Apa itu Stoikisme? Kalau merujuk dari Wikipedia, saya mencoba menyimpulkan bahwa Stoikisme adalah sebuah pemikiran. Buah pikiran yang lahir dari seorang Filsuf Yunani dan mengusung perkembangan logika (yang terbagi dalam retorika dan dialektika), fisika, dan etika.
Untuk etika sendiri, Stoikisme yang saat ini sedang gencar sekali dibicarakan dan dipraktikkan adalah tentang bagaimana manusia memilih sikap hidup dengan menekankan sebuah sikap pasrah atau tawakkal (dalam Islam) menerima keadaan di dunia. Sikap tersebut mencerminkan kemampuan nalar manusia, dan kalau di dalam agama saya, Islam, itu sendiri sikap ini merupakan kemampuan tertinggi dari semua hal.
Bersikap pasrah dan berserah pada Allah, pada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga kita tidak lagi menengok hal tersebut. Karena sudah sepenuhnya kita “pasrahkan”.
Apa Itu Stoikisme? Mengambil Hikmah dari Massimo Pigliucci
Sebelum mengenal pola pikir Stoikisme atau mengenal apa itu stoikisme sebenarnya saya sudah membaca soal Stoik itu sendiri dalam bahasa yang ringan dan sangat membekas dalam hati saya. Yakni karya dari Henry Manampiring yang berjudul Filosofi Teras. Buku Filosofi Teras yang banyak menyinggung soal Stoik itu membuat saya mengenal apa itu Stoikisme dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun pada dasarnya ternyata saya telah mengenalnya melalui ajaran agama Islam. Stoikisme dan Islam ternyata sejalan kok, begitu pikiran saya saat membaca buku Filosofi Teras dan karya Massimo Pigliucci yang berjudul Stoik Apa dan Bagaimana yang akan saya bahas sedikit dalam artikel ini.
Kalau teman-teman penasaran dan masih bingung dengan filosofi Stoik itu sendiri, mungkin saya bisa sebutkan contoh Stoikisme terlebih dahulu di sini.
Contoh Stoikisme
Saya pernah merasa sangat pasrah, berserah, entah mungkin itu juga bisa disebut sebagai tawakkal, mungkin. Menyerahkan segala urusan dunia saya pada Tuhan. Sesaat setelah lulus kuliah, saya dikhianati oleh salah seorang yang pernah singgah dalam hati.
Padahal saat itu saya merasa punya masa depan dengannya, saya telah menyusun berbagai rupa rencana, hingga apa yang bisa saya lakukan bersamanya sampai menua. Namun ternyata masa depan yang saya harapkan itu tidak bisa terwujud nyata. Saya tak mungkin bertahan dengan seseorang yang telah berbuat khianat bukan?
Hingga pada akhirnya saya telah berada di titik lelah se-lelah-lelahnya. Saya merasa hidup harus berlanjut namun untuk urusan dengan lawan jenis sudah cukup rasanya. Saya berpikir nampaknya untuk urusan yang satu itu saya serahkan saja bagaimana Allah mengatur semuanya untuk saya.
Saya benar-benar pasrah dan tidak ingin berurusan lagi dengan hal-hal yang beririsan dengan yang orang katakan sebagai “jodoh”. Bahkan ketika orang tua saya bertanya soal itu, saya memberi jawaban: “terserah Ayah sama Ibuk aja lah, yang penting Ayah dan Ibuk ridha.” Begitulah saya mengatakan bagaimana kepasrahan diri pada orang tua saat itu.
Tak lama, orang yang hingga saat ini menemani saya baik suka maupun duka hadir dalam hidup dan di waktu yang tak disangka-sangka. Hanya sebentar dari masa-masa ketika saya benar-benar pasrah dan berserah. Yang paling menarik adalah pendamping yang sampai saat ini saya kagumi itu sungguh sosok yang benar-benar saya butuhkan. Jawaban atas segala doa-doa yang saya langitkan, dan juga solusi dari setiap permasalahan yang pernah saya alami.
Seolah takdir memang memeluk saya erat dan memberikan “hadiah” atas kepasrahan saya pada Allah.
Apa jadinya jika saat terpuruk dulu saya mengambil jalan untuk “membalas dendam” misalnya? Apa jadinya jika saat-saat jatuh tersebut saya tak menahan emosi dan mencoba menyerahkan segalanya pada Allah? Akankah jodoh yang jika boleh saya sebut sebagai hadiah ini bisa mampir dalam hidup saya?
Dalam bukunya “Stoik Apa dan Bagaimana” Massimo menuliskan bahwa:
Hanya sedikit hal yang ada di bawah kendali kita. Saya mengulang prinsip itu untuk diri sendiri setiap hari dan berusaha terus mengingatnya. Tapi tidak ada yang bisa membuat saya paling memahaminya selain perubahan tatanan sosial secara mendadak (saat berkunjung ke Turki dan terjadi kerusuhan di sana).
Saya terkejut betapa tenangnya saya dan teman-teman selama 24 jam di Istanbul yang rusuh saat itu. Betul, kami tidak pernah mengalami bahaya fisik yang nyata meskipun melewati ribuan demonstran di tengah kota. Situasinya memang serba tak pasti, dan terutama begitu kami mendengar ledakan-ledakan dan pesawat militer, wajar bila ada kekhawatiran yang kami rasakan.
Sewaktu berkendara melintasi kerumunan beringas di bandara, saya diingatkan tentang betapa mudah memanipulasi orang secara emosional. Memanfaatkan ketakutan dan kemarahan mereka. Itu memperkuat gagasan Stoik bahwa emosi seperti itu tidak pernah boleh diberi izin.
Tapi terus diperiksa dengan tujuan mengembangkan sikap-sikap yang lebih positif.
Stoik Apa dan Bagaimana?
Sebagaimana yang disebutkan oleh Massimo dan menjadikan kalimat tersebut sebagai satu judul bab tersendiri, saya pun menjadikan sebagai Stoikisme Quotes:
Sejumlah hal ada dalam kendali kita, selebihnya tidak
Selalu mengingat itu akan membuat kita lebih tenang, menahan gelombang emosi yang dilemparkan oleh amygdala, dan menekan kita untuk terus berusaha berpikir dengan rasional.
Bagaimana caranya bisa setenang itu? Apa yang harus saya lakukan untuk memulai prinsip hidup Stoik itu sendiri?
Masih dari buku yang sama, Stoik Apa dan Bagaimana, teman-teman bisa mencobanya dengan cara-cara berikut:
Ketika kamu terikat pada sesuatu, bukan sesuatu yang tidak dapat diambil tapi sesuatu seperti guci air, gelas kristal atau handphone kesayanganmu deh. Kamu harus mengingat bahwa kamu tidak boleh kesal kalau benda itu pecah atau rusak.
Begitu pula dengan manusia, kalau kamu mencium anak, adik, atau temanmu.. kamu harus mengingatkan diri bahwa kamu mencintai sesuatu yang dapat mati, juga bahwa sesuatu yang kamu cintai itu bukan betul-betul milikmu.
Mereka diberikan padamu untuk sementara, bukan untuk selama-lamanya, atau tidak akan terpisahkan.
Begitu pula jika kamu mendambakan putramu atau temanmu, ketika mereka tidak bisa kamu miliki, ketahuilah bahwa itu semua sama seperti menginginkan buah ara pada musim dingin.
Begitulah Stoik, mengajarkan bagaimana kita berpasrah dan menyerahkan segala urusan yang di luar kuasa kita pada Allah. Saya jamin pikiran akan lebih tenang, tidak meledak-ledak, dan emosi pun lebih terkendali. Meskipun dalam praktiknya mungkin tidak mudah, namun saya yakin jika teman-teman terus mengingat prinsip Stoik ini, insyaAllah sikap kita akan lebih terkendali.
Susah memang, namun bukan berarti mustahil untuk dilakukan.
Bagaimana bahasan soal Stoikisme Zeneca, Stoikisme Zeno, atau yang lainnya jangan mencari Stoikisme pdf ya, tapi yuk coba kita hargai penulis dan pekerja yang terlibat di dalamnya. Baca buku asli dari Stoik Apa dan Bagaimana, segera gali gaya hidup Stoikisme dan temukan manfaat di dalamnya.
Semoga artikel tentang Apa itu Stoikisme dan bagaimana kita bisa memulainya ini bermanfaat ya!
Referensi:
Judul Buku : Stoik Apa dan Bagaimana
Karya : Massimo Pigliucci