Mulai dari urusan penampilan hingga kebutuhan sandang hingga papan labelisasi syariah akhir-akhir ini menjadi trend masyarakat Indonesia masa kini. Masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam. Saya pernah punya pengalaman terkait dengan Labelisasi Syariah ini. Dulunya, sebelum syariah menjadi booming di masyarakat dan menjadi lifestyle tersendiri, saya sudah berpenampilan tertutup dan syari menurut sudut pandang yang saya pahami. Awalnya banyak teman-teman dekat yang memandang sebelah mata. Apakah saya benar-benar hijrah? Kenapa saya bisa berubah drastis seperti itu? Dan berbagai macam pertanyaan lain perihal penampilan yang katanya sudah syari.
Tujuh tahun kemudian labelisasi syariah menjadi booming dan banyak komunitas yang bahkan mendeklarasikan dirinya sebagai komunitas khusus untuk orang-orang yang sudah berhijrah. Berbagai majelis taklim digelar, kumpulan sosialita berlabel syariah hingga untuk menceritakan keburukan teman-temannya yang lain pun dinamai dengan ghibah syariah. Bahkan ketika saya bertanya pada salah seorang teman yang ikut berubah jawabannya sungguh mengejutkan saya yang polos ini.
“Lho ini tuh trend tau. Kamu kan udah pakai dari lama masa ngga tau?” serunya.
Saya yang memang nyaman dengan pakaian yang saya kenakan menjadi tidak percaya diri karena ucapannya. Benarkah ini adalah trend? Benarkah pakaian syari sekarang menjadi lifestyle tersendiri bagi wanita di Indonesia? Apakah orang akan memandang saya sama seperti mereka yang menganggap dirinya eksklusif dan paling benar seperti yang akhir-akhir ini menjadi viral?
Akhirnya jika Anda menginginkan sesuatu yang halal di mata masyarakat meskipun itu buruk, tinggal ditambahi dengan label syariah saja, maka masyarakat akan menutup mata atas keburukan itu. Termasuk adanya bank syariah yang secara praktik tidak jauh berbeda dengan bank konvensional, paling tidak ini menurut pemahaman orang-orang.
Tidak salah sih, bank syariah memang berbeda dalam hal akadnya dibandingkan dengan bank konvensional. Akad inilah yang menjadikan transaksi jual beli menjadi halal atau haram, termasuk cicilan KPR. Ada banyak teman juga mengeluhkan praktik yang ternyata sama saja dengan bank konvensional ini. Mereka menjadi antipati dengan bank syariah yang sejak awal menawarkan transaksi yang lebih aman dan nyaman sesuai tuntunan agama. Namun saya pahami setelah dulu pernah belajar tentang ushul fiqh bahwa yang menjadikan jual beli itu dilarang atau dibolehkan terletak pada akadnya. Jadi meskipun praktik dan hasilnya memang sama saja dengan bank konvensional atau bahkan lebih mahal, namun dari segi akad lebih aman. Jadi bagi teman-teman yang belum paham mengenai bank syariah yang sudah menjamur, lebih baik cari tahu dulu dimana letak perbedaannya dengan bank konvensional. Jangan malu meminta informasi sebanyak-banyaknya pada bank yang akan dituju, lalu lihat akadnya.
Apa saja sih Faktor-faktor munculnya labelisasi Syariah itu?
Berikut jawaban-jawaban yang sempat saya rangkum saat berada dalam forum dialog dengan metode Reflectif Structure Dialogue bersama dengan teman-teman di Asian Moslem Action Network (AMAN) yang berasal dari berbagai aktivis dan cendekiawan :
- Banyak orang Indonesia gampang ditakuti dengan hal-hal yang berbau agama. Contohnya, riba haram, dosanya melebihi menggauli ibu kita sendiri. Naudzubillah. Lalu ketakutan ini ditangkap oleh pelaku bisnis sebagai kesempatan untuk membuka lahan baru. Terlepas dari apa motif di baliknya, namun hal ini secara naluri sudah pasti akan muncul ketika kebutuhan seseorang akan sebuah produk atau jasa meningkat.
- Kekuatan sosial media yang mengendalikan banyak hal dalam kehidupan kita. Apalagi generasi muda yang mencari segala hal yang ingin diketahuinya lewat internet. Lalu yang muncul pada mesin pencarian nomor satu itu adalah pengertian yang ekstrem, misalnya. Jika tidak memakai pakaian sesuai dengan apa yang ditulis oleh ustadz ini atau itu maka dia bukan termasuk dalam kelompok yang benar. Kelompok syubhat mereka bilang?
- Sebuah politik domestik pasca orde baru. Kita tahu di masa orde baru islam dan Negara menjadi kontrol penuh pemerintahan. Tidak banyak orang yang boleh memakai jilbab atau hijab apalagi di lingkungan instansi Pemerintah. Lalu sekarang mulai ada pergeseran, jilbab bebas dipakai lalu menjadi prospek secara ekonomi. Setelah menjadi suatu prospek secara ekonomi maka dia akan punya cukup ruang menjadi sebuah trend hingga pada tingkat labelisasi syariah.
- Labelisasi syariah menjadi sebuah keberhasilan sekaligus kegagalan para dai atau daiyah. Keberhasilannya karena mereka berhasil menyeru orang-orang kembali dan lebih bersemangat lagi dalam menjalankan ajaran Islam. Ini hal yang menyenangkan tentunya. Namun kegagalannya karena para dai tak punya daya analisis untuk mencegah pemangku kepentingan mengambil keuntungan dan dimanfaatkan untuk memecah belah umat Islam lewat komersialisasi labelisasi syariah ini.
- Ada juga yang merasa bahwa doktrinisasi syariah ini kemudian menjadikan orang-orang mabok agama. Hingga keadaan memaksa lalu menjamurnya ustadz-ustadz baru yang tidak punya kompetensi dan terbentuklah banyak akun-akun yang mengatasnamakan agama atau hijrah atau labelisasi syariah itu sendiri hingga sampai pada sebuah politik identitas.
Lalu apa yang harus kita lakukan?
(Bersambung)
Part selanjutnya : Syariah yang Terkomersilkan (End)
Yang harus kita lakukan adalah terus belajar biar makin cerdas menyikapi menjamurnya label syariah
Mbak Jihan selalu bagus ya tulisannya. Salutt….
Terimakasih Mba. Seneng sekali selalu dikunjungi sama mba Maria. terharu jadinya,hhi
Bagus kakakku keren sekali tulisannya
#semangat
Saya rasa, kita perlu jeli melihat olah ruang di dalam penataan label-label syariah yang ada di Indonesia. Apakah memang betul2 mewadahi niat hijrah atau sekadar menambah pundi uang tanpa peduli substansi?
…tapi mungkin aku berpikir hal yang berbeda dengan Jihan. Boleh jadi orang-orang yang ikut trend itu sebenarnya udah mulai tertarik dengan beberapa manfaat hijab atau segala atribut yang berbau hijrah, ini justru adalah peluang yang bagus untuk menanamkan nilai makruf. Maka, sejujurnya saya kurang sepakat kalau orang yang ikut trend dalam suatu hal yang baik serta merta kita anggap mereka adalah orang yang merasa paling benar.
Toh, kita sebagai manusia yang berawal dari seorang bayi lalu jadi balita pun belajar menyerap hal-hal sekitar dengan ‘meniru’ terlebih dahulu, sebelum memahami substansinya. Tulisan Jihan bagus, memang ada pro dan kontranya. Titik yang aku sepakat adalah tentang adanya para dai yang kurang kompeten. Masalahnya, hampir setiap dai pasti atau minimal cenderung menekankan “bergurulah pada ustadz yang benar”.
Maka, PR yang paling penting dalan melihat labelisasi syariah ini, adalah tetap mengambil sisi baik dari komersialisasi tapi meminimalisir potensi penyalahgunaan label syariah untuk kepentingan yang keliru. Namun, dalamnya hati manusia, siapa yang tahu, toh Allah Maha Mutlak berperan membolak-balikkan hati manusia. Saya sih memilih untuk tetap berpikir optimis bahwa bisnis syariah, sekalipun yang menjalankannya adalah seorang kapitalis yang mungkin tidak peduli dengan umat, membuka peluang bagi mereka untuk merasakan dan meresapi keindahan tata cara hidup yang diajaroan dalam agama. Terkait dengan para ustad yang tak kompeten, pr paling utamanya adalah bagaimana supaya kritis memilah dai yang memang kompeten, adalah dengan berulang kali kembali mendaras kitab suci beserta tafsirmya dilengkapi buku adab dan akhlak yang disusun oleh orang-orang ahli yang sanadnya jelas, supaya punya bekal minimal yang cukup dalam mengenali guru yang tepat, atau paling tidak cara belajar berpikir yang sesuai terhadap pemahaman agama yang berkembang.
Demikian yang bisa diuraikan,wallahu alam bi shawab.
Betul Bri. Tidak serta merta, karena memang selalu ada Mutiara diantara Lumpur. Begitu juga dengan labelisasi Syariah ini. Seperti yg udah kutuliskan, sebenernya ini bagus bangett. Tapi, kecenderungan saat ini mereka yang baru belajar itu banyak sekali jadi orang yang suka sekali mentahdzir orang lain, mengeluarkan orang lain dari keislamannya. hanya karena fasilitas hijrah yang dipakai berbeda. Ini masih banyak banget yang begini. Tunggu lanjutan tulisannya yaa. Btw terimakasih juga reply nya.
[…] Sebelumnya : Syariah yang Terkomersilkan (1) […]
Okey mbak..kutunggu tulisannya
meniatkan semua karena Allah, dan kembali ke sunnah..eh iya ga sih hihihi
[…] sekali beredar baik di daring maupun luring. Termasuk tulisan saya sebelumnya tentang apa itu Hijrah dan hubungannya dengan Perekonomian. Buku perdana Om Edi Ah Iyubenu di tahun 2020 ini seolah […]
Nggak sabar dengan kelanjutannya..