Masyarakat Indonesia memang memiliki budaya konsumtif yang amat besar. Tak heran jika Indonesia dijadikan target banyak perusahaan asing untuk menanamkan modalnya di negeri ini. Selain menjanjikan karena tingkat konsumerisme orang Indonesia cukup tinggi, juga karena jumlah penduduknya yang lebih dari 250 juta jiwa. Sebuah riset bertemakan “Economy SEA: Unlocking the $200 billion opportunity in Southeast Asia” yang dilakukan oleh Google dan Temasek menyatakan bahwa  kontribusi Indonesia di pasar Asean mencapai US$ 81 miliar (40,5%) dengan sumbangan pasar ecommerce sebesar US$ 46 miliar. (Arifinkasugaromio, Suburnya Budaya Konsumerisme dalam Kompasiana).

 

Indonesia merupakan pasar yang sangat menggiurkan bagi pelaku ekonomi karena memiliki konsumen terbesar di ASEAN dan ke-4 di dunia dengan penduduk lebih dari 250 juta jiwa. Tak heran mengapa ecommerce raksasa sangat gencar melakukan promosi guna menarik pasar Indonesia, membidik kaum milenial yang melek teknologi dan informasi untuk menjadi lebih konsumtif. Event-event tertentu dijadikan kemasan untuk menarik perhatian para konsumen. Bulan Ramadan, misalnya.

 

Selain itu Era 4.0 saat ini juga menyuguhkan limpahan informasi di seluruh lapisan masyarakat. Hal ini menyebabkan adanya banjir informasi yang semakin susah untuk difiltrasi kebenarannya. Mulai dari menengah ke bawah hingga menengah ke atas. Apalagi generasi millenial yang lahir di era 90an mulai membanjiri lini masa media-media elektronik dan non-elektronik. Mereka punya kekuatan besar untuk mengubah pola pikir seseorang hanya dari gawai yang mereka gunakan. Mereka juga banyak mengendalikan pergerakan industri kreatif, baik itu luring maupun daring.

 

Karena tingkat konsumerisme yang meningkat inilah yang menyebabkan gaya hidup mereka secara langsung maupun tidak langsung terbentuk oleh media sosial yang mereka mainkan. Banyak public figure mengusung masing-masing trend mereka. Mulai dari cara berpakaian hingga gaya sepatu yang dikenakan. Termasuk persoalan hijrah saat ini yang sedang naik daun. Trend berhijrah di masyarakat banyak disebut sebagai efek yang ditimbulkan oleh banyak public figure yang ikut mengkampanyekan hal ini.

 

Hijrah yang artinya berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang lebih baik kini memiliki perluasan arti. Perubahan dari pribadi yang belum baik menjadi pribadi yang lebih baik. Perubahan penampilan dari yang tidak “syar’i” menjadi lebih “syar’i”. Embel-embel syar’i akhirnya menjadi laris di pasaran. Mulai dari jilbab, baju, kosmetik, café hingga destinasi wisata dengan embel-embel syar’i. Bukan berarti syar’i itu tidak baik, saya justru senang karenanya. Ini menandakan kehidupan islami menjadi banyak dilihat oleh masyarakat. Meskipun label itulah yang menyebabkan kita berada dalam posisi seperti buah simalakama.

 

Para pelaku bisnis gencar memanfaatkan gaya hidup syar’i menjadi sebuah sasaran pasar yang tepat untuk bisnis mereka. Semua produk yang berlabel syar’i menjadi lebih mahal dan dinilai prestisius. Banyak orang kemudian berbondong-bondong untuk mengkonsumsi produksi mereka. Celakanya, pemanfaatan inilah yang kemudian membuat orang-orang yang ‘baru hijrah’ tersebut memposisikan diri mereka sendiri dalam sebuah kelompok eksklusif. Pola pikir mereka menjadi sempit karena produk berlabel. Siapa yang tidak memakai baju yang seperti mereka kenakan, maka bukan bagian dari kelompoknya. Siapa yang tidak berjilbab seperti aturan syariat buatan pabrik maka mereka adalah gembala tersesat yang wajib didakwahi dan dimurnikan jiwanya. Mengerikan bukan?

 

Bertambah lagi kengerian ini karena mereka yang melabeli diri mereka dengan kelompok syar’i tidak belajar agama mulai dari dasar atau pokoknya. Mereka tidak berguru pada guru yang sanadnya jelas. Mereka mendapatkan ilmu agama secara instan dari sosial media atau hasil opini seseorang yang dianggap sebagai ustadz yang mumpuni. Mereka baru bisa mengeja alif ba ta tsa namun sudah mengklaim bahwa kelompoknya adalah yang paling benar, sedangkan yang lain adalah kelompok sesat yang harus diluruskan. Kehidupan sosial dan beragam di masyarakat menjadi semakin rancu. Hijrah yang dikomersilkan tidak lagi menjadi sarana dakwah dan ibadah semata, namun sudah merambah pada kepentingan ekonomi beberapa pihak.

 

Semoga mereka yang baru berhijrah ini sadar bahwa tahapan hijrah adalah proses panjang hingga kematian menjemput kita di dunia ini. Nilai hijrah di mata Allah bukan semata pada penampilan, namun juga pada letak keimanan dan keikhlasan kita dalam menjalani kebaikan hingga sampai pada akhir hidup yang baik. Aamiin.