Lanjutan dari seri #1 kemarin, gambar yang kutatap lama-lama sudah bukan bocah kecil yang taat pada Allah, orang tua dan gurunya. Namun sudah menjadi pemuda tampan yang bersahaja.
Sehzade (sebutan untuk Pangeran) Mehmet tumbuh menjadi lelaki shalih yang cerdas dan tangguh. Hari-harinya selama di Amasya dihabiskannya untuk belajar, belajar dan belajar. Dadaku langsung tertohok. Bagaimana dulu kuhabiskan masa mudaku? Belajar sebentar saja sudah mengeluh ini itu. Agak menyesal bagaimana dulu kuhabiskan waktuku untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Benar, penyesalan selalu di akhir, kalau di awal namanya pendaftaran ya kan…
Seketika aku bersemangat untuk belajar, belajar dan belajar. Kata pepatah menghiburku, “Tidak ada istilah terlambat untuk belajar”. Yah, jika Sehzed Mehmet mampu melahap habis buku di perpustakaan dan menciptakan sebuah proyek besar untuk menghadapi Kerajaan Byzantium, mengapa aku tidak?
Benar kan, komik ini tidak hanya cocok untuk anak kecil, namun wanita (agak) muda sepertiku pun masih banyak mengambil pelajaran darinya. Sekaligus bagaimana sekali lagi diingatkan pada pentingnya sebuah ketaqwaan pada Allah. Ketaqwaan yang diimbangi dengan adab, akhlaq dan ibadah yang tak pernah putus.
Tetiba teringat atas tulisan Kak Helvy Tiana Rosa, untuk membaca salah satu yang diperlukan adalah kerendahan hati untuk menerima ilmu dari buku yang kita baca. Benar, meskipun yang kubaca ini adalah komik, namun isinya sungguh berisi, dan… hidup, tentu saja.
Hal paling menyedihkan sehingga aku harus menunda untuk melanjutkan bacaanku ini adalah saat Ayah Sehzed Mehmet, Sultan Murad tutup usia dalam keadaan yang sangat mengharukan.
Bagaimana kelanjutannya setelah Sultan Murad wafat? Ada banyak wazir yang meragukan kemampuan Sehzed, begitu juga sebagian rakyatnya. Akankah Sultan yang baru ini mampu mengemban amanah berat ini?
Kamu harus baca! MasyaAllah