Part 4 (Celengan Ayam)

Part sebelumnya : Rumah dari Bambu

“Aku jual 15 rupiah satu pris!” Taufiq menawarkan mainan pris-prisan yang dia beli di pasar tadi pagi.

“Oke aku beli empat, bayar 50 saja ya?” Mukhlis, teman sekelasnya mencoba menawar.

“Tidak bisa. Kalau tidak mau juga tak apa-apa, anak kelas lima tadi ada yang mencari pris-prisan juga.” Taufiq tidak menolerir sepuluh rupiah yang ditawarkan Mukhlis sambil berlaga melenggang pergi dari hadapannya. Mukhlis cemberut. Ia menahan tangan Taufiq dan segera menyerahkan uangnya untuk mendapatkan pris-prisan yang diinginkannya.

Zaman itu, pris-prisan adalah semacam action figure yang ukurannya sangat kecil. Kira-kira tingginya hanya dua sampai tiga centimeter. Biasanya digunakan anak-anak sekolah untuk bertaruh. Jika menang, pris-prisan yang kalah akan diberikan pada yang menang, dan sebaliknya. Oleh karena itu bisnis pris-prisan di zaman itu cukup menjanjikan. Taufiq mengambil peluang itu dengan menjual mainan yang biasa ia beli di pasar. Kemudian menjualnya dengan harga dua kali lipat. Dia mendapat keuntungan yang cukup banyak dari hasil penjualan mainannya itu. Laba bersih yang ia dapatkan kemudian ditabung di celengan ayam pemberian Bapak.

Taufiq punya keinginan untuk terus melanjutkan sekolah seperti gurunya. Sekolah setinggi-tingginya. Tak peduli di kampungnya tidak pernah ada sarjana, yang penting ia hanya ingin sekolah dan menjadi guru. Saat itu anak-anak di kampung disibukkan oleh aktivitasnya membantu bisnis pembuatan sepatu rumahan. Tiap pulang sekolah banyak anak-anak yang tidak langsung pulang, namun langsung menuju rumah-rumah pembuatan sepatu yang terkenal sebagai kerajinan tangan orang-orang Mojokerto. Hasilnya memang menjanjikan. Sehingga tidak sedikit anak yang keenakan menikmati hasilnya sebagai buruh pabrik sepatu dibanding melanjutkan sekolah. Termasuk kakak Taufiq yang sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Penghasilannya lumayan, bisa ditabung dan dibelikan makanan untuk Emak.

Taufiq tetap bersikukuh untuk tidak menyentuh pabrik sepatu itu. Ia takut akan ketagihan bekerja sehingga lupa cita-citanya untuk sekolah sampai universitas. Oleh karena itu ia punya siasat untuk menjual mainan pada teman-temannya. Meskipun hasilnya tidak sebanyak teman-teman lainnya yang bekerja sebagai buruh pabrik sepatu usai pulang sekolah dan di hari libur sekolah. Beberapa kali Taufiq diajak, namun ia bergeming. Ia hanya melihat bagaimana proses sepatu itu dibuat, tidak tertarik menjadi bagian dari produksinya.

Kebiasaan rutinnya sepulang sekolah ada membantu Emak untuk mengambil hasil penjualan kue di warung-warung. Kadang membantu kakak perempuannya untuk berbelanja bahan-bahan kue di tengah kota sampai Ashar tiba. Ba’da Ashar barulah ia ikut mengaji bersama Mbah Isom di langgar dekat rumahnya. Sambil menunggu antrean setoran ngaji ke Mbah Isom, Taufiq mengajari anak-anak yang lebih kecil darinya untuk menyimak setoran alif, ba, ta, tsa mereka. Baru setelah itu ia yang setoran ngajinya ke Mbah Isom hingga Maghrib. Usai Maghrib ia pulang dan belajar dengan penerangan seadanya. Lampu minyak yang dibeli Bapaknya selalu menjadi teman membacanya saat malam tiba. Kadang ia juga harus berbagi lampu minyak dengan kakak perempuannya Ruqoyah yang juga sedang mengerjakan tugas sekolahnya. Namun justru disitulah asyiknya belajar bersama. Tak peduli dimana mereka menghabiskan waktu, di rumah berdinding semen atau bambu, yang terpenting keluarga ini harus tetap bersama-sama.

“Kapan ujian Fiq?” Tanya Emak di sela-sela pekerjaannya membuat adonan kue untuk besok pagi.

“Minggu depan Mak.”

“Belajar yang rajin biar bisa masuk SMP negeri.” Timpal Ruqoyah

“Orang aku mau masuk MTs kok, mau jadi guru agama!” Ujar Taufiq mantap.

“Jadi guru agama juga harus belajar Fiq,” sambung Emak.

Taufiq cengar-cengir karena Emaknya membenarkan ucapan kakaknya.

“Oh ya Mak, setelah ujian ada rekreasi ke Pemandian, teman-teman kesana semua. Aku ikut juga boleh ya?” Taufiq kemudian segera menutup bukunya dan duduk di depan Emaknya yang sibuk mengaduk adonan. Emaknya menatapnya sebentar.

“Berapa bayarnya?” Tanya Emak

“Lima ratus rupiah Mak.”

Emak menghela nafas berat. Taufiq melihat pendar kecewa dalam raut wajah Emak yang disayanginya itu. Rambutnya mulai ada yang putih, wajah Emak hampir setiap hari selalu sayu. Taufiq kemudian tahu bahwa Emaknya tidak akan pernah punya uang sebanyak itu, apalagi untuk rekreasi.

“Nanti kamu kalau sudah besar, sudah punya uang sendiri, pergilah kemana pun kau suka. Untuk saat ini ndak usah dulu ya Fiq, Emak takut nanti yang lain akan keteteran kalau lima ratus rupiahnya Emak kasih kamu untuk rekreasi.” Tutur Emak lembut. Kentara sekali dia berusaha keras agar kalimatnya terdengar lebih baik di telinga anak lelakinya itu ketimbang jawaban singkat ‘Emak tidak punya uang’.

Benar, bagaimana nasib saudara-saudaranya nanti kalau ia ngotot ingin ikut rekreasi. Tabungan hasil penjualan mainannya saja belum cukup untuk dibawa pergi ikut rekreasi bersama teman-temannya. Hasil penjualan kue Emak hanya cukup untuk makan sehari-hari. Hasil kerja Bapak juga hanya cukup untuk kami semua bisa bersekolah. Mana ada anggaran untuk rekreasi? Seketika Taufiq berusaha tersenyum, memendam perasaannya yang kecewa karena tidak bisa pergi rekreasi. Rasa kecewa itu kemudian terkalahkan dengan tekadnya yang luar biasa “Aku harus sukses. Kelak aku akan pergi kemana saja sesukaku.” Batin Taufiq.

Inggih Mak, ndak apa-apa. Nanti saja kapan-kapan rekreasinya. Kan tempat rekreasinya ngga kemana-kemana ya Mak?” Ujar Taufiq menghibur dirinya sendiri. Emak mengangguk dan tersenyum lega melihat anak lelakinya itu bisa memahami bagaimana kondisi keuangan keluarganya.

“Ingat saja doa Emak, kamu pasti bisa ke tempat yang lebih indah dan lebih bagus daripada tempat pemandian itu.” Emak meyakinkan Taufiq sepenuh hati agar dia tidak terlalu kecewa. Taufiq mengangguk dan tersenyum lebar. Iya, lihat saja nanti. Aku bahkan pasti bisa keluar negeri. Pemandian begitu hanya hal kecil kok.

Bersambung >>

Part 1 : Narasi Sang Gurunda (Prolog)

Part 2 : Membangun Kembali Harapan

Part 3 : Rumah dari Bambu