Satu tahun terakhir kemarin kita sempat “dilumpuhkan” oleh pandemi. Banyak bidang yang dipengaruhi oleh hal ini, tidak hanya ekonomi dan kesehatan. Namun juga pendidikan hingga lingkungan. Pada bahasan sebelumnya, saya pernah menuliskan bahwa pandemi ini juga termasuk salah satu efek dari banyak efek bola salju sebuah fenomena yang sudah tidak asing lagi bagi kita, yaitu climate change.

Perubahan iklim hadir sebagai bentuk fenomena kerusakan lingkungan yang memiliki dampak pada hampir setiap bidang kehidupan yang mengancam eksistensi kehidupan manusia, baik pada tataran lokal, nasional maupun global. Perubahan iklim bukan lagi menjadi isu, tapi nyata adanya. Bahwa emisi gas rumah kaca tetap meningkat meskipun banyak upaya untuk menguranginya telah ditempuh.

Beberapa waktu lalu, saya dan beberapa kelompok Eco Blogger lain membahas hal ini dalam sebuah rangkaian webinar bersama Blogger Perempuan, Hiip Indonesia, Kak Gita Syahrani (Kepala Sekretariat LTKL atau Lingkar Temu Kabupaten Lestari, bersama dengan Kak Tian dari Golongan Hutan serta beberapa aktivis dari WALHI, dan 30 blogger terpilih lainnya yang tergabung dalam Eco Blogger Squad. Senang bisa ikut hadir dan mendapatkan ilmu dari mereka semua.

eco blogger squad generasi lestari

Kesadaran untuk membangunkan kita sebagai manusia dari mimpi panjang yang tak berkesudahan dan perbuatan semena-mena terhadap lingkungan sudah seharusnya dibahas di warung kopi, sekolah-sekolah, universitas, pusat perbelanjaan, bahkan ketika kita berbelanja di pasar. Sudah seharusnya kita sadar dengan apa yang kita lakukan. Karena efeknya bukan hanya pada diri sendiri tapi juga bumi kita ini. Satu-satunya tempat tinggal manusia.

Jika teman-teman peduli pada bumi dan ingin menjadi generasi lestari, yuk mari lanjutkan baca artikel ini.

Kondisi Bumi Saat Ini

Sebenarnya sudah ada banyak bahasan tentang kondisi bumi kita saat ini, namun tidak ada salahnya jika saya mengingatkan sedikit dalam tulisan ini. Karena menjadi generasi lestari harus tahu bagaimana kondisi bumi dari waktu ke waktu dong.

Tercatat bahwa emisi gas rumah kaca pada periode 2000-2010 lalu berlangsung lebih cepat daripada dekade-dekade sebelumnya. Lalu kita bisa bayangkan bagaimana hal tersebut bisa terjadi di beberapa tahun terakhir. Ketika banyak terjadi bencana banjir bandang, longsor, dan kebakaran hutan. Berbagai skenario telah dilakukan untuk menghambat peningkatan temperatur global pada level 2 derajat Celcius di bawah level pra-revolusi industri.

Namun nyatanya skenario-skenario tersebut tidak juga membuahkan hasil. Karena memang cara yang ditempuh tidak dilakukan secara institusional dan besar-besaran. Obrolan tentang bumi masih belum menjadi obrolan warung kopi. Seolah mereka tidak merasakan langsung dampak dari perubahan iklim itu sendiri.

Padahal dalam konteks Indonesia, dampak perubahan iklim yang diprediksi akan terjadi adalah kenaikan muka air laut setinggi satu meter yang akan mengakibatkan masalah besar pada masyrakat yang tinggal di daerah pesisir. Abrasi pantai dan mundurnya garis pantai sampai beberapa kilometer menyebabkan banyak masyarakat kehilangan tempat tinggal dan sumber daya.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kenaikan permukaan air laut setinggi 60 cm akan berpengaruh langsung terhadap jutaan penduduk yang hidup di daerah pesisir. Panjang garis pantai Indonesia yang lebih dari 80.000 kilometer memiliki konsentrasi penduduk dan kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang tinggi, termasuk kota pantai dan pelabuhan. Demikian juga ekosistem alami seperti mangrove akan banyak mengalami gangguan dari pelumpuran dan penggenangan yang makin tinggi.

Selain itu, suhu udara yang meningkat secara langsung akan memengaruhi produksi sereal termasuk padi, makanan pokok masyarakat Indonesia. Dalam hasil laporan Indonesia Country Study on Climate Change pada tahun 1998, dikatakan bahwa kerentanan sistem produksi pertanian terhadap adanya perubahan iklim : anomali iklim pada tahun 1991 dan 1994 menyebabkan Indonesia harus mengimpor beras 600.000 ton pada 1991 dan lebih dari satu juta ton pada 1994.

Padi dan sereal lainnya sangat peka terhadap perubahan suhu udara meskipun kecil. Hal ini juga telah diprediksi oleh badan pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa FAO yang menyebutkan bahwa perubahan iklim, seperti halnya perubahan terhadap pola penyakit dan hama akan memengaruhi bagaimana sistem produksi pangan akan dilakukan di masa yang akan datang.

Uraian data ilmiah mengenai akibat yang dihasilkan dari perubahan iklim secara jelas menggambarkan bahwa dampak dari perubahan iklim akan terjadi secara nyata saat ini dan berimbas pada masa yang akan datang, Pada kehidupan selanjutnya yang akan menjadi hunian anak cucu kita kelak.

Eksistensi negara-negara kepulauan semakin terancam serta dampak simultan yang akan dialami oleh negara-negara miskin menjadi cerminan ketidakadilan iklim saat ini. Kondisi ini juga turut andil dalam memperburuk iklim yang akan dirasakan oleh generasi ke depan.

Pernahkah kita berpikir bahwa pandemi yang terjadi saat ini adalah salah satu efek yang disebabkan oleh perubahan iklim? Dan jika tidak dicegah, atau minimal dihambat kenaikannya dengan perubahan perilaku, eksistensi manusia pasti akan terancam dalam waktu dekat.

dampak perubahan iklim

Penyampaian Kak Gita tentang pandemi dan perubahan iklim

Prinsip Energi Berkeadilan untuk Perubahan Iklim

Setelah mengetahui bagaimana kondisi bumi kita saat ini, setidaknya ada kebijakan penggunaan energi yang diharapkan dapat memperlambat laju naiknya suhu bumi. Kenapa memperlambat? Karena memang kita tidak akan bisa menghentikannya. Dampak revolusi industri terdahulu bak buah simalakama bagi kelangsungan hidup manusia.

Semakin banyak energi yang digunakan, semakin banyak pula deforestasi, penggundulan hutan, atau bahkan eksploitasi sumber daya alam semata untuk kesejahteraan umat manusia. Kak Tian dari Golongan Hutan dan Kak Gita Syahrani mengatakan tentang prinsip energi berkeadilan. Bagaimana prinsip tersebut? Diantaranya sebagai berikut :

  1. Menyediakan akses energi untuk semua sebagai hak dasar manusia.
  2. Aman terhadap iklim dan berdasarkan pada teknologi yang tersedia di wilayah lokal dan berdampak rendah terhadap perubahan iklim. Jadi ketika dihadapkan dengan banyak pilihan, ada baiknya kita memilih energi yang lebih aman terhadap iklim. Meskipun semuanya tidak memungkinkan untuk disebut aman terhadap perubahan iklim. Namun kita bisa memilih yang paling sedikit efeknya.
  3. Energi berada di bawah kontrol langsung oleh publik dan diatur untuk kepentingan publik. Siapa sih sebaiknya yang mengontrol energi ini? Sebaiknya berada di bawah kontrol publik. Seperti yang ada di Dusun Silit Sintang yang menjadi wilayah hutan adat di Kalimantan Barat. Mereka mengelola energinya sendiri untuk dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Wilayah sebesar 5000 hektar tersebut kini sedang dalam pengajuan untuk mendapat pengakuan sebagai hutan adat ke Pemerintah Pusat.
  4. Memastikaan hak-hak pekerja di sektor energi. Apa treatment yang harus diberikan, juga tentang bagaimana membuka lapangan pekerjaan untuk orang-orang baru yang berkompetensi.
  5. Memastikan hak free, prior and informed consent bagi masyarakat yang terkena dampak dari pemanfaatan energi itu sendiri
  6. Berskala kecil dan terdesentralisasi.
  7. Memastikan penggunaan energi yang adil dan seimbang serta meminimalkan limbah energi.

Meskipun akan terasa sulit, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan. Seperti yang telah saya tuliskan pada tulisan sebelumnya, bahwa kita tidak akan bisa sendirian untuk bergerak. Kebaikan yang terorganisir tentu akan berdampak lebih besar dibanding kebaikan yang dilakukan secara parsial.

Jika tiap orang mengambil perannya sesuai bidang masing-masing, maka prinsip energi berkeadilan bisa kok kita raih dan kita nikmati manfaatnya bersama-sama. Jadi jangan pernah merasa sia-sia ketika melakukan kebaikan sekecil apapun untuk bumi.

Generasi Lestari : Mengubah Isu Perubahan Iklim Menjadi Obrolan Tongkrongan Warung Kopi

generasi lestari

webinar bersama ecobloggersquad

Sebenarnya perubahan iklim sudah bukan isu lagi, tapi sudah menjadi fakta yang nyata dengan banyaknya data yang mendukungnya. Generasi lestari wajib tahu hal ini bukan?

Berbicara tentang perubahan iklim pun tidak bisa terlepas dari kegiatan menjaga hutan. Banyak orang yang bertanya, Apa sih keuntungannya menjaga hutan?

Bagi orang-orang yang jarang “piknik” tentu saja hutan tidak tampak secara langsung telah memberikan manfaat pada kehidupannya. Udara bersih yang dihirup, air jernih yang diminum, tanah yang tak tercemar sebagai media tumbuhan, dan masih banyak lagi yang diberikan hutan untuk umat manusia.

Oleh karena itu menjaga hutan berarti akan menjaga seluruh kelangsungan hidup di bumi ini, dan secara tidak langsung akan berimbas pada keuntungan yang lain. Hutan juga menjaga dari ekspansi besar seperti pertambangan. Sekaligus juga memberikan pengakuan pada hak atas hutan pada masyarakat adat.

Adanya hutan yang terjaga akan menjamin ketersediaan sumber energi dan bisa menyelesaikan persoalan. Bukankah kita tidak mau lagi bergantung pada energi kotor seperti batu bara? Karena jika hutan kita lestari maka akan berdampak pada sektor perekonomian, dan lain sebagainya. Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk menjaga hutan kita?

Apa yang bisa kita lakukan sebagai Generasi Lestari?

Kak Tian dari Golongan Hutan menyebutkan, kita bisa kok mengambil peran di bidang masing-masing. Tidak harus yang mengerti banget soal hutan, cukup kita memahami bahwa hutan adalah kebutuhan. Cukup memahami bahwa hutan adalah salah satu penunjang kehidupan.

memilih produk kecantikan

Beberapa hal yang bisa kita lakukan sebagai generasi lestari, yaitu seperti :

Dalam donasi hutan, siapapun bisa ikut untuk mengambil peran. Tidak harus aktivis lingkungan kok. Bahkan blogger pun bisa ikut ambil peran di sini.

  • Solusi konkret di level masyarakat. Contohnya yang sudah dirintis oleh Dusun Silit Sintang Kalimantan Barat. Mereka, sebagai masyarakat adat Sintang bisa lebih leluasa dalam mengelola, memanfaatkan dan melindungi sumber daya alam dan lingkungan hidupnya. Selain itu, masyarakat adat juga bisa  memberlakukan hukum adat di wilayahnya.
  • Memanfaatkan komoditas lokal untuk menaikkan taraf ekonomi masyarakat sekitar.

Teman-teman perlu ketahui bahwa nilai transaksi e-commerce selama pandemi belakangan ini naik terus. Padahal saat ini kondisinya pandemi ya, kenaikannya pun tidak tanggung-tanggung, yaitu sekitar 80%. Artinya pola ekonomi Indonesia memang masih dikuasai oleh e-commerce. Namun mirisnya, produk-produk yang kita beli dari transaksi sebesar itu kebanyakan bukan dari Indonesia. Nilai transaksi sebesar 300 trilliun rupiah tersebut ternyata masih bayak didominasi oleh produk-produk luar.

Padahal jika kita melihat potensi hutan kita di Indonesia ada banyak sekali produk herbal, pewarna alam, hingga makanan yang bisa menjadi peluang untuk pola ekonomi selanjutnya. Hanya tinggal bagaimana caranya kita mengkaitkannya dengan potensi pasar.

Sudah saatnya kita memperhatikan dan lebih aware pada produk lokal yang ramah lingkungan. Jika obrolan perubahan iklim dan efeknya yang begitu dahsyat ini menjadi obrolan mainstream di warung kopi, saya pun berpikir apakah masyarakat akan segera sadar dan ambil bagian?

Jika obrolan perubahan iklim sudah menjadi obrolan mainstream di warung kopi, pasar, sekolah, hingga pusat layanan publik mungkin kita akan menjadi lebih bersemangat untuk lebih peduli pada hutan dan juga lingkungan.

menjadi generasi lestari

 

Jika obrolan tersebut menjadi obrolan serius di warung-warung kecil hingga cafe terkenal mungkin semua akan ambil peran sesuai keahlian di bidang masing-masing dan mengolah sumber daya alam secara bijak. Agar tidak merusak lingkungan dan menjadi masyarakat adat yang bisa mendorong value dari hutan itu sendiri. Karena potensi hutan di Indonesia itu sebenarnya banyak sekali.

Namun kembali lagi pada diri kita sendiri, bagaimana caranya mengejar produk turunan berkualitas yang bisa menjaga fungsi alam, menyejahterakan petani, pekebun maupun pekerja lainnya yang terlibat dan limbahnya pun terjaga. Meskipun kita menyadari untuk saat ini memang tidak banyak produk Indonesia yang memenuhi tiga kriteria tadi, untuk itu inilah tugas kita, generasi lestari untuk menjemput bola.

Sehingga tidak ada yang namanya desa tertinggal, karena tidak semua harus pergi ke kota untuk mendedikasikan ilmunya.

Konsep Doughnut Economy untuk Generasi Lestari

Cara berpikir yang cukup jauh ke depan sebenarnya telah dimiliki oleh Indonesia. Dimana saat ini telah banyak diterapkan tentang teori ekonomi donat. Saya pun baru mendengar hal ini ketika Kepala Sekretariat LTKL, Kak Gita Syahrani memaparkan sedikit tentang konsep yang cukup menarik ini. Jika Pemerintah konsisten dan punya keinginan untuk bisa menerapkan konsep ekonomi donat, setidaknya kita cukup terbantu untuk menghambat laju perubahan iklim yang terjadi saat ini.

Konsep Doughnut Economy atau yang lebih mudah disebut dengan ekonomi donat pertama kali dicetuskan oleh Kate Raworth pada tahun 2012. Kate merupakan seorang ekonom lulusan Oxford yang juga merangkap sebagai Senior Associate di Cambridge Institute for Sustainability Leadership di samping mengajar sebagai professor dalam program Environmental Change and Management.

Untuk dapat memahami apa itu sebetulnya ekonomi donat, ada baiknya dilakukan perbandingan terlebih dahulu dengan model ekonomi klasik. Model ekonomi klasik adalah model ekonomi yang diperkenalkan oleh beberapa tokoh terkemuka dunia seperti Max Weber, Joseph Schumpeter, William Ashley dan lain sebagainya. Model ekonomi klasik berpegang teguh pada konsep growth alias pertumbuhan.

Dalam konsep ini, idealnya keuntungan dan produksi tahun depan haruslah lebih baik dari tahun sekarang. Intinya, ‘keberhasilan’ suatu unit bisnis hari ini ditandai dengan pertumbuhan dan kondisi finansial yang lebih baik dari hari kemarin. Hal tersebut sedikit agak berbeda dengan konsep ekonomi donat.

Kate Raworth mempertimbangkan aspek lainnya seperti kelestarian lingkungan dan peradaban manusia yang nyatanya memiliki keterbatasan. Pada satu waktu, keterbatasan itu akan mencapai tipping pointTipping point adalah kondisi epidemiologi di mana satu perubahan kecil akan membawa kita ke sebuah perubahan yang masif. Perubahan tersebut bisa berupa krisis iklim maupun krisis sosial.

Dunia tidak bisa terus menerus bergantung pada konsep ekonomi klasik jika ingin menuntaskan krisis-krisis tersebut. Sudah saatnya beralih ke model ekonomi donat. Konsep ekonomi donat tidak mengenal istilah ‘membuang sampah akhir’. Setiap produk, pada akhir hidupnya, akan berubah bentuk menjadi materi dasar (raw material) untuk produk-produk selanjutnya.

konsep ekonomi donat

Sekarang mari kita bayangkan bentuk kue donat seperti diagram yang tertera di atas. Diagram tersebut terdiri dari dua lingkaran. Lingkaran yang pertama adalah lingkaran yang berada di bagian dalam yang menggambarkan sumber daya yang cukup bagi manusia untuk memiliki kehidupan yang baik. Adapun yang menjadi elemen dalam lingkaran dalam tersebut adalah makanan, air bersih, tempat tinggal, sanitasi, energi, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan demokrasi.

Lingkaran yang kedua berada di bagian terluar donat. Lingkaran tersebut menggambarkan batasan-batasan alam yang dimiliki oleh bumi seperti potensi terjadinya krisis perubahan iklim, polusi air, penipisan ozon, punahnya spesies dan serangan-serangan lingkungan lainnya.

Ruang yang terdapat di antara kedua lingkaran tersebut, yang mana adalah donat itu sendiri, adalah ruang yang aman secara ekologis dan adil secara sosial. Di ruang tersebutlah umat manusia harus berjuang untuk dapat hidup. Tujuan ekonomi seharusnya dapat membantu manusia untuk memasuki ruang tengah dan tinggal di sana. Model ekonomi donat memungkinkan kita untuk melihat secara komprehensif dan menemukenali di mana posisi kita berada.

Kecenderungan saat ini adalah umat manusia yang telah melampaui kedua lingkaran, baik dalam maupun luar. Miliaran orang masih hidup di lingkaran dalam, dan tentu aktivitas sehari-hari telah membawa kita melampaui lingkaran terluar dan membahayakan kelestarian bumi.

Pendekatan yang dilakukan oleh ekonomi donat bertujuan untuk meredistribusikan ‘sumber kekayaan’. Ekonomi donat akan memikirkan bagaimana tanah dan sumber daya dapat didistribusikan secara merata. Apakah melalui reformasi tanah, pemberlakuan pajak nilai tanah, atau dengan mengakui tanah sebagai hak bersama.

Ekonomi donat juga akan berfokus untuk mencari jawaban atas pertanyaan: model bisnis seperti apa yang dapat memastikan bahwa pekerja pekerja yang berkomitmen menuai bagian yang jauh lebih besar dari nilai yang mereka hasilkan? Ekonomi donat juga akan memikirkan tentang bagaimana ilmu pengetahuan bisa didistribusikan secara global melalui sumber terbuka yang tidak dipungut biaya serta penyediaan lisensi gratis untuk masyarakat yang membutuhkan.

Menjadi Generasi Lestari dari Warung Kopi

Warung kopi menjadi sebuah image sebuah tempat obrolan banyak orang dari berbagai macam strata sosial, latar belakang pendidikan, hingga pola pikir di dalamnya. Tempat berkumpulnya banyak orang yang ingin melepas penat hingga bertemunya orang-orang yang sedang berpikir tentang saham, kondisi negara, bahkan perang dunia.

Mengamati warung kopi seperti itu menjadikan saya terpengaruh dengan kalimat yang dilontarkan oleh Kak Tian dari Golongan Hutan saat webinar kemarin. Bahwa banyak orang menganggap remeh soal perubahan iklim ini karena dianggap tidak dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari. Perubahan iklim dianggap sebagai hal-hal yang masih akan “jauh” terjadi. Sebagaimana orang menghindari membicarakan soal akhir dunia.

Padahal tidak harus mahir berkomunikasi ketika ingin menyelamatkan bumi lewat kampanye-kampanye seperti webinar hari bumi beberapa waktu lalu. Semua profesi asal kita sadar dan dapat mengambil benang merah dari seluruh bencana alam serta fenomena perubahan iklim yang terjadi, kita bisa ikut mengambil peran atasnya. Bagaimanapun latar belakang kita, sebagaimana warna dari pengunjung di warung kopi.

Jangan sampai kita terlambat menyadarinya. Seperti fenomena yang telah dipaparkan oleh Kak Gita. Ada pohon di Kamboja yang “seolah-olah” mengambil kembali “teritorial”nya. Mengambil kembali tanah yang sudah kita rebut dan eksploitasi. Karena tanpa manusia, bumi sebenarnya akan selalu baik-baik saja.

fenomena pohon

Oleh karena itu merayakan hari bumi sebenarnya bukan tentang menyelamatkan bumi. Tapi menyelematkan seluruh umat manusia. Menyelamatkan kita bersama-sama. Karena bumi tak butuh kita. Bumi baik-baik saja tanpa kita.

Kalau ada yang mengatakan bahwa ini tidak ada hubungannya dengan kita, itu salah. Diterpa pandemi seperti ini saja kita sudah kewalahan, bagaimana kita akan mengatasi hal-hal yang akan terjadi dengan gelombang yang lebih besar dan mematikan? Bagaimana dengan virus baru yang akan bermunculan akibat mencairnya es di kutub utara dan selatan? Masihkah kita acuh terhadap kondisi yang memprihatinkan?

Semuanya akhirnya akan kembali lagi pada fungsi biodiversitas. Selamat tinggal tanah yang subur, udara yang bersih, dan air yang sehat.

Selamat Hari Bumi, mari menjadi generasi lestari 🙂

Referensi :

Teori ekonomi donat oleh Annabel Noor Asyah, S.T., M.Sc (www.handalselaras.com)