Dulu sempat bangga kalau berhasil menjejak kaki di negara lain. Apalagi kalau sampai bisa hidup di luar sana. Memiliki keluarga kecil di luar Indonesia. Punya anak yang lahir dan tumbuh dengan budaya yang selama ini disebut-sebut modern dan berkemajuan, dibanding budaya warisan nenek moyang yang menjadi kekayaan Indonesia. Punya Gen persilangan sehingga bisa menurunkan gen-gen autosomal hasil dari kawin silang (udah kayak kawinin mawar merah dan biru aja yah).

Buku pertama yang selesai di tahun 2020 ini paling tidak menyadarkanku bahwa tidak selamanya hidup jauh dari pangkuan ibu pertiwi itu lebih enak. Meskipun hidup berhimpitan dan serba pas-pasan. Meskipun di sini, di tanah tumpah darahku ini, perjuangan hidup jauh lebih kejam dan lebih tidak adil. Namun inilah yang disebut rumah.

Amran, Imran dan Umar bertekad untuk menembus Dunia Ufuk Barat yang konon katanya mampu menyajikan pemandangan dan pengalaman berbeda jika dibandingkan dengan dunia Ufuk Timur. Sedangkan Nisa dan Langgam dihadapkan pada sebuah pilihan antara memegang prinsip dan komitmen dengan tetap memperjuangkan tanah kelahirannya, atau mengorbankannya. Impian, identitas, dan pilihan adalah ketiga kata yang berkelindan dalam sekelumit kisah yang berasal dari Negeri tanah seberang.

Novel ini membawaku menyelami berbagai polemik yang terjadi. Antara mempertahankan atau menggadaikan identitas kebangsaan. Bak buah simalakama, sebuah pilihan harus diambil dan dijalani walaupun tidak sepenuh hati.

Terkadang kita bisa merasakan bahwa rindu akan tanah air itu nyata adanya ketika jauh darinya. Sudah terbiasa hidup bersama saudara, ibu, bapak, kakek, nenek, dan orang-orang terdekat lain. Lalu terpaksa harus menjalani hidup bersama dengan orang asing. Menyesuaikan diri lagi demi lolos seleksi alam. Oleh karena itu aku tidak marah ketika suami menolak pekerjaan yang memanggilnya saat itu. Pekerjaan yang jauh dari tanah air.

“Di sana, kau lebih dihargai. Minimal pulang-pulang bisa punya rumah lah di tengah kota.” tawar seorang teman yang menelepon jauh dari Burj Khalifa.
“Sepuluh tahun aku jauh dari Ibuku, sepertinya aku lebih memilih hidup pas-pasan di sini saja. Aku takut menyesal tidak bisa melayani ibuku di hari tuanya.”

Lalu sambungan telpon pun ditutup dengan salam dan saling melempar doa.

Diam-diam aku terharu dengan sikapnya. Mendengar jawabannya aku menitikkan air mata.
Yah, kami memilih Indonesia. Sudah saatnya berbakti pada negara dan orang tua.

Mungkin karena kisahnya yang memang menyentuh atau mungkin hanya aku saja yang terlalu mellow sehingga kisah dimana kita harus memilih adalah bagian terberat yang kurasakan dalam novel ini.

Tanah Seberang
Kurnia Gusti Sawiji
Cetakan Pertama Juli 2018
Penerbit Buku Mojok, 270 halaman.