Part sebelumnya : Kabar Bahagia Ning Yah

Part 15

 

Setelah tiga hari pulang kampung karena pernikahan Mbakyu-nya, Taufiq memulai kembali padatnya aktivitas yang ia jalani. Suatu hari di sekolah,

“kita butuh guru baru untuk menggantikan Bu Ni’mah yang sedang cuti. Tapi siapa ya yang mau digaji rendah seperti ini?” Kepala Sekolah mulai berdiskusi dengan Taufiq yang saat itu baru saja selesai mengajar.

 

Taufiq diam sambil memikirkan siapa kira-kira temannya yang benar-benar bisa diajak berjuang di sekolah sederhana ini. Mengingat ia tidak punya banyak teman. Karena sepulang kuliah ia tak sempat nongkrong bareng teman-temannya yang lain. Entah itu untuk berdiskusi atau sekedar nongkrong saja. Bagaimana sempat? Waktunya habis untuk bekerja usai mengikuti perkuliahan. Jalinan pertemanannya dalam lingkar perkuliahan pun sedikit. Justru ia punya banyak relasi di luar kampus. Relasi dari berbagai kalangan, mulai dari seorang pengusaha yang menjadi orang tua wali anak didiknya, relasi berupa seorang guru, sesama pembina Pramuka, hingga aktivis organisasi yang ia geluti.

 

“Coba nanti saya tanyakan ke teman-teman organisasi Pak, siapa kira-kira yang mau diajak berjuang bersama kita disini.” Taufiq mencoba memberikan jalan keluar pada Kepala Sekolahnya yang tengah kebingungan.

 

“Baik, saya tunggu kabarnya ya Dek Taufiq,” ucap Pak Kepala Sekolah kemudian sambil menepuk-nepuk pundak Taufiq yang mengangguk-angguk.

 

 

Sore hari di ruang rapat Pemuda, Taufiq bertemu dengan salah seorang rekannya yang juga aktivis kampus tetangga. Jika Taufiq kuliah di IAIN Malang, rekan satu organisasinya ini kuliah di IKIP Malang. Jarak kedua kampus itu tak terlalu jauh, sehingga Taufiq sering melintas di sekitarnya.

 

“Kau punya kenalan orang yang bisa diajak berjuang di sekolahnya Pak Kusnan tidak?” Tanya Taufiq tanpa basa-basi.

 

“Perempuan atau laki-laki?”

 

“Apa saja tak masalah, yang penting ia punya waktu untuk menggantikan seorang guru yang sedang cuti. Hanya beberapa bulan saja. Itu pun kami tidak bisa menggajinya seperti guru lain. Dana kami sedikit, bahkan banyak yatim piatu yang bersekolah di MTS Nurul Huda itu. Bagaimana mungkin kami tega untuk menarik iuran SPP bulanan mereka sementara ada untuk makan saja sudah Ailhamdulillah banget.” Taufiq bercerita panjang lebar tentang sekolah tempat ia mengajar itu. Harapannya pengganti Bu Ni’mah tidak akan berekspektasi berlebihan soal sekolah itu nantinya, apalagi berharap soal gaji.

 

“Aku ada kenalan teman yang kepekaan sosialnya sangat tinggi. Ia juga aktivis kampus. Kebetulan rumahnya dekat sini. Kalau mau nanti aku minta dia untuk datang ke sekolahmu besok, bagaimana?” Tanggapan teman Taufiq ternyata diluar dugaan. Siapa sangka ia malah menawarkan bantuannya untuk mencari guru pengganti.

 

“Wah makasih ya bantuannya. Mudah-mudahan orang itu mau diajak untuk berjuang bersama-sama.” Taufiq tidak bisa menutupi kebahagiaannya. Kebahagiaan sederhana karena satu permasalahan bisa diselesaikan. Kini, ia menghadapi realita organisasi dan tentang binaannya di pramuka sekolah-sekolah.

 

 

Keesokan harinya, Taufiq diajak oleh Mukhlis untuk melihat lomba qiroah di universitas tetangga. Awalnya Taufiq menolak karena ia ingin istirahat karena sore hari ia harus meluncur ke sekolah untuk melatih Pramuka. Namun, Mukhlis sedikit memaksa. “Biar dapat barokahnya!” Begitu katanya. Akhirnya Taufiq pun turut serta bersama Mukhlis dan teman-temannya yang lain untuk ikut melihat lomba Qiroah yang diadakan sekota Malang itu.

 

Ketika Taufiq datang dan melihat salah satu peserta di atas panggung, matanya tak berkedip melihat seorang perempuan berkerudung putih sedang melantunkan ayat Quran dengan merdunya. Cengkoknya benar-benar enak didemgar dengan suaranya yang tinggi. Taufiq penasaran ingin melihat wanita itu dari dekat. Namun diurungkanlah niatnya, tiba-tiba ia ingat tentang cerita seorang ulama yang hilang hafalannya karena tidak menjaga pandangan. Taufiq takut seperti itu. Ia pun kembali menunndukkan kepala, mencoba untuk mendengarkan lantunan kitab suci yang mendayu-dayu, tanpa melihat sosoknya.

 

Tak lama setelah ia tampil, gemuruh tepuk tangan memenuhi aula. Perlombaan berlangsung sengit dan semuanya bagus-bagus. Taufiq merasa rendah diri setelah melihat penampilan para mahasiswa dan mahasiswi yang berbakat itu. Hingga tibalah pengumuman pemenang di penghujung acara. Betapa terkejutnya Taufiq ketika melihat wanita berkerudung putih yang ia kagumi itu memenangkan lomba Qiroah dan naik ke atas panggung untuk menerima hadiah. Yang tak kalah menariknya bagi Taufiq adalah, wanita itu bukan berasal dari pondok mana pun. Bukan pula berasal dari jurusan keagamaan atau Universitas keagamaan. Ia berasal dari IKIP Malang jurusan Civic Hukum. Namun lantunan ayat suci AlQuran yang ia perdengarkan di hadapan ratusan mahasiswa sungguh sangat fasih dan indah. Melebihi siapa saja yang pernah belajar di pondok pesantren atau sekolah keagamaan lain.

 

Hatinya berdesir. Jantungnya berdegup begitu cepat. Bahkan ia tak mampu melihat sosok wanita yang diam-diam ia kagumi itu. Ia hanya mengingat namanya saat dipanggil ke atas panggung, Sri Herawati. Semenjak hari itulah nama wanita itu terus ia langitkan dalam setiap doa yang ia panjatkan seusai salat wajib dan salat sunnah.

 

Bersambung >>

Part sebelumnya :

Part 1 : Narasi Sang Gurunda (Prolog)

Part 2 : Membangun Kembali Harapan

Part 3 : Rumah dari Bambu

Part 4 : Celengan Ayam

Part 5 : Menolak Jadi Tukang Sepatu

Part 6 : Menyelinap di Layar Tancap

Part 7 : Gangguan Rumah Baru

Part 8 : Malam-malam Gangguan

Part 9 : Pesan Mbah Isom

Part 10 : Semester Pertama

Part 11 : Dua Puluh Lima Rupiah

Part 12 : Berkah dari Allah

Part 13 : Bekerja Lebih Keras, Berlari Lebih Kencang