Aku pulang sambil mendekap kostum badut itu. Tak dapat kutahan air mataku. Tak tega melihat ke belakang. Semua hal terbaik dalam hidupku terjadi di sirkus itu. Teringat akan kisah sedih badut yang pernah diceritakan Tara kepadaku dahulu. Badut yang berlinang air mata, pontang-panting membawa ember, sia-sia memadamkan api yang membakar sirkusnya. Hari ini sirkus kami terbakar. Hari ini seorang badut menangis. 

(Sirkus Pohon, halaman 193)

 

Seperti karya Andrea Hirata yang lain. Mengangkat cerita dari kesederhanaan orang-orang Melayu, konflik yang menukik serta plot twist yang memuaskan pembaca. Cocok denganku yang menyukai happy ending story.

 

Sirkus Pohon mengisahkan seorang pemuda bernama Hobri dan kesehariannya sebagai badut sirkus. Hobri, seperti kita semua pada umumnya, seorang manusia tidak sempurna yang juga punya impian. Meskipun mimpi itu hanya sebatas membahagiakan Dinda, perempuan yang sangat dicintainya dengan segala kekurangan. Hobri yang lahir di tengah keluarga sederhana, Bapaknya seorang pedagang minuman di stadion. Namun mampu menyekolahkan ketiga saudaranya hingga tamat SMA. Kecuali Hobri yang tidak lulus SMP karena ketidakberuntungan memihak padanya.

 

Mulanya, konflik yang dihadirkan hingga pertengahan jalan cerita seputar bagaimana Hobri hidup dengan jujur. Namun kemalangan demi kemalangan menimpa dirinya tanpa aba-aba. Menjadi pemuda yang luntang lantung tanpa pekerjaan tetap adalah aib keluarga yang harus segera dipecahkannya. Hingga suatu ketika ia berhasil diterima sebagai pegawai tetap sebuah sirkus keliling yang jumlahnya sangat langka di Negeri ini. Label sebagai pegawai tetap membuat dirinya lebih dihargai oleh adiknya, Azizah sang penindas, begitu Hobri memberi julukan padanya.

 

Sirkus Pohon juga menyuguhkan satu kisah cinta romantis antara Tara dan Tegar. Kisah romance yang dimulai dengan kepahitan karena keduanya bertemu di Pengadilan Agama. Tempat bercerainya kedua orang tua mereka. Namun perasaan kehilangan itu ternyata membawa mereka pada sebuah takdir manis. Sayangnya, Tara dan Tegar belum sempat berkenalan. Tara dengan berbekal ingatan akan wajah Tegar mencari sosok “Sang Pembela-nya” itu belasan tahun hingga ia beranjak dewasa. Begitu juga dengan Tegar, hanya berbekal indra penciumannya, ia selalu mencari-cari sosok beraroma vanilli sepanjang hidupnya.

 

Setiap pertemuan yang mereka rancang agar bisa menemukan sosok yang dicarinya masing-masing, selalu gagal. Takdir belum berpihak pada Tara dan Tegar. Hingga keduanya dipertemukan secara tidak sengaja di sebuah sirkus. Sirkus yang akhirnya membawa keduanya pada kenangan masa kecil. Kenangan lama saat Tegar baru menyadari bahwa aroma yang selama ini ia cari bukanlah aroma vanili, namun kenanga.

 

Selain itu Sirkus Pohon juga mengangkat konflik pesta demokrasi yang terjadi di Desa Hobri. Beberapa calon Kepala Desa saling berebut kekuasaan. Saling menjatuhkan satu sama lain untuk menaikkan pamor dirinya sendiri sehingga bisa menjadi Kades terpilih di desanya, Mirip dengan Pemilu tahun lalu. Hobri terpaksa terjebak di tengah-tengah huru-hara pemilihan Kades itu. Padahal dirinya sungguh tidak berminat dengan hal itu, apalagi setelah ia kehilangan keluarga sirkusnya. Kini tujuan hidupnya hanya untuk menemani Dinda yang sakit. Tak peduli apapun celoteh orang kampungnya.

 

Sirkus Pohon mengajarkan pada kita untuk selalu punya mimpi, meskipun mustahil, Namun dengan kesungguhan dan sedikit keberuntungan dari Tuhan, mimpi itu akan bisa dicapai oleh siapa saja. Begitu juga dengan Hobri. Sirkus Pohon juga mengajarkan padaku bahwa “Tidak ada balasan kebaikan selain kebaikan” seperti ayat yang ada dalam Quran. Apa yang kau perbuat, itulah yang akan kita tuai. Maka tanamlah pohon kebaikan itu sebanyak-banyaknya, karena kelak pohon kebaikan itulah yang akan menaungi kita dari kesedihan dan ketidakberuntungan.

 

Sirkus Pohon by Andrea Hirata

Penerbit Bentang Pustaka, Sleman Yogyakarta, 410 halaman.

4/5