Beberapa tahun belakangan informasi mengenai eksploitasi monyet dan lumba-lumba santer kubaca di berbagai media sosial. Seperti halnya lumba-lumba yang tersiksa dan siklus hidupnya terpotong karena sirkus. Monyet-monyet yang biasa dihadirkan pada sebuah pertunjukan pun juga tidak bahagia. Bahkan tersiksa. Ia harus berpanas-panas ria dan terkurung dalam kandangnya selama berhari-hari. Hanya keluar jika pertunjukan berlangsung. Tidak ada makan jika tidak menuruti kemauan empunya topeng monyet.
Bahkan ada pemberitaan yang lebih mengenaskan lagi. Seekor monyet mengalami mimisan saat melakukan aksi pertunjukannya di sebuah jalan raya yang panasnya mungkin bisa untuk membuat sebutir telur mentah menjadi setengah matang. Mirisnya, para pemelihara monyet ini tak juga sadar bahwa apa yang mereka lakukan itu menyiksa monyet peliharaannya. Monyet yang biasa hidup berkelompok, harus bisa bertahan hidup sendirian dalam kandangnya. Terpisah dari koloninya. Lalu si empunya mengumpulkan uang-uang yang monyet ulurkan dari para penonton.
Ada juga bentuk eksploitasi lain dari pertunjukan kuda lumping yang saat ini sudah mulai redup aksinya. Biasanya kuda lumping digelar saat sore menjelang malam hari. Meskipun ada juga di beberapa daerah menggelar pertunjukan itu pada siang hari. Dalam pertunjukan itu ada anak-anak kecil yang didandani seperti pocong dan seolah-olah mereka kehilangan kesadaran. Entah itu nyata atau tidak. Saat itu aku baru menyadari bahwa pertunjukan-pertunjukan yang melibatkan anak-anak kecil seperti itu sangat tidak pantas. Apalagi aksi-aksi mereka sangat berbahaya. Ada yang diperintahkan untuk makan beling, menyembur api lewat mulut, makan kemenyan dan hal lain yang menurutku kebablasan.
Bagaimana pun kebudayaan tidak harus membuat sengsara makhluk ciptaan Tuhan kan? Atau bahkan merampas jam bermain atau belajar seorang anak demi uang?
Kalau di daerahmu, masih adakah pertunjukan topeng monyet atau kuda lumping seperti ini?
#OneDayOnePost #desembermenulis #desemberday2 #saveanimal #stopabuseanimal