Part 7

“Kita tidak akan ketahuan kan?” Taufiq ragu ketika pohon yang akan dipanjatnya sudah berada di depan mata.

 

“Tidak, ayo cepat! Sebelum ada petugas yang melihat!” Bashori panik karena Taufiq tidak segera memanjat pohon. Kerumunan orang sedang berfokus pada tiket masing-masing dan juga pintu masuk, begitu pikir Bashori. Lagipula tidak ada penerangan di sekitar pohon yang akan mereka panjat, orang-orang tidak akan tahu jika sedang ada dua orang anak yang sedang menyelundup ke dalam arena pertunjukan.

 

Cepat-cepat Taufiq memanjat pohon yang menjulang tinggi. Kakinya menggapai-gapai dahan yang menurutnya kuat untuk dijadikan pijakan. Sekilas ia melihat layar di arena pertunjukan sudah terbentang. Banyak orang yang sudah duduk manis di dalamnya. Taufiq semakin was-was kalau perbuatannya ini akan diketahui sang penjaga pintu atau orang lain. Namun karena sudah berada di atas, ia segera menyelesaikan misinya bersama Bashori. Sudah kepalang tanggung. Begitu batinnya.

 

Tidak sampai sepuluh menit, Taufiq dan Bashori sudah berada di dalam arena tanpa ada seorang pun yang melihat mereka. Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak sadar ada dua orang anak yang bergelantungan di pohon agar bisa turun dan melihat layar tancap secara cuma-cuma. Baru kali ini Taufiq melakukan sesuatu yang membuat jantungnya berdebar tak keruan sepanjang waktu. Bahkan saat dirinya menonton pertunjukan. Namun sebisa mungkin ia menampakkan sikap yang biasa saja agar tidak ada yang curiga. Ia merasa bersalah karena harus masuk ke tempat pertunjukan tanpa tiket, tanpa izin.

 

Namun karena Bashori bisa menguasai keadaan dan bersikap biasa saja, ia pun mencoba bersikap biasa saja seperti yang dilakukan Bashori. Ia juga melihat beberapa teman sekelasnya yang datang dan melihat pertunjukan. Masing-masing ada yang bersama orang tuanya, ada juga yang tidak. Taufiq dan Bashori pun bergabung bersama mereka. Menonton layar tancap yang mungkin hanya satu tahun sekali diputar di kota mereka. Ketika waktu menunjukkan pukul delapan malam tepat, cahaya dari layar mulai menyala, musik yang mengiringi dimulainya film mulai diputar. Menggema di seluruh area. Semua penonton yang semula ribut berbicara sendiri dan tidak memperhatikan layar, kini semua berfokus pada layar di depan mereka. Layar tancap tidak boleh terlewatkan, atau kau akan menyesal besok tidak ada bahan pembicaraan di sekolah, pasar, bahkan hingga ke langgar atau musholla. Karena keesokan harinya pasti semua orang sibuk membicarakan pertunjukan malam ini.

 

“Assalamualaikum,” Taufiq mengucap salam ketika memasuki rumah. Dia berjalan berjingkat-jingkat memasuki balai untuk terus menuju kamarnya. Namun ternyata ada Bapak di balai rumahnya. Sedang menunggunya dengan wajah yang Taufiq takuti. Bapak marah!

 

“Kenapa malam sekali? Kau tak tahu sudah jam berapa ini?” Bapak langsung memberondong Taufiq dengan pertanyaan. Taufiq kemudian menghampiri Bapak dan mencium punggung tangan beliau.

 

“Maaf Pak,” Taufiq menunduk dan merasa menyesal telah lalai. Menonton layar tancap hingga larut malam. Padahal sore hari tadi ia berjanji jam sepuluh malam ia akan pulang. Kalau begini jadinya ia sudah mengecewakan Emak dan Bapaknya. Ia melirik pintu rumah yang tak tertutup sempurna. Bapak juga. Ada suara kerikil seperti dilempar dengan sengaja ke rumah mereka. Bapak dan Taufiq berpandangan.

 

Bapak keluar dari balai menuju pelataran rumah dan melihat tidak ada siapa-siapa disana. Begitu juga dengan Taufiq,

“Duk!!”

 

Suara batu dilempar lagi. Kali ini dari arah belakang rumah. Dari atas atap yang rapuh mereka mendengar. Sekali lagi Bapak dan Taufiq berpandangan. Kompak lalu segera menuju sumber suara. Ketika Bapak dan Taufiq sudah berada di dapur mereka segera melihat ke arah pekarangan yang lengang. Gelap. Kosong. Tidak ada satu pun manusia atau kucing yang mereka temui disana. Lalu siapa yang melempar?

 

“Tunggu disini,” Bapak kemudian berlalu menuju ke kamar meninggalkan Taufiq sendirian di dapur. Taufiq pun patuh untuk menunggu Bapaknya di dapur. Tidak sampai semenit Bapak sudah membawa bedil (senapan angin untuk memburu burung atau ikan) dan mengarahkan moncong bedilnya ke arah pepohonan yang ada di belakang rumah.

 

“Dorr! Dorr!” Bapak menembakkan bedilnya empat puluh lima derajat ke atas. Hanya suara angin yang menjawab tembakannya.

 

“Maling Pak?” Emak ikut terbangun dan menghampiri mereka di dapur.

 

“Tak tahu.” Bapak kemudian menutup pintu dapur dan segera menyuruh kami untuk kembali ke kamar masing-masing. Bapak akan berjaga-jaga di balai rumah, katanya. Taufiq ingin ikut berjaga, tapi Bapak melarangnya. Ia harus sekolah besok. Segera lupakan kejadian ini, mungkin hanya orang iseng yang sedang lewat melempar-lempar batu ke arah rumah mereka.

 

Taufiq kembali ke kamar tidur dengan perasaan bingung sekaligus takut. Benarkah hanya orang iseng? Lalu kenapa bisa dua kali di depan dan di belakang rumah? Begitu cepatnya mereka berpindah dari arah depan ke belakang? Rumah mereka memang mungil, tapi mustahil jika manusia yang melempar batu itu bisa berpindah tempat secepat itu dari arah depan ke belakang. Lalu siapa? Taufiq tidur dengan rasa penasaran membuncah di dadanya, hingga tak terasa ia tertidur menjelang Subuh hari karena memikirkan apa yang sedang terjadi di rumahnya malam ini.

 

Bersambung >>

Part 1 : Narasi Sang Gurunda (Prolog)

Part 2 : Membangun Kembali Harapan

Part 3 : Rumah dari Bambu

Part 4 : Celengan Ayam

Part 5 : Menolak Jadi Tukang Sepatu

Part 6 : Menyelinap di Layar Tancap