Part 8

Pagi itu meja makan sedikit ribut karena peristiwa semalam. Taufiq yang menjadi satu-satunya saksi mata dari awal hingga akhir bercerita dengan sangat antusias. Tak memedulikan bagaimana Ruqoyah, Hud, Ning dan dua saudaranya yang lain acuh padanya. Masing-masing sibuk dengan piringnya. Bapak belum tampak, katanya masih memecah kelapa di belakang rumah.

“Sudah cepet berangkat ke sekolah sana, jangan ndongeng terus.” Emak menghentikan cerita Taufiq yang tak sudah-sudah. Saudaranya yang lain tertawa.

“Eh Emak juga saksi mata. Ya kan Mak?” Taufiq mencari pembenaran melihat semua saudaranya menyangsikan apa yang dialaminya semalam. Emak hanya tersenyum dan mengangguk. Lalu sibuk membungkus kue-kue itu lagi dibantu dengan Ruqoyah. Taufiq menyerah. Kalau ada Bapak, mereka pasti langsung percaya. Segera ia membereskan semua peralatan makannya dan berangkat sekolah dengan lesu. Tak ada yang memercayai ucapannya.

Ketika berada di sekolah, Taufiq menceritakan soal lemparan batu itu pada Bashori.

“Mungkin angin?” Bashori mencari alasan masuk akal atas cerita yang disampaikan Taufiq.

“Angin macam apa yang bisa menerbangkan kerikil bahkan batu?”

“Kau yakin itu batu?”

“Tentu saja. Suaranya keras dan khas,” Taufiq mencoba untuk mencari kalimat apa yang pas untuk menggambarkan bagaimana lemparan batu mendarat di atas genteng sederhana dan rumah bambu.

Demit?” Bashori akhirnya mengatakan hal yang selama ini juga membayangi pikiran Taufiq.

“Aku juga berpikir demikian.” Taufiq bergidik ngeri. Baru beberapa bulan menempati rumah itu, mengapa baru sekarang gangguan itu muncul? Mengapa tidak sedari awal saat mereka baru saja menempati rumah bambu itu?

“Kau tidak ngaji mungkin.” Kata Bashori membuyarkan lamunan Taufiq yang sudah mulai mengembara.

“Enak saja tiap hari aku mengaji, begitu juga Emak dan Bapak.” Bela Taufiq. Tidak terima dirinya dibilang tidak pernah mengaji.

Ketika malam datang, usai mengaji di langgar bersama kakak-kakak dan adiknya, Taufiq mulai menyalakan lampu minyak di sudut ruangan seperti biasa. Bapak tak di rumah malam ini, karena harus ikut menjaga pos kamling. Di kampung, selalu ada giliran untuk menjaga pos kamling. Meskipun keadaan kampung bisa dibilang aman, namun keberadaan pos kamling sudah berjalan puluhan tahun di daerah tersebut. Meskipun tidak ada maling ayam, sapi atau bahkan maling jemuran, pos kamling tetaplah menjadi basis Bapak-Bapak untuk saling bertukar informasi dan pikiran tentang apa yang sedang dijalaninya seharian. Karena pos kamling lah kami, seluruh penduduk desa merasa aman dan tidak takut atas gangguan apa pun.

Malam itu Taufiq dan Ruqoyah duduk di balai-balai rumah untuk mengerjakan tugas pekerjaan rumah yang diberi sekolah. Bayangan lampu minyak yang mereka tempel di dinding bambu melambai-lambai karena angin. Tidak dingin, udara kota Mojokerto selalu panas. Bahkan saat malam hari sekali pun. Taufiq sibuk dengan tugas Bahasa Arab yang disukainya. Ruqoyah juga demikian, sibuk dengan buku Sejarah yang ia sukai.

“Duk!!” suara keras batu menghantam pintu depan. Sontak Taufiq dan Ruqoyah bangun dari duduknya. Keduanya saling pandang.

Apa kubilang! Batin Taufiq sambil memberi sinyal kemenangan pada Ruqoyah. Tak lama Hud dan Naning ikut berlarian ke balai rumah. Memerhatikan Taufiq dan Ruqoyah yang masih di tempat. Hud segera membuka pintu rumah yang sedikit terbuka, diikuti oleh adik-adiknya yang mengekor di belakang. Semua saling berpandangan. Tidak ada siapa-siapa. Jantung Taufiq berdegup cepat. Ia membayangkan demit yang diceritakan Bashori tadi siang di sekolah. Benarkah itu demit? Sebelum mereka menutup pintu depan, suara itu kembali lagi.

“Duk! Duk! Duk!” kini berasal dari atap dapur. Lebih banyak batu lagi yang terlempar. Semua saling berpandangan. Ruqoyah dan Nanik berpegangan tangan. Nanik nampak paling ketakutan dibanding yang lain. Ia segera memeluk kakak perempuan satu-satunya itu.

Emak kemudian muncul dan bergabung bersama mereka. Nampak jelas wajahnya juga bingung dengan suara-suara itu.

“Ayo baca Quran saja, tidak usah dilihat keluar!” perintah Emak kemudian sambil menggiring anak-anaknya untuk membaca Quran di balai-balai rumah. Semua menurut. Masing-masing membaca Quran dengan keras. Dimulai dari surat Al Baqarah hingga gangguan itu berhenti dengan sendirinya.

“Nanti Emak bilang Bapak. Kalian jangan khawatir, cepat tidur dan jangan lupa salat witir. Nanti malam Emak bangunkan untuk qiyamul lail.” Kata Emak setelah semuanya selesai membaca surat Al Baqarah hingga selesai. Kalimat Emak membuat hati Taufiq lebih teduh lagi dibanding sebelumnya, lebih tenang. Begitu juga dengan saudaranya yang lain. Kecuali Nanik yang masih tampak ketakutan. Masih kaget dengan lemparan-lemparan itu.

“Nanik tidur dengan Emak ya,” katanya memelas.

Emak mengangguk dan menyuruhnya untuk segera tidur di kamar Emak dan Bapak. Namun saat yang lain sudah tertidur, Taufiq masih terjaga. Ia penasaran dengan demit pembawa batu yang dua hari ini menganggu rumahnya.

“Cak, masa itu demit?” tanya Taufiq untuk meyakinkan dirinya sendiri.

“Mungkin.” Hud yang dipanggil Cacak menjawab singkat. Dirinya sediri sudah sangat mengantuk.

“Kalau besok mereka datang lagi bagaimana Cak?”

“Tidur saja dulu, besok kita pikirkan.” Hud menjawab enteng. Taufiq pun diam.

Bersambung >>

Part sebelumnya :

Part 1 : Narasi Sang Gurunda (Prolog)

Part 2 : Membangun Kembali Harapan

Part 3 : Rumah dari Bambu

Part 4 : Celengan Ayam

Part 5 : Menolak Jadi Tukang Sepatu

Part 6 : Menyelinap di Layar Tancap

Part 7 : Gangguan Rumah Baru