The Art of Thinking Clearly adalah salah satu buku nonfiksi yang akhirnya berhasil saya khatam-kan bulan ini. Sudah lama sebenarnya nangkring di rak buku. Namun entah mengapa sulit sekali menyelesaikannya. Akhir-akhir ini saya jadi kurang berminat pada buku-buku nonfiksi, huhu..
Kalau bukan karena pembaca setia Jeyjingga yang selalu menantikan review bukunya, mungkin review ini selamanya ngga akan saya tulis di sini. Ciyee, segitunya.
Iya, karena sepertinya sudah lama saya absen mereview buku ya, hehe.
Nah, berikut spesial untuk teman-teman review The Art of Thinking Clearly karya Rolf Dobelli.
Tentang Buku The Art of Thinking Clearly
The Art of Thinking Clearly adalah karya Rolf Dobelli, seorang penulis novel kelahiran 1966 asal Swiss. Mengejutkan ketika saya mengetahui bahwa ternyata The Art of Thinking Clearly adalah buku nonfiksi pertamanya. Jika teman-teman membaca buku ini, dijamin akan mengakui kejeniusan berpikir seorang Rolf. Tak heran ya karena ia mendapat gelar MBA dari Universitas St.Gallen, Swiss, dan mendapatkan gelar PhD dalam filsafat.
Teman-teman tahu ZURICH.MINDS? Yes, yayasan nirlaba yang didirikan pada Juni 2008 oleh Rolf Dobelli. Tujuan dari foundation itu sendiri adalah “untuk menciptakan jembatan antara komunitas sains, bisnis, dan budaya.”
Yes, beliau adalah pendiri atau mitra-pendiri beberapa perusahaan dan komunitas, termasuk ZURICH MINDS, komunitas tokoh-tokoh terkemuka dalam sains, budaya, dan bisnis, dan getAbstract, sumber daya rangkuman kepustakaan bisnis terbesar di dunia. Saat ini beliau tinggal di Swiss.
Beberapa pertanyaan akan teman-teman jumpai ketika mendapati buku The Art of Thinking Clearly bahasa Indonesia. Diantaranya :
Apakah kamu pernah :
- pernah berpikir memulai bisnis sesudah terinspirasi kisah sukses?
- percaya ramalan dan prediksi para pakar di media?
- merasa bahwa bertindak itu pasti lebih baik daripada diam saja?
- selalu membuat jadwal dan rencana sambil berharap bisa menepatinya?
- merasa bahwa sesuatu yang diyakini banyak orang benar itu pasti benar?
Yuk kita coba jawab satu per-satu.
Perihal memulai bisnis sesudah terinspirasi kisah sukses ini memang benar sih. Saya sendiri sering merasakan bagaimana mudahnya saya melirik “hal lain” karena melihat kesuksesan orang tersebut. Orang Indonesia memang mudah terpengaruh, kalau bahasa Jawanya gampang latah. Kalau saat ini sedang trending soal investasi sebagai salah satu cara untuk sukses, orang-orang lalu berbondong-bondong mencari tahu atau tak sedikit bahkan yang langsung terjun untuk segera berinvestasi sebelum terlambat.
Oleh karena itu pengaruh influencer, public figure dan siapapun itu yang sering muncul di layar (baik televisi maupun media sosial) sangat besar bagi masyarakat Indonesia. Karena gimana ya, apa yang sedang mereka lakukan menjadi pemantik untuk diri sendiri untuk melakukan hal yang sama. Termasuk dalam hal bisnis. Betul tidak?
Lalu percaya ramalan dan prediksi para pakar di media tidak bisa dikatakan banyak juga. Namun akan selalu ada dan menjadi salah satu “kompor” yang siap menyalakan apinya kapan saja dibutuhkan. Contoh nyata soal Covid, ada begitu banyak dokter speak up alias berbicara di sosial media tentang bahayanya, kewajiban vaksin, dan lain sebagainya. Lalu di waktu yang sama, ada segolongan dokter juga yang menentang kelompok pro itu.
Parahnya banyak juga yang percaya. Akhirnya bisa ditebak dong ya. Keduanya saling terbentur, menyalahkan satu sama lain, bahkan sampai merusak keharmonisan sebuah grup alumni misalnya. Begitulah. Padahal kita tidak tahu apakah para pakar yang tampil di media tersebut dibayar untuk tidak jujur atau tidak. Kita tidak pernah tahu sih.
Beberapa orang juga percaya bahwa bertindak itu lebih baik dibanding diam saja. Khusus hal ini sih saya tidak setuju. Karena saya termasuk orang yang tidak memercayai itu. Kadang kala ada waktunya kita harus diam saja karena mungkin meladeni orang bodoh dan tak tahu dirinya bodoh (menolak kebenaran) itu akan buang-buang waktu dan energi saja. Sehingga apapun yang kita katakan mau berdasar fakta sekalipun akan dianggap sebagai suatu hal yang ngawur. Jadi mending ya tak usah lanjutkan perdebatan dengan seseorang yang memang tak mau mendengar kebenaran.
Dari tiga hal itu saja kita sudah dapat mengetahui apa isi pikiran Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly. Mungkin kita sedang terjebak dalam satu dari 99 sesat pikir (jangan tanya saya ya di akhir postingan ini bagaimana cara mendapatkan 99 sesat pikir pdf) dalam buku ini.
Sesat pikir (fallacy) atau kekeliruan bernalar timbul karena otak kita aslinya berkembang di dunia zaman dulu yang amat berbeda dengan dunia saat ini. Maka agar dapat berpikir lebih jernih dan membuat keputusan lebih baik dalam dunia bisnis, kemasyarakatan, maupun kehidupan pribadi, kenalilah 99 sesat pikir itu. Semua tertuang dalam buku ini. Maka tepat kiranya jika teman-teman mencari jawaban atas i asking the questions: a guide to critical thinking. Inilah rekomendasi buku critical thinking itu sendiri.
Tidak Usah Membaca Berita!
Jika membaca kalimat tersebut, ‘tidak usah membaca berita’ mungkin ada teman-teman yang berpikir : gila ya? Itu kan pengetahuan? Itu kan harus? dan lain sebagainya. Namun satu hal yang membuat saya setuju atas pernyataan Rolf Debelli soal berita ini.
Tsunami informasi yang menerjang kita saat ini menimbulkan banyak kekacauan. Berkat berita, ada pro kontra mana yang pro vaksin Covid-19 dan mana yang tidak. Mana yang pro MPASi rumahan, mana yang pro MPASI dari pabrikan. Semuanya menjadi chaos karena berita. Sebenarnya, perlukah kita benar-benar mengetahui tentang hal itu?
Kita semua memang mendapatkan informasi dengan sangat baik, namun kita akhirnya hanya mengetahui sedikit. Lainnya kita berspekulasi sendiri dan akhirnya ikut berbicara di media sosial padahal bukan ahlinya. Kalau saya katakan, dunia ini rusuh dan kacau karena yang bukan ahlinya ikut bicara. Mengapa kita hanya tahu sedikit dari berita-berita itu?
Karena Rolf dalam The Art Of Thinking Clearly mengatakan bahwa dua abad yang lalu, kita menciptakan jenis pengetahuan beracun yang disebut berita. Berita bagi pikiran seperti gula kepada tubuh. Sedap, mudah dicerna dan dalam jangka waktu yang lama sangatlah merusak. Persis dengan apa yang telah dikatakan oleh ustadz saya. Apalagi semenjak Covid-19 melanda. Berita membuat banyak orang ketakutan, ada juga yang melawan tak percaya, ada pula yang berbicara sesuai kapasitasnya. Hingga kita tidak tahu mana yang benar dan mana yang tidak valid.
Beberapa tahun sebelum buku The Art of Thinking Clearly selesai, Rolf melakukan percobaan. Ia berhenti membaca dan mendengarkan berita. Entah itu televisi maupun media sosial apapun itu bentuknya.
Minggu pertama memang terasa sulit, sangat sulit. Namun Rolf terus menerus merasa takut ketinggalan sesuatu. Namun setelah beberapa lama, ia memiliki pandangan baru. Hasil setelah tiga tahun apa? pikirannya lebih jernih, pandangannya lebih berharga, keputusan-keputusannya lebih baik, dan lebih banyak waktu. Lalu apa yang paling baik?
Ia tidak melewatkan sesuatu pun yang penting. Ingat ya. Kadang kita mengikuti berita karena memang tidak mau melewatkan sesuatu yang penting bukan?
Jejaring sosial yang dimiliki Rolf adalah jejaring dunia nyata yang terdiri atas teman-teman dan kenalan berwujud darah dan daging. Merekalah yang bekerja sebagai saringan berita agar Rolf tidak ketinggalan zaman, haha. Bisa ditiru nih.
Banyak banget lho alasan yang muncul untuk menjaga jarak dengan berita. Tiga yang utama yaitu :
Pertama, otak kita bereaksi secara tidak seimbang kepada tipe informasi yang berbeda.
Rincian yang memalukan, mengejutkan, mengutamakan orang, berisik, dan cepat berubah semuanya merangsang kita. Sedangkan informasi yang abstrak, kompleks dan tidak diproses membius kita. Produsen berita kemudian banyak memanfaatkan hal ini.
Akibat mengonsumsi berita, kita berjalan dengan peta kejiwaan yang terganggu mengenai risiko dan ancaman yang sebenarnya kita hadapi.
Kedua, berita tidaklah relevan.
Dalam dua belas bulan terakhir, mungkin kita telah mengonsumsi puluhan ribu potongan berita. Jujur saja hanya satu atau dua dari sekian ribu memang yang membantu saya mengambil keputusan yang lebih baik (untuk hidup, karir, atau bisnis) jika dibandingkan tidak mengetahui potongan berita itu.
Kenyataannya, konsumsi berita akhirnya mencerminkan kerugian kompetitif. Jika berita benar-benar menolong orang untuk maju, wartawan akan berada di puncak piramida pendapatan. Tapi tidak kan? Malah sebaliknya. Ada wartawan harga 20 ribuan kalau kata ayah saya. Meskipun tidak semua.
Ketiga, berita hanya membuang-buang waktu.
Setengah umat manusia memboroskan setengah hari setiap minggu untuk membaca kejadian-kejadian saat ini. Betul tidak? Secara global, itu kerugian produktivitas besar-besaran. Satu milira dikalikan dengan satu jam perhatian teralih sama dengan satu miliar jam tanpa bekerja atau melakukan hal-hal bermanfaat lainnya.
Saran Rolf dalam buku ini, abaikan berita. Maka kita akan mendapatkan keuntungan sama banyaknya dengan kesalahan lain yang termasuk dalam buku ini (98 sesat pikir lainnya). Buang kebiasaan mengikuti berita. Lebih baik membaca artikel dengan latar belakang yang panjang dan buku. Yes, tidak ada yang mengalahkan buku dalam memahami dunia.
Masih ada 98 masalah lainnya yang termasuk dalam sesat pikir versi Rolf Dobelli. Beli bukunya dan baca dengan seksama, ada perubahan apa dalam diri kita? Ambil satu saja untuk dilakukan secara konsisten. Tidak membaca atau mendengarkan berita misalnya >.<
The Art of Thinking Clearly by Rolf Dobelli
Cetakan ketiga, November 2019
Penerjemah : Ruth Meigi P.
Jakarta ; KPG, 2019