Tiin! Tiin! Woi punya mata ngga sih?

Sabar lah jangan dorong-dorong! Ngegas banget sih ah!

Teriakan dan makian yang menambah bisingnya jalanan di siang hari yang terik itu selalu membuat saya gerah dan tidak tahan bepergian di siang bolong. Selalu ada pengguna jalan yang bersikap seperti itu, sehingga seolah suhu udara semakin panas karena teriakan-teriakan mereka.

penyebab perubahan iklim

Belum lagi kalau ibu-ibu salah memberi sinyal dengan lampu sein, yang harusnya sein kanan menyala ini malah ke kiri. Terang membuat pengendara di belakangnya marah-marah.

Tak hanya soal sein, bahkan ketika saya menyeberang di pertigaan jalan dengan bantuan polisi cepek (petugas yang biasa mengatur jalanan untuk menghindari macet, tapi bukan seorang polisi ya) saya sempat dimaki oleh salah seorang pengguna jalan.

Goblok!!

Begitu teriaknya. Saya syok. Karena merasa sudah mengikuti instruksi polisi cepek untuk maju menyeberang. Bapak yang sedang membonceng istrinya itulah yang tidak mengindahkan larangan polisi cepek untuk melintas. Namun saya yang disalahkan. Karena panas, saya terpantik juga dong. Saya turun dari motor dan hendak menghampirinya dengan mata yang menyala-nyala karena menahan emosi.

Untungnya setan tak berhasil menjalankan aksinya siang itu. Si pengendara melaju kencang setelah ngatain saya goblok. Yah, cemen. Emosi banget huh!

Sudah udara di Malang semakin panas, ngga nemu bakso kesukaan, dikatain bapak-bapak lagi! Padahal saya ngga salah. Sang polisi cepek hanya geleng-geleng kepala. Mungkin beliau sudah lelah juga mau berurusan dengan pengguna jalan yang bebal.

Dulu saya tidak mengira bahwa emosi manusia adalah rentetan panjang dari sebuah efek perubahan iklim. Kok bisa? Ya, di sinilah saya akan berbagi cerita. Tentang emosimu, emosi saya, emosi kita yang tengah terjebak di tengah efek perubahan iklim yang akan menghancurkan bumi ini. Lebay? Mungkin kita akan berpikir demikian sebelum tahu bagaimana perubahan iklim ini punya efek domino yang panjang.

Benarkah Efek Perubahan Iklim Hanya Dongeng?

Kalau selama ini banyak yang berpikir bahwa pemanasan global adalah masalah di Artika, terjadi di tempat yang jauh di sana, atau bahwa pemanasan global hanya menyangkut tentang tinggi permukaan laut dan daerah pantai, bukan krisis yang melingkupi semua tempat tanpa kecuali dan memengaruhi semua bentuk kehidupan tanpa terlewat satu pun, mungkin inilah yang disebut dongeng.

Efek perubahan iklim yang lambat tersebut hanyalah dongeng? Ya, barangkali sama melenakannya dengan dongeng yang menyatakan perubahan iklim tak terjadi sama sekali. Atau bahwa perubahan iklim adalah krisis dunia yang terjadi secara “alami”, bukan di dunia manusia pula.

Belum lagi asumsi yang menyatakan bahwa perubahan iklim dan pemanasan global itu tak berhubungan dan kita sekarang hidup di luar atau melampaui atau setidaknya bisa bertahan menghadapi alam yang kian ganas. Kekayaan bisa melindungi kita seperti pasukan sang Raja yang melindungi istana.

Tentu saja semua itu tak ada yang benar. Semua bisa dibantah dengan fakta yang telah terjadi pada bumi kita akhir-akhir ini. Seolah kenaikan suhu satu derajat hanyalah angka-angka yang kecil, sehingga cenderung diremehkan. Padahal pada dua derajat kenaikan, lapisan es akan mulai hancur, tambahan 400 juta orang akan kekurangan air meskipun terjadi banjir dimana-mana sebagaimana yang telah saya alami juga di Kota Malang akhir-akhir ini.

efek perubahan iklim

ini kotaku, mana kotamu?

Namun ternyata, seolah tidak cukup banjir itu menjadi bukti akan dampak dari perubahan iklim. Terjadi pula banyak kekeringan atau kurangnya air bersih di kota yang saya tinggali ini. Anomali cuaca yang terjadi membuat kami semua bingung, petani banyak mengalami kerugian, ekonomi lumpuh, bahkan hingga perseturuan antar kubu pro walikota dan pembenci walikota.

Padahal pokok persoalannya ada pada diri kita sendiri, meskipun tak bisa juga lepas dari kebijakan Pemerintah. Namun, yang terpenting adalah apa yang bisa kita lakukan sekarang bukan?

Mari kita lihat efek dari perubahan iklim yang begitu terasa dan selalu menghampiri kami di kota kecil dengan penduduk lebih dari 800ribu jiwa ini.

Malang yang Merindukan Begawan

Masalah kekurangan air yang pernah saya alami saat berusia 12 atau 13 tahun, ternyata terus berulang hampir setiap tahunnya hingga saat ini. Terlebih di beberapa tahun terakhir. Hal ini membuat saya sadar bahwa bumi ini akan kehabisan air dalam waktu dekat.

Siapa sih yang menyangka bumi akan kekurangan air? Bukankah 71%  bagian dari planet ini tertutup air? Tepat sekali. Namun yang berupa air tawar hanya sedikit, di atas dua persen, dan yang bisa diakses hanya satu persen. Sisanya sebagian terjebak dalam es. Artinya, seperti dihitung National Geographic, hanya 0,007 persen air di planet ini yang tersedia untuk tujuh miliar manusia.

Namun sebenarnya 0,007% itu sudah cukup. Bahkan tidak hanya untuk 7 milliar manusia, lebih dari itu. Hingga 9 milliar manusia yang menghuni bumi ini pun air belum akan habis. Namun siapa sangka, saya mengalami krisis air yang juga dialami oleh anak-anak di Dolo Odo, Etiopia. Memang tidak seekstrem itu, namun negara tropis yang punya musim hujan setiap tahunnya ini tampak mustahil ketika dikatakan “kekurangan air bersih”. Kita punya laut, sungai, danau, air terjun, hingga bendungan. Bagaimana bisa ada kekeringan?

contoh perubahan iklim di indonesia

Krisis Air di Kota Kami

Pengalaman kekeringan ini suatu kali pernah saya alami dua puluh tahun lalu ketika terpaksa mandi di sekolah tempat Ayah mengajar karena akses air bersih yang sangat terbatas. Sebenarnya sudah puluhan tahun silam iklim memberi peringatan pada kita untuk sesegera mungkin melakukan antisipasi jika air tak lagi mengalir.

Namun kita seringkali abai. Majunya teknologi terkadang membuat kemudahan di sana sini. Hingga kami pun lupa bahwa sumur yang dibuat dua puluh tahun yang lalu akibat kekeringan ternyata juga akan habis pada saatnya. Tahun inilah masa penghabisan itu.

Sejak Kota Batu berdiri sendiri menjadi sebuah kota yang terpisah dari Kota Malang, air bersih menjadi salah satu barang berharga bagi kami. Akses air dari Kota Batu yang notabene kota yang paling dekat dengan pegunungan, terputus untuk kota Malang. Praktis jumlah air yang tersalurkan untuk masyarakat juga berkurang.

Bukan hanya terjadi di tahun ini, tahun-tahun sebelumnya pun kota Malang sudah mengalami kekeringan. Banyak masyarakat yang tidak bisa mendapatkan akses air bersih untuk memasak makanan dan juga minuman.

“Air PDAM di rumahku sudah mati sejak Sabtu (11/1/2020),” kata Avirista Midaada, warga Perum Bulan Terang Utama (BTU) Kota Malang, Jumat (17/1/2020) sebagaimana yang disebutkan dalam Kompas.

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, Avirista bersama warga lainnya memanfaatkan air kran milik perumahan. Namun, air yang bersumber dari sumur tersebut tidak bisa dimanfaatkan selama 24 jam dan debitnya terbatas. Tidak hanya terjadi pada Avirista, ribuan rumah di kota Malang Jawa Timur mengalami krisis air ketika musim kemarau tiba. Akibatnya mereka harus mencari air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kaki Sudah Terlangkahkan, Tangan Sudah Terjembakan

Meski peribahasa tersebut berarti segalanya sudah telanjur terjadi, namun bukan berarti kita hanya akan berdiam diri. Kita mungkin bisa introspeksi dan mencoba menemukan solusi.

Mengapa air bersih bisa habis? Mengapa musim di bumi semakin tak menentu? Mengapa efek dari perubahan iklim terasa sangat dekat? Tahukah teman-teman ternyata efek perubahan iklim tidak berhenti di situ? Ia pun juga memenuhi dan memengaruhi tangki kesabaran manusia.

dampak perubahan iklim bagi manusia

Kamu Emosi, Saya Emosi, Kita Semua Terjebak di Tengah Teriknya Efek Perubahan Iklim

Merujuk dari David Wallace Wells dalam bukunya Bumi Yang Tak Dapat Dihuni, para ahli iklim sangat berhati-hati bila berbicara mengenai perang yang terjadi di beberapa belahan bumi. Mungkin kita merasa pernyataan tersebut terasa jauh, tak tergapai logika. Namun, para ahli iklim ingin kita semua tahu bahwa perubahan iklim memang menyebabkan kekeringan yang menimbulkan perang saudara di beberapa negara.

Meskipun ada juga negara yang panas, panen stabil, tapi aman-aman saja. Namun perang bukan disebabkan perubahan iklim saja sebagaimana badai tak disebabkan perubahan iklim. Namun, efek perubahan iklim hanya memperbesar peluangnya.

Sebagaimana fenomena yang telah saya ceritakan di paragraf-paragraf awal, ketika suhu panas, benarkah kecenderungan manusia bisa bersifat kasar? Ternyata rasa penasaran saya pun terjawab.

Hubungan Tak Langsung Suhu dan Kekerasan

dampak negatif perubahan iklim

Masih dari buku karya David Wallace Wells, selama dasawarsa kemarin, para peneliti mampu menghitung beberapa hubungan yang tak langsung nampak antara suhu dan kekerasan :

Untuk setiap setengah derajat kenaikan suhu, mereka bilang masyarakat akan mengalami kenaikan kemungkinan konflik antara 10-20 persen. Dalam sains iklim, tak ada yang sederhana, namun perhitungannya menggelisahkan kita.

Sebagaimana perubahan iklim sudah menaikkan risiko konflik di Afrika di atas 10 persen. Proyeksi suhu di benua tersebut pada 2030 mendatang akan menyebabkan 393.000 korban jiwa tambahan dalam pertempuran.

Apa sebenarnya yang menyebabkan hubungan antara iklim dan konflik?

Beberapa terkait dengan pertanian dan juga ekonomi. Mari kita bayangkan saja ketika hasil panen berkurang dan produktivitas menurun karena cuaca yang sangat panas. Mungkin belum begitu terasa di Indonesia, tapi kita sendiri bisa meraba, ketika cuaca panas bukankah kita lebih nyaman duduk di rumah menyalakan AC atau kipas angin dan menikmati kudapan?

Produktivitas yang menurun di cuaca yang sangat panas itulah yang akan membuat masyarakat goyah. Bahkan jika dibiarkan akan terasa lebih dalam ketika kekeringan dan gelombang panas melanda. Semua orang berebut untuk meraih kembali kenyamanan yang dimiliki sebelum suhu menjadi sangat panas. Lalu di tengah-tengahnya, konflik tentu akan terjadi, sedikit maupun banyak.

Semua saling mengumpat, meneriaki satu sama lain, hingga merampas hak orang lain demi meraih kembali kenyamanan sebelum panas itu merebut logika manusia. Sering kan mengalami hal seperti itu? Panas terkadang membuat kita lebih cepat marah, lebih cepat bereaksi atas sesuatu.

Orang makin mudah kesal, lalu mengalami konflik antarpribadi dan melakukan kekerasan di rumah. Bisa bayangin kan efeknya sejauh itu?

Panas membuyarkan segalanya. Panas menambah angka kejahatan dengan kekerasan, makian di media sosial, dan peluang seseorang melempar sesuatu pada lawan bicaranya.

Makin panas cuaca, makin sering pengemudi mobil mengklakson karena frustasi; bahkan dalam simulasi, polisi lebih sering menembaki perusuh dalam latihan yang dilakukan ketika cuaca panas.

Dalam sebuah makalah spekulatif menyebutkan bahwa pada tahun 2099, perubahan iklim di Amerika Serikat bakal menambah 22.000 kasus pembunuhan, 180.000 pemerkosaan, 3,5 juta penyerangan dan 3.76 juta perampokan serta pencurian. Tidak hanya suhu, bahkan pada tingkat pencemaran udara pun juga akan berefek pada kejahatan. (Uninhabitable Earth, David Wallace Wells)

Satu contoh yang bisa kita ambil di Guatemala pada 2011. Pada tahun tersebu Guatemala mengalami Badai Tropis 12E dan sesudah bencana itu petani beralih menanam candu. Apa yang terjadi kemudian di sana? Kejahatan terorganisir. Lalu di tahun 2019 lalu, Guatemala menjadi negara nomor 5 tertinggi di dunia karena kasus pembunuhannya (UNICEF).

Guatemala dinyatakan sebagai negara yang paling berbahaya untuk anak-anak. Padahal dalam sejarah, hasil utama Guatemala adalah kopi dan tebu. Lalu pada dasawarsa mendatang perubahan iklim dapat membuat kedua tanaman tersebut tak bisa tumbuh.

Familiar dengan kedua tanaman tersebut? Jangan sampai suhu tropis Indonesia berubah menjadi bencana yang mengerikan bagi kita semua ya.

Belum puas dengan fakta dari pakar perubahan iklim? Kita tengok fakta dari pakar kesehatan yuk!

efek perubahan iklim

Pengaruh Cuaca dan Emosi

Dilansir dari laman halodoc, pengaruh cuaca dan emosi telah dibuktikan oleh sebuah studi dari tim Polandia. Studi tersebut menemukan, naiknya suhu udara berkaitan erat dengan peningkatan stres yang dihadapi seseorang.

Hal ini dikarenakan produksi hormon penyebab stres, yaitu hormon kortisol akan meningkat ketika berada pada cuaca panas. Hal inilah yang membuat seseorang menjadi lebih cepat stres dan mudah marah saat berada di cuaca panas.

Teori lain juga menyebutkan bahwa cuaca panas berkaitan dengan reaksi psikologis seseorang. Sebabnya karena cuaca panas bisa meningkatkan suhu dalam tubuh, menyebabkan peningkatan denyut jantung, testosteron, dan reaksi metabolik yang bisa memicu sistem saraf simpatik dalam mengaktifkan respon “fight or flight”. Namun umumnya, cuaca panas membuat seseorang untuk memilih respon “melawan” yang ditandai dengan emosi.

Begitulah yang terjadi. Maka tak heran bukan jika panas yang kita rasakan saat ini dapat memicu makian, hujatan di media sosial, hingga kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini? Lalu apakah kita masih berpangku tangan?

#TeamUpForImpact Langkah Kecil Untuk Mengurangi Efek Perubahan Iklim

Jelas kita tidak mau seperti Guatemala, atau seperti Suriah dan negara-negara lain yang berada dalam konflik. Saya percaya bangsa Indonesia lebih santun dan mampu keluar dari persoalan yang selama ini mungkin tidak kita sadari.

Saya pun demikian. Meskipun teriknya matahari menghantam pipi dan tangan saya ketika mengendarai sepeda, setidaknya karena pengetahuan tentang efek perubahan iklim saya memaklumi dan mencoba berbuat sesuatu untuk mengurangi efeknya. Mungkin memang tak bisa kita cegah, namun bisa kita perlambat bahkan kita perbaiki dampaknya.

LET’S TEAM UP, NOT GIVE UP.

Ini adalah sebuah ajakan untuk melakukan hal-hal sederhana untuk bumi. Kapan saja, di mana saja, sejauh yang kita bisa.

Karena sekecil apa pun langkah yang kita ambil, kalau dilakukan secara bersama-sama dan terus menerus akan besar dampaknya.

-teamupforimpact.org-

Team Up For Impact mengajak kita untuk memulai langkah kecil untuk menyelamatkan bumi melalui aksi-aksi nyata yang bisa kita lakukan sehari-hari. Aksi yang menurut saya cukup mudah. Apa sajakah itu? Saya pernah membahasnya secara mendalam melalui artikel tentang Aksi Nyata Untuk Bumi, namun tak salah pula jika saya sebutkan lagi secara singkat di sini ya!

cara mengatasi perubahan iklim

Tantangan #TeamUpforImpact #UntukmuBumiku setiap harinya :

  • Senin : Tidak Membeli Makanan atau Minuman dalam Kemasan
  • Selasa : Mengurangi Pemakaian Listrik Selama Dua Jam
  • Rabu : Tidak Makan Daging Merah
  • Kamis : Tidak Menggunakan Tissue
  • Jumat : Tidak Naik Kendaraan Berbahan Bakar Bensin
  • Sabtu : Tidak Menyalakan TV
  • Minggu : Tidak Menghasilkan Sampah Makanan

Ketujuh aksi nyata tersebut tentu bisa kita lakukan karena hanya butuh kesediaan dari dalam diri, niat yang tulus, dan juga konsistensi agar bisa terus memberikan yang terbaik untuk mengurangi efek dari perubahan iklim itu sendiri.

Bukankah tidak sulit membawa “wadah” sendiri ketika membeli makanan maupun minuman? Bukankah tidak sulit mengurangi pemakaian listrik selama dua jam saja setiap hari? Bukankah tidak sulit pula menghindari makan daging merah satu hari saja dalam sepekan? Tidak sulit pula jika kita menyediakan lap kain alih-alih menggunakan tissue? Pun dengan bersepeda kemanapun kita pergi (selama terjangkau oleh kayuhan kaki kita?), apalagi nonton TV dan menghasilkan sampah makanan?

Tentu saja saya tidak bisa sendiri. Aksi kecil ini akan memberikan efek signifikan jika dilakukan secara bersama-sama dan secara masif, jadi jangan sampai artikel ini berhenti di kamu. Ajak juga sahabat, kerabat, kenalan hingga orang tercinta kita untuk melakukan aksi kecil ini yuk! Teman-teman bisa langsung mengunggah dukungan tersebut di laman teamupforimpact.org/team-up-everyday

team up for impact

Kita bisa kok bersama-sama mengurangi efek perubahan iklim demi Indonesia yang lebih hijau dan lestari.

Semoga artikel ini bermanfaat ya!

 

Referensi :

Bumi Yang Tak Dapat Dihuni by David Wallace Wells

halodoc.com

unicef.org

teamupforimpact.org

kompas.com

malangvoice.com