Waktu menunjukkan pukul lima sore ketika Asih sampai di Rumah Sakit. Ia sengaja datang lebih awal untuk menemui HRD di lantai enam, meskipun waktu jaganya masih dimulai jam sepuluh malam nanti. Perasaannya tak tenang. Rasa penasarannya mengalahkan apa pun. Asih duduk diam di lobi Rumah Sakit sambil memperhatikan orang-orang yang sibuk berlalu lalang. Ketika ia melihat Pak Mukti, kepala HRD, berjalan menuju lobi, Asih segera menghadap padanya.

“Pak, mohon maaf ada yang ingin saya laporkan.” Ucap Asih spontan. Pak Mukti mengernyit. Lalu kemudian mempersilakan Asih untuk mengatakan apa laporannya itu. Asih menceritakan kejadian malam itu dari A hingga Z. Asih menceritakan bagaimana ia melihat seorang wanita masuk ke depo farmasi dengan pakaiannya yang serba putih seperti perawat. Padahal kondisi depo sangat gelap. Begitu Asih menyusulnya dan membuka kunci pintu depo farmasi yang ia miliki, tak ada siapa pun di sana. Asih sangat ketakutan karenanya. Ditambah lagi dengan kejadian komputer di ruang EDP yang menyala sendiri.

“Nanti saya lacak lagi ya Mbak Asih. Tenang saja, tidak ada apa-apa kok. Banyak berdoa dan jangan melamun. Rumah Sakit ini besar, kita juga tidak bisa menghindari hal-hal ghaib seperti yang Mbak Asih ceritakan. Tapi soal depo dan ruang EDP nanti saya akan lacak lagi lewat CCTV.” Ujar sang HRD bijak. Asih mengangguk dan menghela nafasnya berat.

“Nanti saya tanyakan Pak Fauzan, pemilik ruang EDP. Atau Mbak Asih mau nanya sendiri? Beliau masih ada di ruangannya.” Pak Mukti menambahkan, melihat ekspresi Asih yang tidak puas dengan jawabannya. Padahal Asih ingin mengatakan bahwa ia butuh teman di meja resepsionis saat malam tiba. Barangkali jaga malam untuk resepsionis bisa ditambah lagi satu orang. Namun kalimat itu tertahan di tenggorokannya, tidak juga keluar lewat lisannya.

“Baik Pak. Nanti akan saya tanyakan langsung pada Pak Fauzan. Barangkali beliau memang lupa mematikan layar.” Akhirnya Asih pun mengalah dan membiarkan atasannya itu berlalu pergi. Asih masih takut, ia tidak ingin malam ini menjadi malam yang panjang seperti malam sebelumnya.

“Sih, tumben kamu datang awal? Ada apa?” Tanya Bu Marti, rekannya juga di ruang resepsionis. Akhirnya Asih menceritakan segalanya pada Bu Marti, berharap Bu Marti bisa ikut menemaninya malam ini. Namun Asih tau diri, pasti Bu Marti juga sedang capek. Tak mungkin ia akan menemani Asih hingga pagi. Bu Marti juga sudah punya anak, mustahil meninggalkan anaknya hingga pagi.

“Maaf ya Sih,” bu Marti tak tega melihat Asih yang kurang tidur karena hal ini. Asih hanya tersenyum dan mengangguk. Memaklumi Bu Marti yang tidak bisa menemaninya.

“Atau begini saja, nanti kubantu bilang Pak Satpam untuk menemanimu satu orang di sini?” Bu Marti memberikan usulan bagus yang tak pernah terpikirkan oleh Asih.

“Memang boleh Bu?” Asih sangsi.

“Ya kan malam hari mereka di pos ada tiga. Kalau satu di sini kan nggak apa-apa. Udah nanti biar aku yang bilang Kirno, kepala satpam itu.” Ucap Bu Marti tulus. Asih lega, mudah-mudahan Pak Kirno mengizinkan ada satu satpam lagi di lobi ini.

Malam harinya, Asih akhirnya berjaga bersama Pak Kirno. Asih senang ada yang bisa menemaninya. Meskipun kadang Pak Kirno meninggalkannya beberapa waktu untuk patroli berkeliling Rumah Sakit bersama rekannya, tapi itu sudah cukup bagi Asih. Malam hari itu lengang seperti biasa. Pak Kirno sedang ke lantai enam dan tujuh untuk checking keamanan. Biasanya memang begitu, Pak Kirno harus memastikan bahwa tidak ada satu pun pintu yang tidak terkunci di malam hari di ruangan para atasan.

Asih sedang menerima telepon dari UGD saat seorang perawat berjalan mendekat ke arah meja resepsionis. Asih masih sibuk mencatat informasi pasien yang disampaikan oleh ruang UGD. Perawat itu berhenti di depan meja resepsionis dengan wajah yang tertunduk. Perawat itu terus menunduk, letak berdirinya memang beberapa meter dari meja resepsionis, namun Asih tetap tak bisa mengenalinya. Asih memperhatikan sambil tetap memasang telinganya untuk tetap menyimak apa yang dikatakan dokter UGD.

“Sebentar Dok,” Asih mencoba memotong pembicaraan lawan bicaranya di seberang telepon. Karena perawat yang ada di depannya masih saja tertunduk wajahnya. Asih seperti mengenalnya.

“Mbak? Kenapa? Sakit?” Asih mencoba menyapa perawat yang berdiri beberapa meter di depannya. Namun wanita berseragam perawat itu hanya diam saja, lalu menggeleng perlahan.

“Dok, nanti saya ke ruang UGD ya. Sebentar saya tutup telponnya.” Ujar Asih kemudian sambil menutup sambungan telepon. Asih merasa ada yang aneh pada perawat itu.

Asih pun keluar dari mejanya dan menghampiri perawat yang masih mematung di depan meja resepsionis. Saat Asih menghampirinya mendadak tercium bau yang sangat harum. Bulu kuduk Asih berdiri. Ia menghentikan langkahnya seketika. Kini jaraknya dengan perawat aneh di depannya hanya dua langkah kaki saja. Asih merasa aneh namun terlambat untuk menarik dirinya. Asih ingin berlari meminta pertolongan tapi kakinya tidak bisa digerakkan. Wajah perawat itu perlahan terangkat dan hendak memperhatikan Asih. Asih ingin berteriak namun tenggorokannya tercekat. Napasnya terhenti. Ia terpaku di depan meja resepsionis dengan ketakutan ketika wajah perawat itu terangkat dan tersenyum pada Asih. Wajahnya sangat buruk, bau harum yang tadi tercium Asih mendadak sangat busuk. Asih masih terpaku meskipun ia merasa kakinya sudah tak bisa lagi berpijak. Lalu segalanya pun menjadi gelap.

“Asih? Sih? Kamu kenapa? Toloong!” Dokter jaga yang mendapati Asih sedang pingsan di depan meja resepsionis segera berteriak meminta pertolongan. Karena ia tak mampu mengangkat Asih yang pingsan ini sendirian.

Tak lama, dua orang satpam datang dan membantu dokter jaga itu untuk membawa Asih ke ruang UGD untuk diperiksa. Asih masih pingsan malam itu.

Tantangan Pekan 8 Episode 4

Episode 1 : Jaga Malam

Episode 2 : Jaga Malam (2)

Episode 3 : Jaga Malam (3)