Guru Aini adalah prekuel dari novel Orang-Orang Biasa karya Andrea Hirata. Ada banyak yang perlu dikupas dari kisah seorang Aini dan beberapa tokoh lain dalam novel ini. Namun, kali ini saya ingin sekali membahasnya dari sudut pandang pendidikan, lebih tepatnya pemerataan pendidikan di Indonesia. Betapa banyak ketimpangan serta ketidakadilan yang terjadi di dunia pendidikan. Namun mereka tetap bungkam. Bahkan, mereka yang disebut orang-orang kecil itu legowo atau menerima dengan lapang dada apa yang sudah menjadi takdir mereka. Termasuk tidak bisa sekolah karena miskin, tak punya biaya.

Dalam kesepian yang getir dan menyesakkan, tersemat sesuatu yang paling didamba manusia… kemerdekaan!

(Andrea Hirata dalam Guru Aini, halaman 294)

guru aini

Perjalanan Guru Aini

Masih ingat dengan kisah Aini? Seorang gadis cerdas anak penjual mainan kaki lima yang menjadi salah satu tokoh sentral dalam Novel Orang-Orang Biasa karya Pak Cik Andrea Hirata? Guru Aini adalah judul prekuelnya. Seorang gadis yang dikisahkan terlahir sebagai anak dari seorang wanita bernama Dinah, salah satu anggota gerombolan 9 yang dulunya menjadi pengacau di sekolah. Gerombolan 9 yang merencanakan sebuah kejahatan. Aini, seorang gadis yang berjuang hingga terseok-seok, tertatih-tatih dan berdarah-darah agar bisa diterima di Fakultas Kedokteran. Aini Cita-Cita Dokter, begitu ia menulis namanya di sepeda kumbangnya, di buku tulisnya, bahkan teman-temannya pun memanggilnya demikian.

Guru Aini menceritakan kerja keras seorang murid yang bodoh nan bebal. Tidak pernah ada angka baik dalam raportnya. Bilangan biner, begitu nilai-nilainya disebut oleh guru kesayangannya itu. Bukan hanya di Matematika, bahkan nilai-nilainya di pelajaran lain pun sama. Banyak guru yang mengeluhkan kebodohan Aini. Bahkan untuk menjadi seorang penyanyi yang bermodal suara saja Aini tak mampu. Olahraga apalagi. Aini dan dua temannya yang satire disebut bangga menjadi bodoh ternyata harus melalui banyak sekali pelajaran jika ingin mendapatkan angka 2 di Matematika. Bayangkan, untuk naik dua angka saja Aini harus berpeluh dan mengorbankan seluruh waktunya untuk membantu ibunya berjualan mainan.

Bersyukur perjuangan Aini dibantu oleh guru eksentrik yang sangat mencintai Matematika. Guru baru yang pintarnya luar biasa. Biasa disebut Guru Desi, kepanjangan dari Desimal. Guru yang terkenal garang, namun lembut hatinya. Guru yang terkenal tak mau mengeruk keuntungan apapun dari peserta didiknya. Guru yang berambisi mencerdaskan anak didiknya lewat Matematika. Aini berubah menjadi pribadi yang lebih baik karena guru itu, meskipun ada satu lagi kekuatan besar yang menggerakkan otaknya hingga mendapat nilai sempurna dalam ujian akhir sekolah.

Setelah mata dan hatinya terbuka karena ilmu pengetahuan, ia menjadi pribadi tangguh yang ternyata harus menghadapi nasib buruk sepanjang hidupnya. Setelah perjuangan Aini yang panjang itu akhirnya ia diterima di Fakultas Kedokteran sebuah Universitas Negeri ternama di kota. Namun ia ditolak juga oleh jurusan itu. Semua itu karena Aini tidak memiliki uang untuk memasuki kuliah kedokteran. Harapannya pada Pemerintah untuk mendapat keajaiban karena kecerdasannya, ternyata tidak seindah kenyataannya. Aini harus berpuas diri menjadi pelayan warung Kupi Kuli di desanya.

Potret Pendidikan di Indonesia

Sebuah potret pahit yang menjadi cambuk pengingat sekaligus penghujat bagi kita semua yang masih berpangku tangan atas pendidikan di Indonesia. Beasiswa-beasiswa seperti Bidik Misi yang dijanjikan ternyata tidak semua tepat sasaran. Masih banyak Aini-Aini lain di luar sana yang terpaksa harus menelan pil pahitnya pendidikan di tanah air tercintanya ini. Tidak hanya Aini, tetangga kita pun ada yang demikian nelangsanya karena harus berhenti mengejar mimpi.

Ada banyak anak cerdas yang ingin maju, ikut berkompetisi bersama dengan anak-anak yang punya kesempatan untuk kuliah di perguruan tinggi. Ketika membaca Guru Aini, air mata saya menetes pada beberapa bab. Terlebih ketika membahas tentang Aini yang punya kemauan keras untuk belajar, sedangkan saya dulu seringkali menghindari jam pelajaran hanya karena malas bertemu dengan guru. Tentang Aini yang akhirnya bisa meraih angka sempurna pada mata pelajaran Matematika, sedangkan saya dulu malah meninggalkan pelajaran yang dirasa sulit dan susah dipahami. Tentang Aini yang berhasil lolos tes masuk perguruan tinggi dengan segala bentuk perjuangannya yang tidak mudah. Sedangkan saya, menyia-nyiakan masa itu dengan berleha-leha.

Begitupun ketika melihat ada banyak anak kuliahan yang masih nongkrong pada dini hari di pinggir jalan, sementara orangtuanya menggarap sawah siang malam untuk biaya kuliah. Ternyata sang anak harus molor kuliah. Sementara ketimpangan pendidikan di Indonesia terus menggerus anak-anak cerdas yang ingin bersungguh-sungguh namun tak mendapatkan tempat dan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di lingkungan pendidikan yang layak. Guru Aini mengingatkan pada saya bahwa mudah bagi guru mendidik anak-anak yang pintar. Justru tugas Guru yang sesungguhnya adalah memintarkan anak-anak yang bodoh. 

Kalau sekolah hanya menerima anak-anak yang pintar, lalu untuk apa sekolah itu berdiri? Bukankah mereka sudah pintar?

Pertanyaan itu terus terngiang di benak saya, apalagi semakin bertambah usia kemerdekaan, semakin bertambah pula gap antara sekolah favorit dan tidak favorit. Jika sekolah favorit hanya untuk anak-anak yang pintar, kaya dan mudah diatur, maka apa bedanya dengan industri? Bukankah sekolah adalah institusi pendidikan? Sebagaimana tutur Ki Hajar Dewantara bahwa sekolah adalah taman, tempat mendidik anak-anak bangsa. Bukan industri, untuk memanfaatkan anak-anak bangsa dan mengubahnya menjadi bentuk dollar.

Apalagi masuk ke pendidikan dokter. Ada biaya minimal yang tidak bisa dijangkau oleh rakyat kecil. Memang benar ya ungkapan Andrea Hirata dalam novel ini bahwa anak miskin dilarang jadi dokter? Saya ingin sekali menyanggah, namun kenyataannya memang berkata demikian. Ada berapa banyak uang yang harus disetor ke Universitas untuk menjadikan seorang siswa bisa menyandang gelar S.Ked? Syukur-syukur lulus hingga bergelar dokter.

Guru Aini berhasil menyadarkan saya untuk terus menggemakan perihal kesetaraan pendidikan di Indonesia. Guru Aini membuat saya memikirkan kembali orang-orang di sekitar saya yang tidak bisa melanjutkan pendidikannya ke universitas atau bahkan hanya ke jenjang setingkat menengah pertama. Bahwa untuk saat ini kita tidak bisa menyandarkan diri pada Pemerintah. Lakukan dari lingkup terkecil, karena perubahan besar terjadi dari hal-hal kecil yang dimulai dari diri sendiri.

 

“Dengan lulus tes masuk yang sulit dan kompetitif itu, Aini merasa telah mendapat hak pendidikannya dan kini dia merasa hak itu dirampas darinya. Seorang anak miskin yang sangat cerdas, yang telah berusaha setengah mati untuk mengejar mimpi-mimpinya, hari ini patah hati pada pendidikan di negerinya sendiri.” (Guru Aini, halaman 284)

 

Judul : Guru Aini

Penulis : Andrea Hirata

Penerbit Bentang Pustaka, 336 halaman

Cetakan Pertama, Februari 2020

ISBN : 978-602-291-686-4

5/5

Baca juga : Menjadi Kuli Agar Kuota Internet Terbeli