Sore itu, anak perempuan yang dipanggil Mila mendatangi rumah basecamp kami tempat menginap saat menjalani KKN. Lalu mengalirlah percakapan antara Mila dan salah seorang teman saya.

“Mas, Mbak Mawar (bukan nama sebenarnya) kemana?” Tanya Mila sambil celingukan melihat ke arah dalam rumah.

“Tidur siang mungkin, sedang istirahat di kamar.” Jawab teman saya.

“Lho sampean ngga kelon-kelonan (tidur bersama.red) ta sama Mbak Mawar?” Ujar Mila sambil cekikikan.

Bagai petir di siang bolong, kami yang mendengarnya hampir-hampir tidak tahu lagi kemana jantung ini akan meloncat. Bayangkan anak usia sekitar sepuluh tahun kelas dua SD sudah mengenal kosa kata yang lazim didengar oleh usia delapan belas tahun keatas. Betapa terkejutnya saya ketika mendengar dirinya yang bahkan sudah mengenal apa itu hubungan suami istri. Belum lagi Mila (bukan nama sebenarnya) tidak sungkan menceritakan fantasinya bermimpi berhubungan badan dengan salah satu rekan laki-laki yang sama-sama melaksanakan pengabdian di desa tersebut.

Masa kanak-kanak adalah masa bereksplorasi  yang biasa disebut dengan “golden age”. Dimana anak-anak mudah meniru apa yang dilihat kemudian dapat menjadi behavioral atau kebiasaan mereka dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Namun kebanyakan anak-anak di desa atau bahkan tidak sedikit juga ada di kota, usia mental mereka tidak sesuai dengan usia fisiknya. Kebanyakan dari mereka dapat dikatakan “dewasa terlalu dini”. Kosa kata yang mereka ucapkan kurang sesuai dengan usia mereka yang masih anak-anak.

Hal ini ditinjau selama kegiatan kami di sebuah desa, Donowarih, Karangploso, Malang selama kurang lebih satu bulan lamanya. Kurangnya sikap sopan santun, tutur kata yang baik sesuai dengan usia anak-anak yang sangat minim dan perlu adanya perhatian khusus terkait hal-hal tersebut. Implementasi terkait pendidikan karakter yang kami rancang adalah menyampaikan bagaimana seharusnya adab pada guru, orang tua mereka dan orang yang lebih tua usianya dari mereka. Namun ternyata tidak mudah mengubah kebiasaan mereka dalam waktu sekejap.

Ada banyak sekali jalan berlubang yang harus kita perbaiki. Jalan-jalan berlubang itu bukan secara fisik, tapi secara mental yang kelak akan memengaruhi perkembangan mereka menjadi orang dewasa. Baik lubang pada sisi pendidikan, ekonomi, moral bahkan spiritual. Bagaimana pun merubah karakter apalagi memberikan pendidikan mental serta spiritual tentu tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Merubah karakter tidak bisa hanya dilaksanakan dalam waktu satu bulan saja. Karena perubahan karakter adalah projek jangka panjang yang kita tanamkan sejak anak usia dini kemudian disemai saat usia mereka remaja.

Usia golden age yang disebutkan di atas harusnya adalah usia yang diisi dengan hal-hal baik untuk penanamam adab dan akhlaq. Tapi apa boleh buat, tuntutan ekonomi kebanyakan kepala keluarga di desa ini tidak punya waktu yang cukup untuk mengajari anak-anak mereka adab dan akhlaq. Bisa makan tiga kali dalam satu hari itu saja mereka sudah sangat bersyukur.

Belum lagi masalah narkoba yang kita tahu banyak beredar di pinggiran kota. Tempat mukim marjinal dan akses pendidikan yang belum cukup baik. Generasi muda yang menjadi sasaran pun sudah sangat jelas jika melihat kondisi mental dan spiritual mereka seperti ini. Kurang sentuhan dan perhatian. Orang tua sibuk di ladang. Anak SD dibiarkan mengendarai sepeda motor sesuka hati, minim edukasi.

“Yang penting mereka mau sekolah, Mbak,” begitu dalihnya.

Maka tidak heran jika pernikahan usia dini kerap terjadi. Begitu juga dengan angka putus sekolah sebelum wajib belajarnya usai. Bermimpi untuk mengembalikan fitrah mereka bukanlah suatu hal yang mustahil juga. Sebagaimana kita ketahui bahwa pola pikir bukan hanya buah dari pendidikan, baik pendidikan formal maupun non-formal. Namun, pola pikir juga dipengaruhi oleh buku apa yang kita baca hingga menghasilkan sebuah produk baik tulisan maupun pemikiran yang sesuai dengan bidang yang kita tekuni. Seperti kata pepatah, kamu adalah buku yang kamu baca.

Literasi bukan hanya suatu kegiatan membaca dan menulis saja, namun lebih dari itu. Kamus online Merriam – Webster, menjelaskan bahwa literasi adalah kemampuan atau kualitas melek aksara dimana di dalamnya terdapat kemampuan membaca, menulis dan juga mengenali serta memahami ide-ide secara visual. Kita bahas dulu perihal minat baca yang menurut UNESCO masih rendah, bahkan peringkat kedua dari bawah. Namun ternyata hal itu dibantah oleh ipusnas seperti yang tercantum dalam website resminya. Disebutkan bahwa Indonesia menunjukkan perkembangan yang pesat dalam hal minat baca, dalam hal ini merupakan satu aspek krusial bidang literasi. Sekarang kita berada di urutan 16 dari 30 negara yang masyarakatnya paling banyak membaca dalam satu minggu. Hasil riset Universitas Kingstone London tahun 2018 menyatakan jumlah jam yang dihabiskan masyarakat Indonesia untuk membaca dalam seminggu adalah 6 jam, di atas Jerman, Amerika Serikat, dan Jepang. Jadi, ada kemajuan signifikan dari riset tahun 2016 yang menempatkan Indonesia di negara nomor 61 dalam urusan minat baca (Sumber : ipusnas.id)

Kondisi literasi di Indonesia yang meningkat pesat, patut kita apresiasi dan kita sambut  dengan rasa optimis bahwa hal ini akan mengangkat derajat bangsa Indonesia pada tahun bonus demografi 2030 mendatang. Literasi secara umum saja tidak cukup jika tidak disertai dengan pengetahuan serta kemampuan membaca, menulis dan memecahkan masalah sesuai dengan ajaran agama yang mereka anut. Salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan literasi adalah kemampuan berpikir kritis. Banyak pakar pendidikan yang mengemukakan bahwa berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah. Dengan demikian kegiatan literasi sangat penting untuk membangun keterampilan berpikir kritis.

Dengan membangun budaya literasi pada generasi muda, akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis sehingga tidak mudah terpengaruh oleh berita hoax, serta selalu memiliki prinsip croscheck jika menerima suatu informasi. Selain itu dengan budaya literasi generasi muda akan berlatih untuk menghadapi beberapa permasalahan yang mereka temukan setelah mereka membaca dan menyimak sebuah cerita atau informasi. Mereka akan lebih peka baik secara sosial maupun emosional.  Dengan permasalahan yang mereka temukan, secara otomatis akan menimbulkan berbagai analisis permasalahan sehingga membentuk karakter generasi muda yang kritis.

Budaya literasi dan berpikir kritis memang mempunyai hubungan yang erat, oleh sebab itu berpikir kritis berbasis Higher Order Thinking Skill selanjutnya disingkat HOTS sangat penting untuk segera dicanangkan sebagai program utama baik Kementerian Pendidikan maupun Kementerian Agama. HOTS (Higher Order Thinking Skill) mempunyai peranan yang sangat penting dalam membangun budaya literasi sesuai dengan apa yang telah diamanahkan pada pengembangan kurikulum 2013. Tiga hal penting yang menjadi fokus dalam implementasi kurikulum 2013 antara lain penguatan pendidikan karakter, penguatan literasi dan pembelajaran abad 21. Budaya literasi di dalam implementasinya di dalam pembelajaran, utamanya pendekatan saintifik tersirat dalam skenario pembelajaran, namun untuk literasi keislaman, keluarga dan lingkungan pendidikan merekalah yang berperan penting untuk membentuk pola pikir mereka hingga memiliki HOTS.

Kita membutuhkan generasi penerus yang memiliki HOTS demi kemajuan ummat dan bangsanya.  Ketika generasi muda sudah memiliki kemampuan berpikir kritis terlebih High Order Thinking Skill maka dia akan lebih mampu menerima perbedaan, lebih terbuka karena memiliki wawasan luas atas hasil dari budaya literasinya, serta tidak berada dalam kotak sempit nan kecil yang selalu melihat permasalahan dalam satu kacamata saja. High Order Thinking akan membawanya menjadi pribadi wasath (pertengahan) yang mampu menjembatani berbagai persoalan ummat yang kerap mendera negeri ini. High Order Thinking akan membawanya menjadi pribadi yang lebih bijaksana dan berlapang dada dalam menerima perbedaan, sehingga dia mampu berdiri di tengah untuk melihat segala persoalan. Tidak gampang menyalahkan satu sama lain, karena ia mampu menyelami sudut pandang yang digunakan oleh orang lain, meskipun ia tetap memiliki prinsip yang kokoh.

Bagaimana pun, visi jangka panjang ini bukan berarti tidak mungkin bisa dicapai melihat kondisi generasi muda saat ini. Kita patut optimis karena minat baca generasi muda Indonesia masih tinggi dan mampu berada di level atas beberapa negara maju yang lain. Namun optimistis saja tidak akan cukup jika tidak diiringi dengan kemauan dari diri sendiri untuk ikut serta menyebarkan virus literasi di kalangan generasi muda kita saat ini.

Oleh karena itu saya sebagai salah satu pengurus Gerakan One Week One Book (OWOB) Indonesia ingin mengajak generasi muda mulai meramaikan gerakan ini. Komunitas non komersil ini terus kita gaungkan, bahkan sudah memiliki anggota dari berbagai macam daerah dan rentang umur. Kegiatan rutin yang harus dilaporkan dalam bentuk review buku lewat instagram ini adalah membaca satu minggu satu buku. Disini kamu tidak akan bosan. Karena selain diskusi soal buku, OWOB juga memberikan banyak jaringan pertemanan untuk saling bertukar informasi perihal literasi. Sampai sekarang OWOB sudah memiliki pengikut lebih dari sepuluh ribu akun di instagram. Angka yang luar biasa dalam waktu kurang lebih satu tahun ini. OWOB terus menyebarkan semangat membacanya untuk semua orang. Mulai dari balita hingga manula, mulai dari Aceh sampai Papua (meminjam kata-kata milik Om Squ).

Buat kamu yang ingin waktunya produktif dan selalu mendapat suntikan semangat literasi silakan bergabung bersama kami di instagram https://www.instagram.com/gerakan_1week1book/

Atau kamu bisa mampir ke blog kami disini :

https://gerakan1week1book.wordpress.com/

Boleh baca ini juga untuk mengetahui bagaimana komunitas kami bergerak (PS. di dalamnya ada foto kegiatan kami saat workshop bareng IDNTimes lho!) :

https://www.idntimes.com/life/inspiration/stella/gerakan-one-week-one-book-ajak-semua-orang-punya-kesadaran-baca-buku/full

Mari kita mulai dari yang terkecil, mulai dari diri sendiri demi wajah Indonesia yang lebih baik pada tahun bonus demografi mendatang.

#SahabatKeluarga
#LiterasiKeluarga