Akhirnya saya bisa menulis review Norwegian Wood by Haruki Murakami setelah sekian lama butuh waktu untuk menyelesaikannya. Sekitar satu atau dua bulan mungkin saya baru bisa menyelesaikan Norwegian Wood by Haruki Murakami. Padahal setelah mencapai setengah dari novel ini, tak butuh waktu banyak untuk bisa sampai di akhir cerita.
Seseorang yang merekomendasikan novel ini pada saya mengatakan, ‘beberapa orang memang akan bosan lalu berhenti membaca Norwegian Wood ini. Tapi ada juga yang bisa langsung tamat dalam waktu singkat.’ Saya mungkin kelompok yang pertama. Membaca awal-awal bab saya masih tidak begitu tertarik untuk lebih jauh menyelami dunia Watanabe dan Naoko di dalamnya. Oleh karena itu seringkali setelah membaca sepuluh hingga lima belas halaman saya ganti membaca buku yang lain. Oleh karena itu cukup lama juga bisa menyelesaikan Review Norwegian Wood ini.
Blurb Norwegian Wood by Haruki Murakami
‘Kebenaran seperti apapun, tidak mungkin bisa menyembuhkan kepedihan seseorang yang ditinggal mati kekasihnya. Kebenaran seperti apapun, ketulusan seperti apapun, kekuatan seperti appun, kelembutan seperti apapun, tidak bisa menyembuhkan kepedihan itu.
Kita hanya bisa merasakan kepedihan itu sedalam-dalamnya, dan dari situ kita mempelajari sesuatu dan sesuatu yang kita pelajari itu pun menjadi percuma di saat kita menghadapi kesedihan yang sekonyong-konyong muncul.’
Ketika ia mendengar Norwegian Wood karya Beatles, Toru Watanabe terkenang akan Naoko, gadis cinta pertamanya, yang kebetulan juga kekasih mendiang sahabat karibnya, Kizuki. Serta-merta ia merasa terlempar ke masa-masa kuliah di Tokyo, hampir dua puluh tahun silam, terhanyut dalam dunia pertemanan yang serba pelik, seks bebas, dan rasa hampa hingga ke masa seorang gadis badung, Midori, memasuki kehidupannya. Sehingga ia harus memilih antara masa depan dan masa silam.
Norwegian Wood adalah sastra jepang terkenal yang ditulis oleh Haruki Murakami. Sudah sejak lama, cetakan pertama yang masuk ke Indonesia di bulan Juli tahun 2005. Judul aslinya yaitu Noruwei no Mori. Diterbitkan pertama kali di Jepang dengan copyright yang dimiliki Haruki sejak 1987. Menandakan bahwa sastra Jepang ini sudah sejak lama sekali ditulis dan saya, di tahun 2021 ini baru selesai membacanya.
Setelah sekian lama banyak bergelut dan membaca buku nonfiksi, membaca Norwegian Wood by Haruki Murakami ini saya pikir bisa menjadi hiburan untuk diri sendiri. Namun, ternyata tidak. Hehe.. Kok bisa? Karena ternyata apa yang ada di dalam cerita Norwegian Wood, tidak hanya sekadar cerita tentang kisah cinta seorang pemuda berusia 17 tahun dan gadis cinta pertamanya. Namun lebih dari itu.
Review Norwegian Wood, Keindahan yang Memusingkan
Beberapa Norwegian wood sinopsis yang saya baca menyebutkan bahwa mereka kebanyakan ikut terbawa dengan dark side sebuah novel. Ketika banyak yang mengatakan demikian, tentu saya semakin penasaran dong, mana sih yang dimaksud oleh banyak orang dengan sisi gelap itu.
Namun hingga pertengahan saya tidak menemukan bagian tergelap itu.
Mari saya ceritakan bagaimana cerita ini bermula. Yaitu Toru Watanabe, saat itu berada di dalam pesawat menuju Jerman tanpa sengaja mendengar lagu Norwegian Wood dari Beatles. Norwegian Wood ini mengingatkannya pada kenangan masa-masa remajanya bersama gadis cinta pertamanya, Naoko. Naoko adalah wanita yang membuat Watanabe jatuh hati hingga ia tak bisa memikirkan wanita lain selainnya.
Sayangnya, Naoko adalah kekasih sahabatnya, Kizuki. Mereka bertiga bersahabat. Namun ketika Kizuki mati karena bunuh diri di dalam mobil, semua menjadi berubah. Naoko juga Watanabe akhirnya memilih jalan masing-masing. Watanabe ke Tokyo dan memutuskan untuk kuliah, sedangkan Naoko fokus untuk menyembuhkan mentalnya yang sangat terganggu, terutama sejak kepergian Kizuki.
Dalam pemulihan mentalnya itu, Naoko seringkali bertukar kabar melalui surat dengan Watanabe. Keduanya saling menceritakan kehidupan dan keseharian masing-masing. Hingga suatu ketika Naoko bisa kembali untuk kuliah. Mereka berdua kembali bertemu, meski dalam keadaan canggung. Watanabe seringkali juga mengingatkan pada dirinya sendiri, ‘ingat, dia itu kekasih sahabatmu.’ Meskipun faktanya Kizuki sudah tiada.
Namun kenyataannya Watanabe tak bisa membendung perasaannya, begitu juga dengan Naoko bahwa keduanya saling menyukai. Sudah sejak lama memang Watanabe mulai menyayangi Naoko. Bahkan ketika ia diajak tidur oleh perempuan lain dalam aksinya bersama Nagasawa-san, teman Watanabe yang binal dan entah sudah meniduri berapa perempuan, Watanabe tetap selalu memikirkan Naoko. Seolah tidak ada tempat untuk perempuan lain dalam hatinya.
Suatu ketika di hari ulang tahun Naoko, Watanabe memberanikan dirinya untuk memeluk Naoko, tidur dengannya. Namun siapa sangka setelah kejadian itu Naoko kembali mengalami mental breakdown. Sehari setelahnya, Naoko pergi menuju pusat rehabilitasi mental untuk menyembuhkan luka yang ternyata belum sepenuhnya sembuh karena kematian Kizuki. Jauh dari kota, bahkan Watanabe pun tak bisa sering-sering menemuinya. Tanpa mengatakan apapun, Naoko hanya mengirimkan surat bahwa dirinya baik-baik saja.
Tentu saja Watanabe mersa bersalah dan tidak tahu bagian mana yang menyakiti Naoko? Padahal Naoko juga yang menginginkan itu. Watanabe juga tidak akan melakukan apapun tanpa izin Naoko, begitu cintanya Watanabe pada Naoko.
Sampai di sini saya tidak menemukan sisi gelap mana yang dimiliki oleh novel ini. Namun setelah kejadian ini, Watanabe akhirnya melakukan banyak hal bersama temannya. Bisa dibilang kenakalan remaja seputar seks yang saat itu saya berusaha memaklumi bagaimana kehidupan bebas di Jepang tak jauh berbeda dengan di negara Barat. Jadi saya belum berpikir bahwa itu adalah bagian ‘gelap’ dari novel ini.
Setelah berlanjut ketika Watanabe mengunjungi Naoko di tempat rehabilitasinya yang jauh dari keramaian kota, saya baru menyadari, ‘Oh, di sinilah sisi gelapnya.’ Khususnya ketika Watanabe mendengar cerita dari Reiko-san, wanita yang 18 tahun lebih tua dari umur Watanabe dan Naoko. Reiko, satu-satunya teman Naoko (karena mereka sekamar) yang bisa menenangkan Naoko ketika ia mulai diserang kekalutan dan kegelapan dalam jiwanya.
Ternyata ada banyak sisi kelam dalam diri Reiko dan butuh waktu yang sangat lama untuk membuatnya menjadi wanita yang merasa dirinya normal dan utuh. Saya teringat kemudian dengan kata-kata Naoko,
Kenapa kamu mau bergaul dengan kami, orang yang miring? tanya Naoko saat itu.
Karena menurutku kalian tidak seperti itu. Yang miring itu orang di jalanan, kalian sama saja denganku kok.
Watanabe tidak merasa bahwa Reiko dan Naoko adalah orang yang sakit mentalnya, begitu pula dengan saya. Seolah-olah Watanabe mewakili apa yang saya pikirkan. Memangnya kenapa jika kita tidak baik-baik saja ketika ditinggal mati oleh kekasih? Bukankah itu satu hal yang wajar dan alami? Manusia merasakan kesedihan yang mendalam ketika kehilangan seseorang. Jadi mengapa harus risau dengan kondisi seperti itu?
Namun ternyata apa yang saya pikirkan berbeda. Naoko lebih rapuh dari kelihatannya. Reiko juga pernah melakukan usaha untuk bunuh diri. Lalu dari sinilah saya paham bagaimana mental mereka belum sepenuhnya pulih.
Apalagi ketika Reiko menceritakan kisah kelam masa lalunya pada Watanabe,
Kamu tahu, bagi penyakit yang kami idap, rasa percaya adalah yang terpenting. Masalah akan selesai apabila segalanya aku serahkan padanya, seandainya kondisiku sedikit memburuk, dengan kata lain jika sekrup-sekrupku mulai mengendur, pasti ia akan segera menyadarinya dan dengan penuh kesabaran dan perhatian ia akan menyembuhkannya, mengencangkan kembali sekrup-sekrup yang longgar, meluruskan gulungan benang yang kusut. Seandainya ada rasa percaya seperti itu, penyakit yang kami idap tak mungkin kambuh lagi. Selama ada rasa percaya seperti itu, maka tidak akan muncul ledakan-ledakan di kepalaku.
Saat itulah saya menyadari betapa kelamnya hal-hal yang dilalui Reiko. Begitu juga dengan Naoko yang ditinggal pergi Kizuki untuk selamanya. Kondisinya adalah, Naoko tidak terbiasa dengan dunia luar. Berbeda dengan Watanabe yang memutuskan untuk hidup dan belajar di Tokyo. Meskipun ia harus bertemu dengan orang-orang aneh dalam hidupnya. Namun seperti itulah harusnya manusia.
Ada banyak sekali kutipan-kutipan Norwegian Wood yang indah berkaitan dengan mental manusia. Sampai-sampai saya tidak bisa memilihnya saking banyaknya yang bisa kita jadikan pelajaran. Semakin kesini semakin menunjukkan betapa rapuhnya manusia.
Kita memang tidak akan tahu ada apa di luar sana, bagaimana jika terlalu berbahaya? Bagaimana jika dunia luar menyakitkan? Namun untuk itulah manusia ada. Saling berinteraksi, saling mengenal, saling menolong dan hal-hal manusiawi lainnya. Jika Reiko memutuskan untuk terus berada dalam pusat rehabilitasi karena tidak mau berjumpa dengan dunia luar, menurut saya justru ia tidak akan bisa menjadi manusia yang berkembang. Ia memang akan terus berada dalam keheningan dan ketenangan, dimana orang lain tidak bisa mengganggunya lagi.
Namun, ia tidak akan bisa belajar untuk sepenuhnya pulih menghadapi betapa berisiknya dunia ini. Begitu juga dengan Naoko.
Review Norwegian Wood di sini juga tidak semata membahas soal mental dan cinta remaja hingga bagaimana mereka melakukan kenakalannya. Tapi saya juga tertarik bagaimana Norwegian Wood memaknai arti sebuah nasionalisme dan praktik politik yang masuk hingga ke dalam asrama yang dihuni oleh Watanabe.
Ada penggambaran sosok Nakano dan asistennya yang menaikkan bendera secara patriotik dan khidmat seperti halnya sedang melakukan upacara bendera. Lagu kebangsaan diputar melalui tape recorder dan mereka akan berdiri tegak. Begitu pula sebaliknya ketika sore hari mereka dengan khidmat dan patriotik pula menurunkan bendera. Pandangan Watanabe pun menarik dalam hal ini,
Pada malam hari bendera tidak berkibar.
Mengapa begitu, aku tak tahu alasannya. Padahal di malam hari pun kegiatan negara ini tetap berlangsung, dan orang-orang yang bekerja di malam hari pun tidak sedikit. Pengawas rel kereta api, sopir taksi, hostes di bar, petugas malam pemadam kebakaran, atau satpam di gedung-gedung. Pekerja-pekerja malam seperti mereka tidak mendapat perhatian dan perlindungan dari negara, dan rasanya itu tidak adil.
Tapi, hal itu sebenarnya mungkin bukan masalah yang terlalu penting. Boleh jadi tak seorang pun meminta perhatian. Mungkin hanya aku seorang yang memikirkannya. Lagipula aku hanya kebetulan menyadarinya dan tidak bermaksud sedikit pun mengetahui lebih dalam.
Tampak di sini bahwa sosok Watanabe adalah sosok pria dengan rasa empati yang tinggi pada pekerja malam. Meskipun berkali-kali ia menyangkal bahwa dirinya adalah laki-laki yang pintar, namun saya menangkap sosok Watanabe adalah sosok pemikir sekaligus apatis. Nasionalisme dalam pandangan Watanabe bisa teman-teman baca dalam novel ini.
Kadang ia tak mau terlibat dengan apapun, dan seringkali merasa kesepian. Namun melihat bagaimana ia memperlakukan Ayah Midori saat sakit, dan memperhatikan bagaimana teman-temannya saat membutuhkan bantuan, ya, Watanabe adalah lelaki yang punya rasa kepedulian yang tinggi hingga dapat dikatakan ia tersakiti karena empatinya itu, termasuk ketika bersama Naoko.
Norwegian Wood by Haruki Murakami. Penerbit KPG Gramedia.
Cetakan keempatbelas, Oktober 2020, 426 halaman.
Open Ending yang Menyesakkan
Saat saya bertanya pada teman yang merekomendasikan novel ini bagaimana ending ceritanya, dia tidak mau bilang. Jadi terpaksa saya meneruskan novel ini hingga tamat. Fakta bahwa endingnya begitu menyesakkan dan saya pikir akhir yang tidak pasti, saya jadi lebih frustasi lagi. Sebenarnya gemas juga ketika menulis review Norwegian Wood dan tidak memberitahukan pada teman-teman bagaimana ending yang dimiliki oleh Watanabe. Tapi biar deh, membuat penasaran orang lain itu menyenangkan kok :p
Membacanya hingga akhir ternyata membuat saya lebih frustasi lagi dibanding sebelumnya, ketika mendapati fakta bahwa Watanabe lebih memilih Naoko (masa lalunya) dibanding Midori (yang saya anggap sebagai masa depan Watanabe). Wanita yang juga membuat Watanabe jatuh hati. Namun ia tak bisa karena lagi-lagi kakinya dibelenggu oleh kenangan bersama Naoko.
Bagaimana akhirnya? Bahagiakah Naoko dan Watanabe? Benarkah Watanabe memilih Naoko hingga akhir? Teman-teman baca sendiri deh, saya pun ingin mengajak frustasi semua orang dengan konsep yang menurut saya open ending dari oleh Haruki Murakami, hehe.. Tapi jangan cari norwegian wood pdf Indonesia version ya. Baca yang asli dong ya. Saya yakin, buku Norwegian Wood menjadi buku yang bisa teman-teman nikmati di akhir tahun 2021 ini.
Sekian review Norwegian Wood by Haruki Murakami dari saya. Mungkin banyak juga teman-teman yang sudah membaca novel ini. Bagian mana menurut teman-teman yang paling membekas? Boleh share di kolom komentar yuk.
Teman-teman juga bisa mendengarkan banyak buku best seller di aplikasi audiobook Storytel lho!
Mampir ke mari mengingatkan kembali sama si Norwegian Wood ini. Dulu saya baca di masa kuliah. Jadi kangen untuk baca ulang, rasanya.
Kalau nggak salah sudah ada versi filmnya juga. Tapi aku belum sempat cari dan nonton sih.
Aku belum baca ini mbak, tebal ya termasuknya
aku langganan gramedia digital, coba ntar nyari tapi yakin nggak bisa langsung tamat, ceritanya agak berat ya