Kali ini saya ingin berdiskusi tentang kondisi anak-anak di sebuah desa yang letaknya tidak jauh dari pusat kota Malang. Lokasi Desanya ada di Desa Donowarih. Sekitar 40 menit perjalanan dari pusat kota Malang. Selama satu bulan itu, adik saya sedang menjalani masa KKN nya disana.
Setelah tiba di lokasi Desa Donowarih, bagi adik saya yang menjadi tantangan adalah ketika harus memberikan edukasi kepada anak-anak Desa yang mayoritas rentang usianya 6-13 tahun.
Masa kanak-kanak adalah masa bereksplorasi yang biasa disebut dengan “golden age”. Dimana anak-anak mudah meniru apa yang dilihat kemudian dapat menjadi behavioral atau kebiasaan mereka dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
Namun kebanyakan anak-anak di desa, usia mental mereka tidak sesuai dengan usia fisiknya. Kebanyakan dari mereka dapat dikatakan “dewasa terlalu dini” ketika misalnya harus melihat laki-laki dan perempuan berinteraksi bagi mereka akan dianggap lebih, kosa kata yang mereka ucapkan kurang sesuai dengan usia mereka yang masi anak-anak. Hingga perilaku mereka yang sulit dikendalikan padahal sudah diberikan arahan oleh para relawan.
Pengabdian yang dilakukan oleh mahasiswa UMM selama satu bukan itu salah satunya dengan membantu anak-anak belajar ketika di sekolah maupun di lingkungan desa. Selain membantu dan mendampingi anak-anak belajar akademik, mereka juga membantu dalam mengajar baca Al-Qur’an di langgar tempat biasa mereka mengaji. Salah satu yang menjadi tugas pokok mereka seharusnya adalah penanaman pendidikan karakter bagi anak-anak.
Hal ini ditinjau selama kegiatan KKN, kurangnya sikap sopan santun, tutur kata yang baik sesuai dengan usia anak-anak yang sangat minim dan perlu adanya perhatian khusus terkait hal-hal tersebut. Selama kegiatan KKN yang dapat diimplementasikan terkait pendidikan karakter ini adalah menyampaikan bagaimana seharusnya adab pada guru, orang tua mereka dan orang yang lebih tua usianya dari mereka.
Namun ternyata tidak mudah mengubah kebiasaan mereka dalam waktu sekejap.
Ada banyak sekali jalan berlubang yang harus kita perbaiki. Jalan-jalan berlubang itu bukan secara fisik, tapi secara mental yang kelak akan memengaruhi perkembangan mereka menjadi orang dewasa. Baik lubang pada sisi pendidikan, ekonomi, moral bahkan spiritual.
Bahkan ada seorang anak perempuan yang kira-kira berumur 10 tahun dan duduk di kelas 2 SD. Ketika ditanya, “berapa umurnya Dek?” , dia menjawab “tidak tahu”. Betapa mirisnya anak kelas 2 SD tidak tahu berapa umurnya. Keterkejutan saya tidak terus berhenti disitu. Tapi ada suatu peristiwa yang membuat saya miris dan punya beban tanggung jawab moral yang sangat berat.
Sore itu, anak perempuan yang dipanggil Mila mendatangi rumah basecamp kami tempat menginap. Lalu mengalirlah percakapan antara Mila dan salah seorang teman saya.
“Mas, Mbak Annisa kemana?” tanyanya
“Tidur siang mungkin, sedang istirahat di kamar.” Jawab teman saya.
“Lho sampean ngga kelon-kelonan ta sama Mbak Annisa?”
Bayangkan anak usia sekitar sepuluh tahun kelas dua SD sudah mengenal kosa kata yang lazim didengar oleh usia delapan belas tahun keatas. Betapa terkejutnya saya ketika mendengar dirinya yang bahkan sudah mengenal apa itu hubungan suami istri. Beban tanggung jawab saya sebagai penyuluh agama seolah bertambah berat dengan melihat serta mendengar fenomena seperti diatas. Belum lagi Mila (bukan nama sebenarnya) tidak sungkan menceritakan fantasinya bermimpi berhubungan badan dengan salah satu rekan laki-laki yang sama-sama melaksanakan pengabdian di desa tersebut.
Bagaimanapun merubah karakter apalagi memberikan pendidikan mental serta spiritual tentu tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Merubah karakter tidak bisa hanya dilaksanakan dalam waktu satu bulan saja. Karena perubahan karakter adalah projek jangka panjang yang kita tanam sejak anak usia dini kemudian disemai saat usia mereka remaja.
Usia golden age yang disebutkan diatas harusnya adalah usia yang diisi dengan hal-hal baik untuk penanamam adab dan akhlaq. Tapi apa boleh buat, tuntutan ekonomi kebanyakan kepala keluarga di desa ini tidak punya waktu yang cukup untuk mengajari anak-anak mereka adab dan akhlaq. Bisa makan tiga kali dalam satu hari itu saja mereka sudah sangat bersyukur.
Belum lagi masalah narkoba yang kita tahu banyak beredar di pinggiran kota. Tempat mukim marjinal dan akses pendidikan yang belum cukup baik. Generasi muda yang menjadi sasaran pun sudah sangat jelas jika melihat kondisi mental dan spiritual mereka seperti ini. Kurang sentuhan dan perhatian. Orang tua sibuk di ladang. Anak SD dibiarkan mengendarai sepeda motor.
“Yang penting mereka mau sekolah, Mbak,” begitu dalihnya.
Maka tidak heran jika pernikahan usia dini kerap terjadi. Begitu juga dengan angka putus sekolah sebelum wajib belajarnya usai. Duh, kok rasanya beban menjadi orang tua zaman sekarang jadi makin berat ya Bu Ibu… Seerat apapun anak kita pegang dan hindarkan dari segala macam pengaruh buruk, hanya doa yang bisa menjaga mereka semua. Mudah-mudahan kita dimampukan untuk memberikan manfaat seluas-luasnya bagi masyarakat di sekitar kita.
Bermimpi untuk mengembalikan fitrah mereka bukanlah suatu hal yang mustahil juga. Melihat mereka lebih bisa diatur di sekolah dan juga berkurangnya kata-kata kasar dan yang tak semestinya diucapkan bisa dijadikan sebagai indikator keberhasilan selama satu bulan mahasiswa-mahasiswa KKN berusaha untuk membantu ‘memulihkan’ masa kecil yang semestinya. Meskipun belum dapat dikatakan berhasil secara keseluruhan. Namun sedikit sentuhan pendidikan dan bimbingan spiritual paling tidak sudah dikenalkan pada mereka. Orang tua tinggal melanjutkan apa yang sudah dimulai.
Pulang dengan meninggalkan proses edukasi yang belum rampung juga menjadikan beban tersendiri. Tak terbayangkan bagaimana nasib mereka nantinya. Bagaimana nasib bangsa Indonesia ini dua puluh tahun yang akan datang. Terbukalah mata saya sekali lagi bahwa masih banyak sekali anak-anak yang membutuhkan perhatian khusus dari kita. Ternyata PR kita masih banyak. Tugas kita tidak berhenti pada saat keluarnya nilai bagus saat lulus nanti. Lalu sibuk dengan urusan pribadi masing-masing. Tapi bagaimana kelak kita bisa bermanfaat untuk orang orang-orang di sekitar kita. Sekecil apapun itu.
Akhirnya, jawabannya terletak pada ilmu dan akhlak yang dimiliki orang tua. Sekuat apapun upaya pihak eksternal merubah, jika keluarganya tidak membekali diri dengan ilmu dan akhlak, bantuan apapun akan terlampau berat dan cenderung berakhir dengan sia-sia.
Bener mba qyy 😭😭