Keutamaan surat Al-Ikhlas ternyata luar biasa besarnya.
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Demi (Allah) yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya surah al-Ikhlas sebanding (dengan) sepertiga al-Qur’an”.
Kisah dalam Hadis tentang Keutamaan Surat Al-Ikhlas
Sebuah keterangan dalam Hadis Shahih (Kutubus Sittah) mengatakan sebuah riwayat :
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sebuah rombongan untuk syiar Islam ke wilayah Syam. Dipimpin oleh seseorang (walau tak disebutkan namanya), tentulah beliau orang terkemuka karena dipilih) yang kemudian diadukan kepada Kanjeng Nabi Shallallahu alaihi wa sallam oleh salah seorang anggota rombongannya ketika kembali dari Syam bahwa beliau selalu dan selalu membaca surat Al-Ikhlas dalam setiap mengimami salat.
Kemudian dipanggillah orang tersebut menghadap Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, lalu dikonfirmasi :
Orang tersebut menjawab, “Benar wahai Nabiku, aku selalu membaca surat Al-Ikhlas semata karena aku cinta dan senang sekali dengan surat yang sepenuhnya berisi tentang penyucian dan pentauhidan Allah tersebut…”
Lalu Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam terdiam sejenak, lalu bersabda : “Malaikat Jibril mengabarkan padaku baru saja bahwa Allah Subhanahu Wa ta’ala juga mencintaimu..”
Jika diteruskan, logis sekali jika dikatakan, “Tentu pula Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam juga mencintainya”.
Saya terdiam membaca kisah tersebut. Betapa luas samudera khazanah hadis Nabi kesayangan kita. Bukan hanya secara jumlah yang saya pun tak tahu pasti, tapi juga luasnya pengetahuan Nabi. Tanpa pijakan seperti ini, mustahil jika kearifan akan tertunaikan dengan mudah.
Mustahil kan jika seseorang yang tahunya hanya ayat “sedekah akan membuatmu berlimpah rezeki!” akan bisa melakukan hal yang bijaksana tatkala amal sedekahnya tak berbalas dengan kekayaan? Ya, andai dia lantas juga mengetahui bahwa dalam Al-Kahfi, Allah pun berfirman bahwa Allah akan meluaskan rezeki dan menyempitkannya pula dari hamba-hambaNya yang dikehendakiNya. Dan Allah Subhanahu WaTa’ala Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, tentu akan lebih holistik memandang perkara balasan sedekah ini beserta segala bentuk yang ditetapkanNya pada kita sebagai manusia.
Qulhu Wae, Lik!
Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad
Fil laili idza yaghsya
Wa shalli ‘ala Sayyidina Muhammad
Fin Nahari idza tajalla
Masih dari apa yang pernah Pak Edi AH Iyubenu katakan, bahwa sebuah riwayat menerangkan bahwa mengimami suatu shalat jamaah janganlah panjang-panjang bacaan suratnya. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi pada sahabat Muadz bin Jabal, sang ahli Fiqh. Hal ini dapat diandaikan sebagai “titik tengahnya” bahwa ini semua untuk keterangan membaca surat di dalam Al-Quran setara dengan Ad-Dhuha atau Al-Bayyinah, terutama dalam salat Subuh di rakaat pertama.
Namun kita juga mengimani pula bahwa maksudnya adalah baik, yaitu jangan bermalas-malasan dengan sengaja memilih surat yang pendek-pendek seperti saya.
Para ahli Fiqh dan ulama menerangkan bahwa hal tersebut (membaca surat agak panjang di rakaat pertama salat Subuh) bukan semata perkara fadhilahnya, atau gede pahalanya. Namun juga dimaksudkan untuk menunggu para jamaah (utamanya Subuh yang lebih berat) yang barangkali agak telat untuk tetap bisa masuk salat jamaah dan mendapatkan rakaat pertama.
Masuk akal ya. Bacaan surat agak panjang di rakaat pertama Subuh sebaiknya memang diusahakan.
Perkara pembacaan surat yang “agak” panjang ini, saya juga teringat pada candaan yang dipopulerkan oleh Kiai Anwar Zahid : “Qulhu Wae, Lik!”
Artinya, baca surat Al-Ikhlas saja.
Bisa jadi kiai merujukkan sanad ilmunya dalam candaan itu kepada hadis dalam Kutubus Sittah tersebut (perihal orang yang dicintai Allah karena suka membaca Al-Ikhlas di setiap salatnya). Jika demikian, berarti esensinya bukanlah sama sekali candaan belaka, namun sebuah kebenaran, keluhuran, sebab ia berasal dari Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam.