Dua malam sebelumnya Dini kebagian jaga malam untuk kesekian kalinya setelah beberapa waktu ia absen karena kondisi kesehatan ibunya yang sedang tidak baik. Seperti biasa, Dini yang selalu disiplin dengan pekerjaannya selalu melakukan operan jaga tepat waktu. Pukul sepuluh malam bersama rekan yang akan digantikannya. Setelah rekannya pulang, Dini mempelajari bagaimana kondisi pasien-pasiennya di hari itu. Sedang asyiknya membaca rekam medis, ia mendengar suara tangisan perempuan dari lorong jalur menuju lift. Dini menoleh ke arah sumber suara. Namun tak ada siapa-siapa disana. Ia memperhatikan temannya yang saat itu juga sedang sibuk menyiapkan infus baru untuk pasien di kamar sebelah nurse station.

“Mbak?” Dini memanggil temannya.

“Kenapa Din?”

“Dengar suara tadi ngga?”

“Suara apa?”

“Oh ngga ya, ngga apa-apa. Kayaknya aku yang salah denger.” Ucap Dini kemudian sambil melihat kembali lorong menuju pintu lift. Benar, pasti ia hanya salah dengar. Atau mungkin ada pasiennya yang merintih? Dini mencoba untuk berpikir positif. Ia pun mencoba mengalihkan perasaannya yang tidak enak dengan menyibukkan dirinya dengan pekerjaan.

Namun saat jam menunjukkan pukul dua belas malam, Dini kembali mendengar suara itu. Kali ini lebih keras daripada yang ia dengar sebelumnya. Dini ingin membangunkan temannya yang tertidur, tapi ia urungkan karena bisa jadi kali ini dia juga salah dengar. Beberapa menit berlalu tangisan seorang wanita itu bukannya hilang malah makin terdengar kencang di telinga Dini. Ia pun berjalan menyusuri lorong, rasa penasarannya mengalahkan ketakutan atau rasa apa pun itu. Pelan ia melangkah berusaha tidak menimbulkan bunyi sepatu fantofel yang ia kenakan. Ia melongok pada salah satu kamar yang masih menyala lampunya. Tidak, bukan dari sini. Dini semakin mendekati sumber suara, hingga ia terhenti di depan sebuah kamar inap yang tidak dihuni siapa pun.

Posisi kamar itu tepat di sebelah lift. Gelap dan tak mungkin ada pasien yang masuk kesana. Bangsal kelas satu memang selalu menyisakan kamar kosong. Berbeda dengan kelas dua dan tiga. Dini memberanikan diri untuk mendekatkan wajahnya pada kaca pintu ruangan di depannya. Ketika hidungnya menempel pada kaca, detak jantungnya langsung terhenti beberapa detik. Ia menahan nafasnya ketika melihat sosok wanita berbaju putih, mengenakan seragam yang sama seperti yang ia pakai, tersenyum ke arah Dini. Sekitar lima meter dari tempat Dini berdiri.

Dini segera berlari menuju nurse station. Ia mengambil headset dan memutar lagu kesukaannya keras-keras. Ia menutup pintu nurse station dan membaca doa-doa yang ia hafal sekenanya. Apa pun ia baca. Tidak hanya kali ini ia mendengar suara tangisan. Tapi melihat sosok wanita di ruangan pasien, baru kali ini Dini mengalaminya.

“Tidak, tidak. Aku pasti berhalusinasi.” Ucapnya berkali-kali meyakinkan dirinya sendiri. Ia ingin melupakan sosok wanita yang baru saja ia lihat. Senyum wanita sungguh membuatnya merinding dan ketakutan. Ingin rasanya Dini memejamkan mata, tapi ia tak kuasa. Dini masih berusaha menenangkan pikirannya. Mencoba mencerna apa yang terjadi dan berusaha menolak apa yang baru saja ia lihat. Tapi sosok asing itu masih saja menyisakan bayangan yang nyata di kepalanya. Sosok yang ditolak mentah-mentah oleh Dini, tapi sudah begitu lama tinggal di bangsal itu dan mencoba memberi tahu semuanya.

Malam itu menjadi malam yang sangat panjang bagi Dini.

Pagi serasa datang begitu lambat. Asih semalaman tak memejamkan mata sedetik pun. Ia menyibukkan dirinya dengan bermain game dalam gawainya. Sesekali mengangkat telepon dari UGD yang selalu sibuk meminta keterangan pasien atau memberi tahukan pasien akan rawat inap atau tidak. Beberapa dokter jaga memang sempat mengajaknya mengobrol, tapi bahkan Asih pun tak tahu apa yang sedang ia obrolkan. Pikirannya sama sekali tidak bisa fokus.

“Lesu banget Sih?” Sapa pengganti Asih pagi itu.

“Iya nih mbak, aku ngga tidur sama sekali.” Asih menjawabnya sambil membereskan tasnya agar bisa segera pulang.

“Tumben? Semalam banyak yang rawat inap?” Marti, pengganti Asih yang sekarang bertugas di pagi hari itu penasaran kenapa Asih tak tidur sama sekali.

“Ngga sih Mbak Mar, udah ah aku mau pulang, tidur. Nanti aku ceritakan.” Asih kemudian menyalami Marti dan segera berlalu dari meja resepsionis. Marti mafhum. Pasti Asih capek. Biasanya kerja resepsionis di malam hari sama sekali tidak berat. Bahkan bisa ditinggal tidur, kecuali ada dering telepon yang terus menerus berbunyi dari UGD. Atau kemungkinan yang lain banyak pasien rawat inap yang masuk di malam hingga dini hari.

Petugas resepsionis biasanya dua orang di pagi hingga sore hari. Sedangkan di malam hari diatur cukup satu orang saja. Karena memang kondisi Rumah Sakit Swasta tersebut tidak memerlukan banyak tenaga di malam hari. Tak heran jika resepsionis yang kebagian berjaga di malam hari selalu menggerutu. Selain tidak ada teman mengobrol, tentu bosan berjaga semalaman seorang diri.

Sementara itu saat oper jaga di Nurse Station, Dini dan Firda bersiap untuk pulang.

“Mbak Fir, semalam dengar suara orang nangis gitu ngga sih?” Dini tak tahan jika membawa rasa penasarannya semalam sendirian hingga pulang.

“Hah? Kapan?” Firda berhenti menutup resleting jaket yang dikenakannya. Kemudian duduk kembali dan menyuruh Dini menceritakan padanya detail peristiwa semalam.

“Ah kamu salah denger kali.” Kata Firda kemudian setelah mendengarkan curhatan Dini.

“Iya mungkin ya, pasien kita di kelas satu kan cuma lima kamar deket sini aja.” Dini ikut berpikir positif.

“Iya. Bisa jadi karena kamu juga capek. Kenapa semalam ngga ikut tidur aja? Hehehe..” Ujar Firda kemudian sambil menyambar tas ranselnya.

“Ih nanti kalau kita berdua ketiduran dan ngga nyadar kalo ada bel pasien gimana,” ujar Dini sambil bermuka masam.

Memang semalaman Dini juga tidak tidur. Setelah mendengar suara aneh seperti suara wanita yang sedang menangis itu, ia sibuk mencatat dan membaca buku-buku yang dibawanya dari rumah. Hanya satu kali saja suara itu mengganggu Dini. Setelahnya ia tak mendengar lagi suara tangisan itu hingga pagi tiba. Maka Dini yakin ia hanya salah dengar saja. Kerja di rumah sakit memang harus kuat mental, tidak hanya kuat fisik.

Beberapa kali ia juga pernah mendengar suara pintu diketuk ketika ia masih berjaga di bangsal kelas dua. Namun ia tak pernah menggubris suara itu, apalagi menghampiri sumber suara. Cukup peristiwa dua hari yang lalu menjadi pelajaran agar tidak menghampiri sumber suara aneh, apa pun itu. Lebih baik ia melakukan hal lain, nanti juga hilang sendiri. Begitu pikirnya. Benar saja, suara itu tak lagi ada hingga pagi tiba. Sehingga jika ada suara-suara aneh yang mengganggunya ia memilih memakai headset saja dan mendengarkan lagu kesukaannya sambil menuntaskan laporannya di atas meja. Ia tak mau berspekulasi dan melihat sosok yang tak ia inginkan seperti malam sebelumnya.

Berbeda dengan Asih yang tidak bisa menghalau kecemasan dan ketakutannya. Asih memang masih tergolong pegawai baru di Rumah Sakit itu. Ia juga tak pernah menerima gangguan-gangguan semacam itu sebelumnya. Maka hari itu, Asih yang berjaga untuk yang kedua kalinya di malam hari ingin bertemu dengan atasannya untuk mengadukan beberapa hal yang tengah dialaminya malam hari kemarin. Berharap ia bisa mendapat persetujuan untuk melakukan jadwal jaganya dengan tambahan satu orang lagi.

Tantangan Pekan 8 Episode 3

Episode 1 : Jaga Malam

Episode 2 : Jaga Malam (2)