Part 6

Part sebelumnya : Menolak Jadi Tukang Sepatu

Pagi itu Taufiq punya tugas untuk mengantarkan kue ke warung-warung. Emak bilang hari ini bedak di pasar banyak yang tutup karena Suroan. Jadi tersisa warung-warung yang biasanya menerima sedikit kue saja yang hari ini buka. Suroan atau tradisi satu Muharam atau Suro yang memiliki catatan peristiwa penting di dunia Islam ataupun kebudayaan masyarakat Jawa, telah menjadi latar munculnya berbagai festival atau perayaan untuk memperingatinya. Perayaan-perayaan ini tak hanya ditujukan untuk kegiatan keagamaan, tapi juga bagian perayaan kultur budaya sekaligus pelestarian tradisi masyarakat. Karena itu lah banyak warung yang libur karena sedang menyelesaikan hajatnya untuk ngalap berkah. Biasanya mereka akan membuat kue-kue untuk dihantarkan pada sanak saudara dan tetangga terdekat. Kue apem, lapis, pisang goreng, lumpur, dan lain-lain.

Meskipun sekolah libur, Taufiq tetap dalam kebiasaannya untuk selalu bangun pagi membantu Emaknya bersama kedua kakak perempuannya, Ruqoyah. Sedangkan adik-adiknya bertugas untuk membereskan rumah dan bertanggung jawab untuk kebersihan serta kerapihan masing-masing peralatan sekolah mereka. Sedari kecil Emak sudah membiasakan mereka untuk bertanggung jawab atas barang mereka masing-masing. Tidak boleh lagi mengandalkan Emak untuk sekedar mencari baju seragam atau kaos kaki.

“Fiq!” Seru seorang bocah setelah Taufiq melintasi jalan raya untuk menyeberang ke arah pasar. Taufiq menoleh dan menghentikan langkahnya. Menunggu sosok yang memanggilnya hingga berada di depannya.

“Ada apa?”

“Anak-anak mau nonton layar tancap di lapangan nanti malam. Ikut tidak?” Bashori melirik kue yang dibawa Taufiq. Barangkali ada kue cucur kesukaannya, Bashori selalu berlangganan membeli kue cucur buatan Emak.

“Ngga bikin cucur. Besok saja.” Jawab Taufiq begitu menyadari gelagat sahabatnya itu.

“Hehehe, kupikir ada cucur di wadah itu. Baunya harum sekali!” ujar Bashori sambil menghirup udara hangat yang mengepul dari kue-kue yang berjejer di atas nampan cekung.

“Iya dong! Masih hangat. Kau mau lumpur tidak?” Taufiq kemudian membuka lap penutup nampan. Seketika aroma lumpur yang khas pandan itu semerbak harumnya memenuhi hidung Bashori yang kian mendekat.

“Hush! Jangan dekat-dekat, ilermu itu bisa netes disini. Ngga laku jualanku nanti.” Taufiq menyingkirkan wajah Bashori yang semakin mendekat ke nampan kue. Bashori nyengir lebar dan kembali mengingat tujuannya untuk menemui Taufiq.

“Bagaimana? Kau ikut tidak nanti malam?” Bashori mensejajarkan langkahnya dengan Taufiq yang harus segera mengantarkan kue-kue itu ke warung sebelum pelanggan pergi meninggalkan pasar karena sudah terlalu siang.

“Lihat nanti saja, aku harus izin dulu pada Bapak kalau pulang larut malam.”

“Baiklah, nanti malam aku akan mampir ke rumahmu dulu. Kalau kau bisa berangkat, kita bisa berangkat bersama-sama.”

“Memangnya berapa bayar layar tancapnya?” Taufiq akhirnya menanyakan soal harga tiket masuk yang sedari tadi ditahannya untuk diucapkan. Ia ingin sekali ikut, tapi ia sadar bahwa Emak dan Bapak tidak akan pernah punya anggaran untuk bermain-main. Menonton layar tancap? Bisa-bisa Bapak akan menceramahiku mengapa aku ikut-ikutan teman untuk menonton layar tancap yang bahkan aku tak tahu apa judul atau tema film yang akan diputar disana.

“50 rupiah.” Jawab Bashori sambil melirik Taufiq. Seolah sedang mengamati lekat-lekat sahabatnya yang malang itu. Bahkan untuk 50 rupiah saja dia harus berpikir sepanjang waktu. Apalagi uang untuk rekreasi, tentu lah mereka sangat keberatan.

“Ya, baiklah aku harus mengantar kue-kue ini dengan cepat karena waktuku sudah terpotong karenamu. Kau ikut tidak?”

“Hehehe, baiklah kutemani.” Bashori kemudian membantu Taufiq membawa nampan kue. Kedua bocah itu pun menghilang dengan cepat begitu memasuki pintu pasar.

Malam hari, Taufiq sudah siap dengan celana panjang dan kemeja satu-satunya yang ia miliki. Ia sangat antusias berangkat melihat layar tancap. Maklum, tidak sering film bisa diputar lewat layar tancap di kota ini. Pastinya akan ada banyak orang berbondong-bondong pergi menonton. Seperti hari raya. Semuanya serba rapi dan wangi. Entah akan bertemu siapa. Taufiq pun ikut-ikutan euforia yang sudah lazim di kampung ini. Berdandan rapi untuk melihat layar tancap. Begitu ia berpamitan pada Bapak dan Emak yang sudah mengizinkannya, Bashori nampak sudah datang dan menunggunya di depan rumah.

“Pak, Mak, berangkat dulu.” Ucap Taufiq sambil mencium tangan Emak dan Bapaknya. Bekal yang diberi Emak 15 rupiah sudah disimpannya dalam kantong celana. 15 rupiah karena pagi ini ia sudah membantu Emak hingga siang hari di dapur bersama Ruqoyah. 35 rupiah sisanya adalah tabungannya sendiri yang ia ambil dari celengan ayam. Sayang memang, tapi Taufiq berjanji akan segera mencari ganti 35 rupiah tersebut untuk tabungannya masuk universitas nanti.

Taufiq dan Bashori pun berangkat beriringan menuju tempat pemutaran layar tancap. Banyak sekali warga kampung yang juga turut melihat. Saking ramainya bahkan ia tak mampu melihat dimana layar tancapnya? Lautan manusia yang memadati lapangan ternyata tidak hanya kalangan muda-mudi saja, tapi juga para orang tua.

“Siapkan uangmu agar nanti bisa langsung membayar tanpa harus menghitung dan mencari.” Bashori mengingatkan Taufiq yang sedikit shock dengan jumlah pengunjung. Ia segera merogoh saku celananya. Begitu juga dengan Bashori.

Alangkah kagetnya saat itu Taufiq hingga ia nyaris menjerit. Uangnya hilang! Uangnya tidak ada di kantongnya. Taufiq mulai panik dan melihat Bashori yang ternyata juga sedang panik.

“Uangku hilang!” Bashori berseru pada Taufiq dengan ekspresi bingung sekaligus sedih. Taufiq mengerjap.

“Uangku juga!” Taufiq masih berusaha mencari 50 rupiah berupa koin yang ia pikir tidak mungkin terjatuh begitu saja.

“Jangan-jangan ada yang mencopet kita?” Bashori membuat asumsi pribadi. Padahal entah dimana hilangnya uang mereka. Bisa jadi karena terjatuh saat mereka berlarian berebut untuk segera sampai di pintu masuk.

“Bisa jadi, tapi kenapa tidak terasa sama sekali ya?” Taufiq mulai berpikir bagaimana caranya seorang copet mengambil nominal rupiah yang tidak seberapa itu.

“Lalu bagaimana ini? Kita tidak bisa masuk!”

“Kita manjat saja,” jawab Taufiq sekenanya. Bashori tertegun. Boleh juga idenya.

Tanpa basa-basi Taufiq dan Bashori segera berlarian mencari pohon yang digunakannya untuk menembus tembok pemisah agar bisa segera duduk manis menonton layar tancap.

Bersambung >>

Part 1 : Narasi Sang Gurunda (Prolog)

Part 2 : Membangun Kembali Harapan

Part 3 : Rumah dari Bambu

Part 4 : Celengan Ayam

Part 5 : Menolak Jadi Tukang Sepatu