Part 9

Part sebelumnya : Malam-malam Gangguan

Hari ketiga dan keempat pun ternyata masih sama. Gangguan itu masih berulang. Pintu depan lalu genteng. Terkadang beramai-ramai dari seluruh sisi rumah. Kanan, kiri, depan dan belakang batu itu dilempar sedemikian rupa hingga menimbulkan bunyi-bunyian yang sangat mengganggu. Jam-jam gangguan mereka pun sama, menjelang tidur.

“Kalau hari ini mereka datang lagi, Bapak akan minta Mbah Isom untuk memindah tempat mengaji anak-anak kesini untuk sementara.” Bapak menenangkan Taufiq yang seharian gusar karena gangguan lemparan batu. Bapak pun mulai terganggu dengan tuntutan Taufiq. Tidak puas hanya dengan mengaji di malam hari. Mereka harus melakukan sesuatu.

“Jadi mulai besok kita mengaji disini Pak?” Taufiq meyakinkan.

“Iya, kau ajak juga anak-anak ngaji disini. Nanti Bapak yang bilang Mbah Isom.”

“Iya Pak,” jawab Taufiq senang. Mengaji beramai-ramai lebih menyenangkan daripada mengaji sendirian. Hud dan Ruqoyah mengangguk, mereka juga akan mengajak teman-teman mengajinya untuk pindah tempat ke rumah bambu mereka.

Kompak. Keesokan harinya anak-anak mulai memadati rumah bambu Taufiq untuk mengaji bersama-sama. Letak rumahnya memang agak jauh dari beberapa rumah lain. Dipisahkan oleh kebun pisang, pekarangan yang diisi dengan ayam dan bebek, barulah rumah lain berdiri. Tak heran jika rumah Taufiq yang menjadi sasaran demit-demit itu. Begitulah kira-kira anak-anak itu mulai kasak-kusuk bercerita sebelum memulai untuk mengaji.

Hampir selama satu minggu mereka berpindah mengaji dari langgar mushola ke rumah bambu Taufiq. Segala puji hanya milik Allah, gangguan itu pun tidak pernah datang lagi. Lemparan-lemparan batu yang seringkali mereka dengar sudah tidak pernah muncul sama sekali. Bapak pun ‘mengembalikan’ tempat mengaji anak-anak ke langgar. Betul lah pesan Emak dan Bapak bahwa setan itu tidak akan berani muncul di rumah-rumah yang dihiasi dengan bacaan Quran setiap harinya. Anak-anak Emak dan Bapak pun mengamini. Tidak pernah absen mengaji walaupun sudah mengaji di langgar mushola. Entah itu usai salat Subuh atau menjelang tidur. Semua mengaji tanpa terkecuali.

“Ingat-ingat pesan Mbah Isom dan Bapak, jangan pernah tinggalkan membaca Quran barang sehari saja. Setan-setan itu sangat senang menghuni rumah yang tidak pernah dibacakan ayat-ayat Quran di dalamnya.” Nasihat Bapak dan Mbah Isom terus menggema di dalam dada Taufiq.

“Apalagi Mbah?” tanya Taufiq suatu saat ketika Mbah Isom memberikan nasihat pada murid-murid di langgar musholanya.

“Jangan pernah tinggalkan salat malam.” Mbah Isom menjawab mantap. Semua terdiam dan tertunduk mendengarkan petuah Mbah Isom.

“Mbah sepanjang hayat ini tidak pernah meninggalkan salat malam, meskipun hanya mendirikan dua rakaat saja satu malam.” Mbah meninggalkan pesan yang mendalam di hati Taufiq hingga saat ini. Pesannya itu selalu diingat hingga Taufiq dewasa kelak. Tak pernah ia tinggalkan satu rakaat pun pada malam-malam hidupnya. Ia biasakan dirinya sendiri untuk selalu bangun sebelum ayam berkokok meskipun itu berat.

Usai salat jamaah pun Mbah Isom selalu memberikan pesan yang sama pada murid-muridnya.

“Jangan pernah tinggalkan AlQuran sehari saja.”

“Jangan pernah tinggalkan salat malam sehari saja jika ingin sukses dunia akhirat.”

Begitu isi pesan Mbah Isom selama bertahun-tahun hingga beliau wafat. Beliau tidak pernah berhenti dan bosan dengan kedua pesan yang dianggap Taufiq sebagai senjata orang beriman itu.

Mbah Isom tak pernah mengganti topik nasihatnya pada topik yang lain. Usai salat berjamaah, beliau kemudian berdzikir sebentar menghadap santri-santrinya. Kemudian memberikan nasihat yang sama berulang kali. Quran dan salat malam yang tak boleh ditinggalkan jika ingin sukses dunia akhirat. Hingga santri-santrinya bisa mengamalkan kedua petuah itu dalam kehidupan sehari-harinya, Mbah Isom tidak akan pernah bosan mengulangnya. Jangan sampai Quran hanya berada sebatas di tenggorokan mereka, tapi Quran harus diletakkan dalam dada mereka, terwujud dalam segala tingkah laku mereka. Ketika hal itu sudah dapat dicapai oleh santri-santrinya maka itulah yang ia sebut sebagai keberhasilan dalam mendidik santri-santrinya.

Bersambung >>