Kalau ditanya pada siapa saya berutang budi? Tentu pada kedua orangtua, adik, kakak, om dan tante. Semua orang-orang yang saya sebutkan itu pernah menjadi bagian dari hidup saya.
Orangtua yang sudah pasti teman-teman juga setuju kita berutang budi pada mereka. Lalu kakak dan adik yang baru-baru ini saya rasakan kebaikan yang mereka lakukan tanpa pamrih wkwkwk, karena dulu pas kecil ngga ngerasa. Juga om dan tante saya yang mengajari saya membaca, menulis, menemani tidur hingga bisa mengendarai sepeda motor karena saking sibuknya Ayah dan Ibu saya kala itu karena harus menghidupi anak-anak dan juga adik-adiknya.
Namun sebisa mungkin dalam hidup saya berusaha untuk tidak berutang budi pada siapapun kecuali keluarga saya sendiri.
Karena menurut saya sungguh utang budi itu tidak mengenakkan, hehehe. Tapi kan itu tidak mungkin. Namanya manusia sebagai makhluk sosial, pasti sedikit banyak punya utang budi pada orang lain. Bahkan yang mungkin tidak pernah kita anggap utang budi sekalipun, mungkin saja itu utang budi.
Saya dilahirkan di keluarga besar yang sudah biasa saling tolong menolong. Jika ada yang kesusahan, satu dan lainnya tidak akan segan mengulurkan tangan. Jika ada yang membutuhkan pertolongan, maka satu dan lainnya akan saling mengulurkan pertolongan. Semua itu tidak juga diungkit sebagai utang budi. Nampaknya, ibu dan nenek saya mendidik kami semua, om tante, sepupu, serta kakak dan adik saya untuk saling tolong menolong. Jadi tidak ada yang namanya utang budi.
Seperti itu lah kira-kira. Jadi ketika saya membantu orang lain, saya tidak merasa orang yang saya bantu berutang budi pada saya. Karena memang begitulah manusia, akan selalu membutuhkan satu sama lain.
Namun di luar pendapat yang berdasarkan pada perasaan saja apakah benar utang budi itu tidak ada? Bagaimana utang budi menurut pandangan Islam?
Utang Budi Menurut Pandangan Islam
Dalam Islam sendiri saya mengingat sepenggal kalimat yang merupakan sabda dari Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang artinya :
“Tidak bersyukur kepada Allah seorang yang tidak berterima kasih kepada manusia” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Albani di dalam kitab Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, 1/702).
Hal ini menunjukkan bahwa berutang budi adalah fitrah manusia. Apalagi Allah menciptakan manusia dengan fitrahnya sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, tidak bisa hidup seorang diri. Oleh karena itu, ajaran Islam tidak hanya meliputi aqidah dan ibadah, tapi juga termasuk di dalamnya adalah muammalah duniawiyah (hubungan antar manusia).
Seorang muslim yang baik akan baik pula dalam hal aqidah, ibadah dan muammalah duniawinya dengan orang lain. Begitu pun manusia yang bermuammalah dengan baik namun tidak memiliki aqidah dan ibadah yang lurus tentu kebaikannya juga akan sia-sia.
Oleh karena itu utang budi adalah salah satu yang Islam tekankan bahwa kebaikan sebaiknya juga dibalas dengan kebaikan. Karena kebaikan tersebut adalah salah satu bentuk rasa syukur atau terima kasih kepada manusia yang memberikannya kebaikan.
Namun yang perlu kita garis bawahi dari persoalan balas budi ini juga tentang tidak mengungkit-ungkit kebaikan yang telah kita lakukan pada orang lain.
Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 264:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir.”
Jadi, menurut saya boleh banget mengingat kebaikan orang lain pada kita, namun untuk menghindari kita mengungkit-ungkit soal kebaikan yang kita lakukan pada orang lain jadi sebaiknya memang tidak usah diingat.
Kalau kata pepatah, ketika memberi dengan tangan kanan, maka tangan kiri jangan sampai tahu. Ini beneran tertanam dalam diri saya lho, apa yang saya berikan untuk saudara, orangtua, dan juga orang lain sebisa mungkin akan saya lupakan. Takutnya tuh kalau ada masalah atau apa gitu ya yang bikin ngga enak hati, biasanya kita bakal mengungkit kebaikan itu.
Lalu bagaimana agar kedua belah pihak merasa “nyaman” jika ada salah satu yang berutang budi?
Jika saya yang berutang budi pada orang lain, maka yang saya lakukan adalah mengingat kebaikan-kebaikan orang tersebut. Suatu saat, jika orang itu membutuhkan pertolongan maka saya akan memprioritaskannya. Meskipun mungkin di masa datang orang tersebut tidak mengingat saya.
Namun saya yakin bahwa hukum tabur tuai itu nyata, selaras dengan firman Allah dalam Al Quran bahwa tidak ada balasan kebaikan selain kebaikan. Maka kebaikan yang kita tanam sekecil biji zarah sekalipun akan menuai hasil yang baik pula. Tidak lupa kita sebagai orang yang berutang budi juga turut mendoakan kebaikan dan keberkahan hidup orang yang menolong kita tersebut.
Bagaimana dengan teman-teman? Pernah berutang budi dan belum membalasnya sampai sekarang? Sharing di kolom komentar yuk!