Part 5

Part sebelumnya :

Celengan Ayam

 

Musim ujian pun selesai. Ada yang merayakan kelulusannya dengan pergi rekreasi bersama teman-teman sekelas, ada juga yang bersama dengan keluarga pergi makan-makan di warung pinggir jalan. Makan kepiting atau cumi-cumi saus padang yang tidak semua orang bisa menikmatinya kapan saja. Bisa jadi hanya satu tahun sekali. Begitu juga dengan Taufiq. Sudah bisa makan telur ayam saja bahagianya luar biasa. Sehari-hari Emak hanya bisa membeli beras dan memasak sayuran hasil tanaman yang ada di belakang rumah. Lauk paling enak ya klothok alias pindang asin yang dikeringkan lalu digoreng. Sungguh nikmat dimakan dengan nasi hangat dan sayuran rebus. Menu kesukaan Bapak, begitu kata Emak.

 

Usai ujian tahun ini Taufiq memutuskan tidak kemana-mana. Bahkan pergi ke sungai untuk memancing pun tidak. Ia akan membantu Emaknya berjualan kue di pasar. Akhir-akhir ini banyak permintaan dari para tetangga dan penjual di pasar agar Emak membuatkan kue untuk mereka jual kembali. Jadi sekarang Taufiq dan Ruqoyah tidak harus mengantar kue setiap hari ke warung, karena banyak pemilik warung yang mengambil sendiri jatah kuenya. Namun permintaan yang lebih banyak tentu saja butuh tenaga produksi yang lebih banyak pula. Untuk itu lah Taufiq memutuskan untuk ikut membantu Emak dan kakak perempuannya membuat kue di hari libur usai ujian.

 

 

“Mak, kalau kita punya bedak sendiri di pasar pasti bakal laku keras.” Kata Ruqoyah sambil memberi minyak pada cetakan lumpur yang sudah panas. Emak tersenyum mendengar anak gadisnya itu ikut antusias mengembangkan bisnis kue milik Emaknya.

 

“Iya Emak juga maunya begitu. Apa kita coba jualan di pasar ya?” Emak mulai tertarik dengan tawaran Ruqoyah.

 

“Setuju!” Taufiq ikut-ikut menimpali usulan kakaknya. Tangannya cekatan membungkus lemper dengan daun pisang. Meskipun belum rapi betul seperti hasil kerja Emaknya, tapi Emak sudah cukup puas dengan hasil karya Taufiq. Sehingga ia membiarkan saja ketika Taufiq mengambil alih tugasnya untuk membungkus lemper.

 

“Asal jangan Fiq nanti yang jaga Mak,” Ruqoyah melirik adiknya yang sibuk sendiri itu sambil menahan dirinya agar tidak tertawa ketika menggodanya.

 

“Kenapa?” Taufiq sontak menoleh dan menghentikan pekerjaannya. Ia tak terima jika tidak dilibatkan dalam bisnis keluarganya ini.

 

“Nanti kau makan terus, ndak jadi dijual!” kata Ruqoyah sambil cekikikan melihat Taufiq yang seketika langsung cemberut karena ucapan Kakaknya. Dia memang doyan kue buatan emaknya. Beberapa kali dia makan kue yang akan diberikan pada pelanggan karena sudah tidak tahan dengan baunya. Emak mahfum, bahkan senang karena anaknya begitu menyukai kue buatan tangannya sendiri, sehingga tidak perlu jajan kesana kemari. Cukup kue buatan Emak.

 

“Enak saja! Kalau Ning yang jaga malah nanti tidak laku.” Balas Taufiq kejam.

 

“Mana bisa begitu?”

 

“Iya kan Ning galak, mana lah ada yang mau beli,” balas Taufiq sambil cekikikan melihat kakaknya itu ikut kesal. Emak hanya ikut tertawa sambil geleng-geleng melihat tingkah kedua anaknya itu.

 

“Hud kemana ya?” Emak menanyakan keberadaan kakak sulung mereka karena belum juga melihatnya di rumah.

 

“Ke tempat Cak Soni bikin sepatu Mak. Tadi sudah pamit sama Bapak.” Kata Ruqoyah. Emak manggut-manggut.

 

“Kamu ngga kepengen cari uang di pabrik sepatunya Cak Soni Fiq?” Tanya Emak. Karena hanya dirinya lah yang memang tidak ikut anak-anak yang lain untuk mencari uang lewat pabrik sepatu.

 

“Ndak Mak, aku maunya nanti jadi guru. Bukan tukang sepatu.” Jawab Taufiq sekenanya. Emaknya tersenyum. Paham bahwa hanya Taufiq lah yang memiliki semangat tinggi untuk bersekolah. Bahkan untuk mencicipi uang hasil kerja di pabrik pun ia enggan. Takut semangat sekolahnya pudar karena sudah punya banyak uang hasil bekerja di pabrik sepatu.

 

Memang begitu lah yang banyak terjadi di kampungnya ini. Banyak anak-anak yang bekerja di pabrik sepatu hingga ia lupa dengan kewajibannya untuk bersekolah. Bahkan tak jarang begitu lulus SD atau SMP mereka sudah tidak mau bersekolah lagi. Mereka lebih memilih untuk menjadi buruh pabrik sepatu dengan penghasilan melebihi petani jagung. Menjanjikan memang, tapi bukan Taufiq jika ia tidak punya analisis mendalam terhadap apa saja yang terjadi di sekelilingnya. Taufiq hanya ingin mereguk ilmu setinggi-tingginya. Karena apa saja nantinya bisa diraih dengan ilmu. Jika ia tak punya bekal seperti apa yang terjadi di kampungnya ini, ia akan hidup seperti Emak dan Bapak. Seperti keluarga teman-temannya lainnya yang hartanya akan habis digerogoti oleh sang waktu. Taufiq ingin merubah kehidupannya secara total. Ia ingin makan enak, rekreasi ke tempat yang indah dan naik haji.

 

Hidupnya tidak akan berubah jika ia tidak mencoba untuk mendobrak tradisi yang selama ini ada di kampungnya. Turun-temurun menjadi tukang sepatu. Mereka lupa bahwa nantinya sepatu akan banyak diimpor dari luar negeri. Usaha produksi sepatu pun akhirnya akan berkurang pula. Taufiq yang selalu berpandangan luas ini sekuat mungkin menahan dirinya untuk terus menabung dan tidak tergoda dengan uang-uang yang dihasilkan oleh saudaranya yang lain. Meskipun terkadang ia ingin, hanya sesekali ia ikut dengan kakak laki-lakinya, Hud. Setelahnya ia memutuskan untuk tidak ikut lagi.

 

“Aku beneran takut tergoda kalau sudah punya uang jadi malas belajar Cak. Karena sudah capek kerja.” Jawab Taufiq kala itu pada Hud, kakaknya yang sedang menanyakan padanya kenapa tidak ikut cari uang di pabrik sepatu.

 

Hud tersenyum mendengar jawaban adiknya yang polos itu.

 

“Cacak dukung kamu kuliah sampai selesai. Nanti Cacak bantu.” Ujar Hud pada adiknya. Wajah Taufiq nampak berseri-seri. Tidak ada yang lebih membahagiakan dibanding orang-orang terdekat mendukung apa yang ia inginkan. Tidak ada yang lebih membahagiakan dibanding itu.

 

Bersambung >>

 

Part 1 : Narasi Sang Gurunda (Prolog)

Part 2 : Membangun Kembali Harapan

Part 3 : Rumah dari Bambu

Part 4 : Celengan Ayam