efek selimut polusi

banjir di Sumawe, Kabupaten Malang beberapa hari lalu karena curah hujan yang tinggi

Beberapa pekan ini, kota Malang selalu diberi hujan setiap hari. Intensitasnya nyaris selalu tinggi dan disertai angin dan tak jarang juga petir. Kadang membuat saya was-was jika pergi keluar di atas jam 12 siang. Karena sudah pasti rawan hujan dan banjir dimana-mana.

Padahal dulu saat SD saya ingat sekali hujan sederas ini tidak pernah ada genangan di sekitar rumah. Aliran air selalu lancar, andai sungai meluap pun tak sampai membuat rumah-rumah tenggelam dalam banjir, tidak juga khawatir terjebak di jalan karena memang kebanyakan dari kami naik transportasi umum atau jalan kaki. Masih jarang orang-orang menggunakan kendaraan pribadinya kecuali benar-benar orang penting dan kaya raya.

selimut polusi

Daerah Sudimoro, kota Malang yang selalu jadi langganan banjir karena jalannya naik turun

Kalau teman-teman melihat gambar di atas, itu adalah daerah di Jalan Sudimoro, salah satu jalan yang dilalui oleh banyak kendaraan karena terhubung dengan jalan utama di salah satu titik penting di tengah kota. Berada di antara kawasan universitas, pemukiman padat penduduk, pertokoan, perumahan, hingga perniagaan.

Jalan tersebut juga selalu jadi langganan banjir bertahun-tahun belakangan. Kalau hujan turun, meskipun hanya sebentar saja sudah dapat dipastikan daerah tersebut akan banjir hingga diberi “palang” atau tanda “awas banjir” oleh penduduk. Sebagai pengingat bagi siapa saja yang mungkin “nekat” mau lewat karena tidak tahu sedalam apa banjir di daerah tersebut karena jalannya turun.

Tak hanya di jalan Sudimoro, beberapa jalan di kota Malang juga mengalami hal yang sama. Salah satunya jalan Galunggung dekat rumah saya, dan beberapa jalan lain ketika hujan turun sudah dipastikan banjir akan datang. Bertahun-tahun Pemerintah mencoba memperbaiki drainese yang ada, diperlebar dan diperdalam, tapi tetap saja curah hujan yang tinggi tidak bisa ditampung dengan cepat oleh jalan air.

#SelimutPolusi yang Semakin Menjadi

Seiring dengan terjadinya bencana di sekitar tempat tinggal saya, ternyata di daerah lain pun begitu. Tidak hanya di kota Malang, tapi juga di penjuru Indonesia.

selimut polusi

Maaf ya kalau ngeblur, intinya pada infografis ini menunjukkan bahwa bencana alam yang paling mendominasi sepanjang 2021 adalah bencana banjir, kemudian diikuti cuaca ekstrem hingga tanah longsor. Sebanyak 728 orang meninggal dunia dan 87 hilang karena bencana di tahun 2021 ini. Ada ratusan orang lho yang menjadi korban. Angka yang fantastis menurut saya untuk bencana di Indonesia dalam waktu satu tahun.

Tak terbayangkan bagaimana jika di antara ratusan orang tersebut adalah anak-anak kita, orang tua kita, saudara kita, atau bahkan teman dekat kita. Lalu sebenarnya apa sih yang membuat bencana alam ini terjadi dan selalu makin parah dari tahun ke tahun?

Bersama dengan Eco Blogger Squad, kami berbicara tentang kemungkinan selimut polusi yang menebal dari waktu ke waktu yang menjadikan efeknya makin parah. Coba kita renungkan dan pikirkan bersama polusi yang akhir-akhir ini kita rasakan. Mulai dari makin macetnya jalanan karena penggunaan kendaraan pribadi yang semakin hari semakin banyak hingga kurangnya kesadaran masyarakat untuk ikut peduli pada alam.

Kemudahan orang-orang membeli kendaraan bermotor semakin memperparah polusi udara, diamnya pemerintah daerah bahkan hingga pemerintah pusat ketika hutan dibabat habis oleh orang yang berkepentingan, sikap apatis dari masyarakat kita yang menganggap bahwa perubahan iklim terjadi ketika kiamat nanti, sekarang mah santai aja dulu. 

Hal tersebut di atas merupakan beberapa sebab mengapa selimut polusi di bumi ini kian hari kian menjadi. Kami juga berdiskusi tentang transisi energi yang bisa menjadi salah satu solusi dari selimut polusi yang semakin menjadi ini. Apa itu transisi energi dan bagaimana penerapannya di Indonesia, simak yuk!

Alternatif Transisi Energi Untuk Kurangi #SelimutPolusi

Dalam webinar bersama Eco Blogger Squad pekan lalu, kami belajar bagaimana transisi energi bisa menjadi salah satu alternatif untuk kurangi polusi yang menjadi sebab perubahan iklim. Sebelum kita bahas bagaimana transisi energi bisa menjadi alternatif atau solusi yang baik untuk mengatasi perubahan iklim, kita bahas dulu yuk apa itu transisi energi.

Transisi Energi sendiri merupakan sebuah upaya untuk mengurangi penggunaan energi fosil dengan energi non fosil yang rendah polusi dan emisi gas rumah kaca.

Memangnya kenapa kita perlu melakukan transisi energi?

Sebagaimana yang telah saya bahas sebelumnya bahwa peningkatan penggunaan kendaraan pribadi berbahan bakar fosil, penggunaan bahan bakar fosil sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik dan pembabatan hutan untuk produksi energi menyebabkan timbulnya efek gas rumah kaca yang menyelimuti atmosfer bumi.

Efek Gas Rumah Kaca atau yang akrab disebut sebagai GRK ini menyebabkan:

  • Naiknya kumpulan polusi yang menyelimuti atmosfer bumi
  • Perlahan meningkatkan suhu permukaan bumi (global warming) dan menyebabkan perubahan cuaca secara luas dalam jangka waktu yang panjang (perubahan iklim).
  • Perubahan iklim menyebabkan terjadinya bencana lingkungan

Transisi energi yang disebutkan sebelumnya diperlukan untuk mengikis selimut polusi dari EFEK GRK yang menyelimuti atmosfer bumi dan tentu saja transisi energi dapat mencegah timbulnya bencana lingkungan yang terjadi di bumi kita, khususnya di Indonesia.

Tidak hanya terjadinya bencana lingkungan tentu saja, tapi juga berkurangnya tempat tinggal yang aman dari bencana lingkungan, berkurangnya sumber air, dan juga berkurangnya sumber pangan (kenaikan harga pangan dan potensi kelaparan).

Beberapa transisi energi yang telah dilakukan oleh kelompok masyarakat maupun Pemerintah Indonesia sudah tampak di sana-sini lho. Tinggal kita saja nih yang siap atau tidak untuk menyambut transisi energi itu sendiri.

Salah satunya yakni Inovasi Listrik dari Biogas yang berasal dari sampah organik yang telah dilakukan di kota Malang.

Penerapan Transisi Energi yang Sudah Berjalan di Indonesia. Apa Saja ya?

Salah satu daerah yang sudah menerapkan sistem Sanitary Landfill di Tempat Pembuangan Akhir adalah kawasan Supiturang, Kota Malang. Mereka mengolah sampah menjadi Bio Gas lho.

transisi energi di indonesia

TPA Supit Urang setelah mengalami transformasi (source: pemkot malang)

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah mengembangkan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Supit Urang, Kota Malang, Provinsi Jawa Timur yang semula menggunakan sistem penimbunan sampah terbuka (open dumping) menjadi sistem sanitary landfill. TPA yang dioperasikan  dengan sistem sanitary landfill akan meminimalisir dampak pencemaran, baik air, tanah, maupun udara sehingga lebih ramah lingkungan.

Pengembangan TPA Supit Urang merupakan kerja sama antara Pemerintah Indonesia melalui Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR dengan Pemerintah Jerman dalam Program Emission Reduction in Cities (ERiC)  in Malang Municipality. Selain Kota Malang, terdapat 3 Kota/Kabupaten lain yang menjadi pilot dalam program tersebut, yakni Kota Jambi, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Jombang.

Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan penanganan masalah sampah dapat dilakukan melalui dua aspek, yakni struktural dengan membangun infrastruktur persampahan dan non struktural seperti mendorong perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat.

Pengembangan sistem sanitary landfill TPA Supit Urang dikerjakan sejak 27 Juli 2018 dan telah selesai 30 November 2020 dengan anggaran Rp 230 miliar dalam bentuk kontrak tahun jamak (multi years contract) 2018-2020. TPA ini memiliki kapasitas tampung 726.162 m3 untuk melayani sampah rumah tangga penduduk Kota Malang sebanyak 700.000 jiwa atau setara dengan 450 ton/hari.

Kepala Balai Prasarana Permukiman Wilayah  (BPPW) Jawa Timur M. Reva Sastrodiningrat mengatakan, TPA Supit Urang terletak di Kelurahan Mulyorejo Kecamatan Sukun Kota Malang kapasitas tampungnya sudah overload yaitu mencapai 90% sehingga kondisi tersebut menuntut adanya Tempat Pemrosesan Akhir yang mencukupi.

Oleh karena itu untuk mengatasi masalah tersebut, maka Kementerian PUPR melalui Balai Prasarana Permukiman Wilayah (BPPW) Jawa Timur memberikan dukungan kepada Pemerintah Kota Malang melalui program Emission Reduction in Cities yaitu dengan membangun lahan untuk sanitary landfill baru seluas 5 Ha.

Program ERIC-Solid Waste Management dimaksudkan untuk memberikan kontribusi dalam pelaksanaan strategi perubahan iklim di Indonesia, khususnya di daerah perkotaan melalui investasi fasilitas pengolahan sampah rumah tangga secara ramah lingkungan dan higienis.

Pembangunan yang dilakukan mencakup penyusunan desain TPA sampah dan fasilitas pendukungnya, pekerjaan konstruksi TPA sampah dan fasilitas pendukungnya, serta pengadaan alat berat pendukung. Selain itu juga peningkatan kapasitas kelembagaan Pemerintah Daerah di sektor persampahan.

Bagaimana cara kerjanya?

Sistem sanitary landfill dibangun dengan melakukan pelapisan lahan pembuangan (sel aktif) TPA menggunakan 3 lapis perlindungan lingkungan.

  • Pertama, di atas tanah asli yang telah dipadatkan dipasang lapisan kedap paling bawah berupa geosynthetic clay liner bahan gel sintetis (geo tekstil) setebal 1 cm yang akan menahan kebocoran air lindi agar tidak mencemari tanah.
  • Lapisan kedua dan ketiga adalah lapisan geomembran setebal 2 mm berupa lapisan impermiabel dan geotextile setebal 1,2 cm berupa karpet sintetis berserat kasar yang khusus didatangkan dari Jerman.
  • Selanjutnya, karpet sintetis ini dilapisi batu koral dengan diameter 2 cm tertumpuk rata setinggi 50 cm sebagai bahan penyaring air lindi. Kemudian sampah ditumpuk, diratakan, dan ditimbun tanah pada setiap ketinggian tanah 1–2 meter agar tidak dihinggapi lalat dan juga mencegah terjadinya kebakaran dari gas metan yang dihasilkan sampah.
  • Terakhir, air lindi ditampung dan disalurkan ke kolam penampungan IPL (Instalasi Pengolahan Lindi) dengan sistem pemurnian bertahap dan dilengkapi bak kontrol. Output dari pembangunan TPA ini adalah mengedepankan konsep ramah lingkungan dengan mengurangi aroma tidak sedap.

Selain TPA Supit Urang, dalam Webinar narasumber dari TractionEnergy juga menyebutkan bahwa di Indonesia sendiri sudah ada beberapa penerapan transisi energi yang bisa kita jadikan pilot project dari lingkup terkecil di lingkungan kita.

Diantaranya seperti: inovasi biodiesel dari minyak jelantah yang telah dilakukan oleh CV Gen Oil Produsen Biodiesel dari minyak jelantah di Makassar, lalu ada juga Yayasan Lengis Hijau (PT Bali Hijau) Produsen Biodiesel dari Minyak Jelantah di Bali, lalu BUMDes Panggung Lestari Desa Panggungharjo Kab. Bantul Yogyakarta, dan mungkin masih banyak lagi di luar sana.

Lalu apa ya yang bisa kita lakukan sebagai ibu rumah tangga, sebagai seorang blogger, atau sebagai seorang mahasiswa?

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tidak perlu menunggu diri sendiri yang merasakan dampaknya secara langsung, tidak perlu pula menunggu punya perusahaan, kita pun bisa melakukan sesuatu untuk mengurangi polusi dan memperkecil efek perubahan iklim itu sendiri. Kita bisa lakukan:

  • Terlibat dalam pengumpulan limbah rumah tangga untuk bahan baku energi non fosil (biodiesel dan biogas).
  • Ceritakan praktik baik inovasi pemanfaat energi terbarukan/non-fosil
  • Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi
  • Menghemat penggunaan listrik
  • Mengkampanyekan penggunaan produk energi terbarukan

Salah satu penggunaan produk energi terbarukan ini sudah banyak juga digunakan oleh masyarakat lho! Teman-teman tentu pernah menjumpai panel surya dan penggunaannya. Inilah salah satu transisi energi sektor kelistrikan yang bisa kita mulai. Apalagi panel surya sudah banyak dijual secara luas, baik offline maupun melalui e-commerce.

Meskipun dalam penerapannya kita masih memiliki banyak sekali tantangan untuk bisa menerapkannya secara menyeluruh dan sempurna. Diantara beberapa tantangan transisi energi di sektor kelistrikan yang perlu diperhatikan dijelaskan pula oleh narasumber dari webinar pekan lalu, diantaranya:

  • Pasokan energi matahari dan angin tergantung musim dan periode maksimal tidak selalu cocok dengan periode beban puncak konsumsi listrik.
  • Pasokan air untuk PLTA dan PLTMH memerlukan ekosistem sungai yang terjaga kelestariannya
  • Lokasi daerah potensial jauh dari penduduk dan infrastruktur memadai (jalan, jembatan, serta grid listrik)
  • Minimnya kurikulum pendidikan energi terbarukan di perguruan tinggi yang menyebabkan kurangnya SDM ahli energi terbarukan di Indonesia.
  • RnD yang belum memadai di Indonesia
  • Sektor industri komponen energi terbarukan belum tubuh di Indonesia sehingga masih tergantung dengan komponen luar negeri (impor barang jadi). Akibarnya harga barang menjadi mahal.

Namun bukan berarti kesempatan untuk memanfaatkan transisi energi untuk mengurangi selimut polusi jadi hilang yaa, bukan. Justru di sinilah peran kita untuk mencari solusinya bersama-sama dan ikut memberikan dukungan pada seluruh komponen yang berperan.

Sebagai seorang blogger penting untuk kita menjadi penyambung lidah, menjadi corong para pemerhati lingkungan sekaligus peneliti yang telah berjuang untuk menekan laju perubahan iklim dengan terus menggaungkan isu besar melalui cara-cara kita sendiri. Diantara isu besar apa yang bisa digaungkan yakni:

  • Sentralisasi wewenang pengadaan energi skala besar ke Pemerintah Pusat pasca UU Ciptaker. Sehingga Pemerintah Daerah sulit mengembangkan proyek energi terbarukan skala besar.
  • Rendahnya investasi di proyek energi terbarukan
  • Rendahnya SDM dan RnD tentang teknologi terbarukan
  • Inovasi dan perkembangan teknologi terbaru di bidang energi terbarukan
  • Contoh-contoh praktik baik pemanfaatan energi terbarukan pada skala besar-kecil, di Indonesia atau di negara lain yang mirip kondisi alamnya dengan Indonesia
  • Insentif transisi energi belum optimal. Sehingga biaya produksi dan harga jual masih mahal

transisi energi

Kebijakan transisi energi memang tidak bisa dilakukan sepenuhnya untuk saat ini di Indonesia. Transisi energi di Indonesia sudah cukup baik dengan adanya PLTU, PLTA, hingga beberapa komunitas yang menggunakan panel surya sebagai pengganti listrik. Itu semua mungkin tidak seberapa jika dibandingkan dengan transisi energi global yang sudah gencar dilakukan untuk menekan laju perubahan iklim yang semakin parah.

Namun setidaknya kita masih punya harapan, karena saya percaya masih ada banyak orang yang peduli pada bumi kita.

 

Referensi:

https://pu.go.id/

Webinar bersama Eco Blogger Squad dan TractionEnergy