Eksekutif Yayasan Strategi Konservasi Indonesia, Mubariq Ahmad menyampaikan bahwa perubahan iklim di negeri sendiri bisa dimulai dari ibu-ibu. Karena ibu sebagai ujung tombak pendidikan lingkungan. Jalur pendidikan rumah tangga ini efektif karena seharusnya memang pendidikan dimulai dari rumah.

Dari segi dampak yang paling terasa pada kita yaitu musim yang makin tidak teratur dan ekstrem. Misal musim hujan sangat pendek, ketika dia berada di puncak, ekstrem sekali dampaknya. Pun dengan musim panas. Maka yang paling terdampak adalah sektor pertanian. Musim tidak lagi terkendala. Yang kedua adalah bencana alam yang terpicu karena masalah perubahan iklim ini. Banjir dan tanah longsor yang dipicu oleh perubahan iklim dan rusaknya alam (di hulu dan hilir).

Yang ketiga adalah krisis air. Musim-musim ekstrem akan membuat krisis air. Ketika air itu susah maka yang dirugikan adalah banyak dari kalangan rumah tangga. Lalu yang tidak kalah penting adalah energi. Kita masih membangun dan mengandalkan energi berbasis fosil. Padahal fosil inilah yang menyebabkan gas rumah kaca. Maka jika ini dilanjutkan, karbon kontennya akan tinggi. Di masa depan kita akan kesulitan. Namun di sisi lain, ada ide kebijakan yang tidak nyambung dengan praktiknya. Contohnya Pemerintah punya Nationally Determent Comitment untuk menurunkan emisi 26% sampai 2030 kalau kita mendapat bantuan dari negara sahabat/negara pendukung.

Kalau kita lihat yang terjadi sekarang, apalagi masih membiarkan banyak deforestasi (kebakaran hutan) dan masih membangun sumber-sumber energi yang menghasilkan CO2. Lalu apa gunanya NDC ini?

Sedangkan ibu-ibu kita sudah begitu berjuang untuk menjaga lingkungan sampai seperti ini. Kebijakan Pemerintah sudah baik namun implementasinya masih kedodoran. Maka yang menjadi tantangan utama, salah satunya adalah perilaku koruptif para pengusaha dan para pemangku kebijakan yang terkait dengan perizinan usaha yang berhubungan dengan pemanfaatan lahan dan produksi energi. Sudah jelas kita akan melaksanakan renewable demi menyongsong 2030, tapi pemerintah kok masih mempromosikan batu bara? Bahkan dengan mengorbankan hutan.

Secara umum juga terkait dengan individu dan keluarga yaitu perilaku kita untuk memproduksi dan mengolah sampah. Masyarakat kita sosial rationya lebih banyak perempuan dibanding laki-laki, maka sudah tepat kalau dimulai dari ibu-ibu.

Ada juga yang banyak mengatakan bahwa dirinya pencinta alam, tapi masih nyampah di alam. Selain itu perihal sampah plastik, interest bisnis masih lebih besar bobotnya dibanding penyelamatan lingkungan. Padahal kita sudah krisis dalam pengelolaan sampah. Kita memerlukan kebijakan dan sistem pengelolaan yang lebih baik perihal sampah. Contohnya seperti kebijakan insenarator. Namun di Indonesia sepertinya susah sekali membangun insenarator. Padahal ini sudah diberlakukan di banyak negara.

Selanjutnya yaitu erosi keanekaragaman hayati. Orang utan, gajah, harimau dan badak yang menjadi icon Indonesia sudah terancam kehidupannya karena hutan yang sudah tidak sehat. Ketika habitat mereka punah, yang punah bukan hanya binatang langka yang ada di situ, tapi juga seluruh populasi dalam ekosistem tersebut, the whole by diversity di sana. Seluruh rantai makanan di sana hilang. Kita mungkin masih memandang, “ah hutan masih jauh ada di sana,” tanpa menyadari bahwa hutan punya nilai biodiversitas untuk penyerbukan alami. Sekarang sudah banyak nilai biodiversitas tersebut hilang.

Mulai dari Hal Terkecil

sumberdaya air untuk kehidupan

sumber : anonim

 

Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan planet ini sebelum terlambat. Contohnya satu pengalaman di tempat tinggal saya dalam menangani sampah plastik dari air minum kemasan. Kebijakan Ketua RW kami yaitu mengumpulkan setiap sampah dari air minum kemasan dan dijadikan pot bunga atau media tanam sayur mayur dan hidroponik. Tak lupa pesan ibu saya agar selalu menghemat air. Karena air bersih akan habis, banyak juga saudara-saudara kita di negeri lain yang minum air lumpur.

perubahan iklim

Kami pun sudah sangat membatasi penggunaan air mineral. Setiap kali keluar rumah, kami membiasakan diri untuk membawa tumblr sendiri untuk mengurangi sampah di luar. Pun ketika ada tamu di rumah, sebisa mungkin air mineral adalah pertolongan terakhir jika tidak ada cangkir sebagai pengganti air mineral yang dikemas dalam plastik. Jika terpaksa, air harus dihabiskan. Jangan sampai kita menyisakan sampah plastik dan juga sisa air minum. Pembiasaan ini penting, agar kelak anak-anak meniru kita bagaimana memperlakukan sumber daya alam dan sampah.

Selain itu juga dengan cara mendukung kegiatan NGO yang bergerak di bidang pelestarian hutan. Misalnya dengan cara adopsi hutan. Maksudnya membayar sebagian biaya rehabilitasi atau biaya konservasi hutan, maka kita sudah ikut mengadopsi hutan dan menyelamatkan ribuan makhluk hidup dalam ekosistem tersebut.

solusi perubahan iklim

Sebagaimana yang disebutkan oleh Bapak Mubariq Ahmad bahwa sebagian orang lebih mengutamakan kepentingan jangka pendek. Hutan memang tidak bisa menghasilkan uang dalam waktu singkat, namun manfaat makronya bisa dirasakan sampai waktu yang lama. Ada pandangan yang sempit dan belum sepenuhnya bisa dikendalikan Pemerintah. Pengusaha batubara pasti tidak mau kalau pembangkit energi dari batu bara dikurangi. Padahal kita tahu emisi dari pembakaran batu bara lebih banyak. Negeri Eropa, yang notabene adalah negeri empat musim berani mengatakan tahun 2050, 75% energi kita harus berasal dari energi surya. Nah, kita bisa memulai energi surya sebagai bahan bakar. Jangan menunggu Pemerintah.

Yuk mulai dari diri sendiri, mulai dari hal terkecil untuk menyelamatkan planet ini. Sebagaimana closing statement yang disampaikan oleh Mbak Widya,

“Aksi dalam penyelematan lingkungan, sebenarnya tidak perlu hanya satu atau dua segelintir orang yang sempurna. Tapi kita perlu banyak aksi dari banyak orang meskipun tidak sempurna.”

cover

Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog “Perubahan Iklim” yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini

Baca Juga : Sumber Daya Air dan Gigi Ikan Hiu

Referensi :

Bumi Yang Tak Dapat Dihuni, David Wallace

Webinar Suara Kita Tentang Perubahan Iklim by KBR