Part 21

 

“Lelaki itu sudah punya rumah, mobil, pekerjaan mapan. Apalagi yang kamu cari?” Ujar Bapak pada Sri yang sedang membantu Ibunya menyiapkan sarapan. Sri hanya diam mendengarkan penuturan Bapaknya yang sedang membicarakan lelaki yang kemarin malam singgah ke rumah untuk melamar Sri. Lelaki itu memang membawa mobil, zaman itu mobil sudah menjadi aset mewah yang bisa dibanggakan oleh siapa pun. Ia juga pegawai negeri yang bekerja di kantor pos. Tak sungkan, lelaki itu bahkan menceritakan soal rumah yang baru dibelinya di kawasan elit.

 

Sri justru kehilangan simpati. Ia merasa dirinya tidak akan pernah dihargai oleh lelaki macam ini. Lelaki yang selalu memamerkan hartanya yang tak dibawa mati. Bangga dengan silsilah nasab yang dipunya. Membusungkan dada dengan membawa kendaraan mewah memasuki gang kecil untuk memperlihatkan pada dunia bahwa orang yang mengendarai mobil ini adalah dirinya. Sri antipati dan berharap Bapak tidak mendukungnya untuk menikahi Sri.

 

“Biar Sri memilih sendiri to, yang menikah kan dia, yang menjalani hidup dia,” Nenek membela Sri yang daritadi nampak mbesengut. Sri lega karena neneknya itu tidak akan pernah bisa dibantah oleh Bapaknya sekalipun. Nenek justru mendukung Sri menerima lamaran Taufiq. Karena Taufiq yang terlebih dulu datang. Ia juga lelaki sopan, punya adab, dan tak pernah sekali pun mengungkit soal harta. Nenek bilang, yang penting iman dan bisa jadi imam buat Sri dan keluarganya. Mobil dan rumah bisa dicari. Bapak pun pasrah dengan keputusan Nenek. Sri tersenyum bahagia.

 

Malam itu ia mengutus teman satu organisasinya yang juga mengenal Taufiq untuk menyampaikan sepucuk surat pada Taufiq.

Alhamdulillah, Mas bisa bawa keluarga ke rumahku

Begitu saja isi suratnya. Meskipun hanya satu kalimat, Taufiq senang bukan kepalang karena lamarannya diterima. Ia pun segera memberi tahu Emak dan Bapaknya, menjelaskan segalanya. Alhamdulillah Emak dan Bapak meridhoinya. Mereka bersiap dengan baju paling bagus yang pernah mereka punya. Mereka juga menyiapkan banyak buah hasil kebun, juga kue-kue buatan Emak sendiri. Meskipun belum mengenal Sri, bahkan melihat wajahnya, entah kenapa Emak sudah menyukai Sri dari cerita Taufiq.

 

Setelah jelas lamaran diterima oleh Sri dan keluarga, Taufiq bekerja lebih keras lagi untuk memperjuangkan pernikahannya. Taufiq segera menuntaskan kelulusannya meski dengan terseok-seok dan nilai apa adanya. Waktunya tersita untuk menuntaskan skripsi dan bekerja hingga malam. Namun Allah tak pernah membiarkan lelaki itu kecewa. Selalu ada harapan dan pertolongan dari Allah hingga segala persiapan pernikahan Taufiq lancar. Sri juga giat belajar dan fokus pada organisasi yang ia ikuti.

 

Hari pernikahan pun tiba. Keluarga Taufiq datang berbondong-bondong menuju rumah Sri yang sederhana. Mbah Sabar dan Nenek menyambut rombongan tamu dari Sooko itu dengan sangat hangat dan meriah. Taufiq membawa koper yang dikunci, katanya koper itu berisikan mas kawin dan beberapa barang pemberian Taufiq untuk Sri sebagai peningset. Koper itu diletakkan di kamar pengantin atas izin Sri dan keluarganya.

 

Acara sakral yang membahagiakan di hari itu pun berjalan dengan lancar. Sri tahu banyak cibiran yang menyerangnya darimana saja.

“Nolak nolak pegawai pemerintah, dapatnya cuman guru Pramuka?”

“Oh guru Pramuka toh?”

“Duh sayang banget sih kenapa dia mau aja sama guru Pramuka?”

 

Kalimat-kalimat macam itulah yang berasal dari tamu undangan. Sri tak mempedulikan itu, namun Taufiq mendengarnya dengan perasaan perih. Ia memang hanya guru honorer yang masa depannya belum jelas. Ia bertekad akan membungkam mulut-mulut mereka itu dengan prestasi yang akan ia usahakan. Sri juga bertekad akan menunjukkan bahwa hidupnya bahagia. Bahwa pilihannya itu tidak akan pernah salah.

 

Beruntung Taufiq bukanlah lelaki yang mudah patah arang. Ia justru akan lebih termotivasi ketika dirinya dan keluarganya dihina. Justru dari titik inilah ia bangkit dan melawan. Membuktikan pada semua orang bahwa harta yang kita miliki adalah titipan Allah. Harta adalah ujian paling menjijikkan bagi manusia. Bermula dari titik inilah Taufiq berjanji pada dirinya sendiri akan membawa keluarganya pada kemuliaan dunia dan akhirat.

 

“Mas apa isi kopernya? Kan cincin maharnya sudah kupakai. Emas?” Tanya Sri ketika pesta pernikahan usai.

 

“Kosong, hanya baju-baju milikku. Aku belum punya uang untuk membelikanmu high heels, baju bagus, atau emas berlian. Nanti lah ya, aku belikan. Kalau aku tidak bawa apa-apa takut Bapak marah dan membatalkan pernikahan kita. Jadilah kubawa koper kosong itu. Mereka pasti mengira isinya emas dan baju-baju bagus untukmu.” Ujar Taufiq asal. Sri tertawa mendengar penuturan suaminya itu. Siasatnya boleh juga.

 

 

Bersambung >>

Part sebelumnya :

Part 1 : Narasi Sang Gurunda (Prolog)

Part 2 : Membangun Kembali Harapan

Part 3 : Rumah dari Bambu

Part 4 : Celengan Ayam

Part 5 : Menolak Jadi Tukang Sepatu

Part 6 : Menyelinap di Layar Tancap

Part 7 : Gangguan Rumah Baru

Part 8 : Malam-malam Gangguan

Part 9 : Pesan Mbah Isom

Part 10 : Semester Pertama

Part 11 : Dua Puluh Lima Rupiah

Part 12 : Berkah dari Allah

Part 13 : Bekerja Lebih Keras, Berlari Lebih Kencang

Part 14 : Kabar Bahagia Ning Yah

Part 15 : Wanita Berkerudung Putih

Part 16 : Sweet Destiny

Part 17 : Sang Dewi bernama Sri

Part 18 : Mengungkap Rasa

Part 19 : Jawaban Istikharah

Part 20 : Pendamping Harapan