Kisah sebelumnya : Narasi Sang Gurunda (Prolog)

“Mulai besok kita pindah rumah ya,” kalimat tersebut membuat Taufiq, Hud, Ruqoyah dan tiga saudaranya yang lain tercenung. Tak ada yang menanggapi. Tak ada yang berani berbicara. Namun akhirnya Emak tahu apa yang harus ia katakan. Anak-anaknya  menuntut penjelasan tentang kepindahan yang sudah direncanakan.

“Kalau disini terus, kasihan kalian yang sekolah. Berangkat Subuh hari lalu pulang petang. Emak tidak mau waktu kalian habis di jalan.” Emak memberikan pengertian sambil menyendokkan nasi ke piring masing-masing anaknya.

“Lalu mau pindah kemana Mak?” Tanya Ruqoyah sambil menerima piring yang diberikan Emak untuknya.

“Ke Sooko, Mojokerto. Dengan begitu jarak rumah ke sekolah lebih dekat. Kalian bisa bantu Emak di rumah setelah pulang sekolah.”

“Dimana itu?” Taufiq bertanya sambil mengernyitkan dahi dan tetap mengunyah nasi lauk teri di depannya.

“Jadi kapan kita berangkat Mak?” Tanya Hud.

“Besok kita berangkat.” Ujar Emak sambil tersenyum dan ikut menikmati makan malam yang sudah dihidangkan. Bapak sedang menghadiri acara hajatan tetangga, jadi beliau tidak ikut makan malam bersama.

“Dimana sih Soko itu?” Taufiq mengulangi pertanyaannya karena tidak ada yang menjawab apa yang ingin diketahuinya.

Ruqoyah, Hud dan Emak saling pandang. Hening.

“Besok juga tau!” Ruqoyah menyenggol tangan adiknya agar diam. Lalu keadaan menjadi hening kembali. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Kecuali Taufiq dan adiknya yang memang tak mengerti apa yang sedang terjadi. Taufiq masih terlalu kecil untuk memahami tentang persoalan hidup yang tengah menimpa keluarganya.

Apa yang terjadi? Apakah benar mereka harus pindah karena jarak sekolah? Lalu disana mau tinggal dimana? Emak mau kerja apa? Bapak mau kerja apa? Bukannya disini lebih enak? Hidup terjamin di rumah Mbah, begitu juga dengan biaya sekolah. Bapak menggarap kebun dan sawah, dari situlah kehidupan mereka selama ini ditopang. Tapi kalau mereka pindah ke kota? Mau kerja apa Emak dan Bapak? Bisakah membiayai kehidupan sehari-hari satu keluarga tanpa sawah dan ladang? Entahlah.

Malam itu anak-anak Emak tak bisa tidur dengan nyenyak. Semua berbicara dengan hati dan pikiran masing-masing. Apakah ini jalan terbaik? Ruqoyah anak emak yang paling tua menghampiri Emaknya yang sedang membaca AlQuran usai salat Isya malam itu. Perlahan ia mendekati emaknya. Menimbang-nimbang bagaimana kalimat yang pantas untuk ditanyakan pada Emaknya hari ini.

“Mak, di Sooko nanti kita akan tinggal dimana?”

Emak menoleh sekilas sebelum kemudian melanjutkan dua ayat terakhir surat Al Waqiah yang dibacanya. Ruqoyah sabar menunggu hingga Emaknya selesai mengaji. Ia tetap duduk sambil membantu Emak membereskan keperluan adik-adiknya untuk pindah rumah besok. Emak menghela napas dan membelai lembut kepala Ruqoyah.

“Satu waktu kita harus hijrah agar kehidupan lebih baik Nduk. Disana Bapak sudah bikin rumah sederhana untuk kita.”

“Oh, nggih Mak. Iyah hanya khawatir kita akan tidur dimana.” Ruqoyah menjawab emaknya polos. Tentu saja Bapak sudah menyiapkan tempat tinggal terbaik untuk kita, mengapa harus khawatir? Batin Ruqoyah menghalau rasa cemasnya perkara tempat tinggalnya nanti di Kota yang katanya akan membawa perubahan bagi keluarganya itu.

“Sudah cepat tidur sana. Adik-adikmu juga harus cepat tidur. Besok harus sekolah seperti biasa sekalian kita berangkat sama-sama.” Tutur Emak menginstruksikan anak gadisnya agar segera beristirahat. Iyah mengangguk dan segera memimpin adik-adiknya untuk masuk ke kamar dan tidur.

Usai salat Isya tak pernah mereka berlama-lama terjaga. Karena kata Nabi, lepas Isya tidak boleh berlama-lama bersenda gurau hingga lalai karena urusan dunia. Tidur lebih awal lebih baik agar dini hari dapat terjaga berebut untuk melambungkan permintaan ke langit. Baik Hud, Ruqoyah, Taufiq dan saudaranya yang lain sudah terbiasa dengan habit yang dibentuk oleh Emak dan Bapaknya ini. Kelak, ini lah senjata Taufiq untuk meraih kesuksesan dalam hidupnya. Sesuai janji Allah lewat Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Pada tiap malam Tuhan kami Tabaraka wa Ta’ala turun (ke langit dunia) ketika tinggal sepertiga malam yang akhir. Ia berfirman: “Barang siapa yang menyeru-Ku, akan Aku perkenankan seruannya. Barang siapa yang meminta kepada-Ku, Aku perkenankan permintaanya. Dan barang siapa meminta ampunan kepada-Ku, Aku ampuni dia.” (HR Bukhari dan Muslim).

Jika ingin sukses di dunia dan akhirat, salat malam lah kuncinya. Keyakinan ini selalu tertanam dalam hati anak-anak Emak. Bahkan hingga mereka dewasa dan sudah memiliki anak cucu pun kebiasaan ini tetap terjaga. Semoga Allah memberikan rahmat dan kasih sayangnya bagi mereka yang menghidupkan malam-malam bersama Allah dan RasulNya.

“Ning? Kok melamun?” Taufiq kecil bangun saat larut malam melihat kakak perempuannya ternyata masih terjaga di luar kamarnya.

“Lho kamu sendiri kok tidak tidur? Mau dilaporin Emak?” Ruqoyah mengancam adiknya sambil pura-pura beranjak dari duduknya dan melangkah ke kamar Emak.

“Eh, ngga. Orang mau ke WC.” Taufiq melenggang santai menuju kamar mandi, tidak lagi memikirkan kakak perempuannya yang tampak sedih. Kenapa semua orang di rumah ini mendadak jadi aneh malam ini?” batin Taufiq. Tapi apa lah daya pertanyaannya itu hanya bisa disimpan untuk dirinya sendiri. Bahkan pertanyaannya dimana letak rumah baru mereka saja tidak ada yang menjawab. Mungkin mereka menganggap Taufiq masih kecil, masih bau kencur. Dijelaskan pun tidak akan mengerti.

Bersambung >>