Yuval Noah Hariri menuliskan bahwa salah satu di antara segelintir hukum besi sejarah adalah bahwa kemewahan cenderung menjadi kebutuhan dan melahirkan kewajiban-kewajiban baru. Begitu orang terbiasa terhadap satu kemewahan tertentu, mereka akan menerimanya sebagai suatu kewajaran. Lalu mereka mulai mengandalkannya. Akhirnya mereka mencapai satu titik dimana mereka tak bisa hidup tanpa kemewahan itu.
Maka manusia menciptakan banyak revolusi dalam perjalanan hidupnya di bumi ini.
Kisah tentang perangkap kemewahan membawa pelajaran penting. Pencarian kehidupan yang lebih mudah oleh manusia melepaskan kekuatan-kekuatan perubahan yang merombak dunia dengan cara-cara yang tak dibayangkan ataupun diharapkan siapa pun sebelumnya. Tidak ada yang merencanakan Revolusi Pertanian misalnya, atau mengusahakan timbulnya ketergantungan manusia terhadap budidaya padi-padian. Serangkaian keputusan sepele memiliki efek kumulatif yang memaksa para manusia pemburu-pengumpul purba untuk menghabiskan hari-hari mereka memikul berember-ember air di bawah matahari yang terik menyengat.
Diantara korban-korban Revolusi manusia itu adalah hewan-hewan hasil domestikasi seperti domba, ayam, keledai, dan lain-lain. Manusia belajar bahwa mereka lebih beruntung kalau memburu domba-domba jantan dan domba tua atau yang sakit saja. Mereka tidak mengusik domba betina subur dan anak domba setempat.
Mereka mulai menangkap dan “mengadopsi” seekor domba, menggemukkannya pada masa makmur dan menjagalnya pada musim susah makanan. Di suatu tahap mereka mulai memelihara lebih banyak domba seperti itu. Sebagian di antaranya mencapai pubertas dan mulai berbiak. Hingga kemudian domba-domba yang paling agresif dan tidak penurut dijagal paling dulu. Domba-domba paling menurut dan menggiurkan dibiarkan hidup lebih lama dan berbiak. Hasilnya adalah kumpulan domba yang jinak dan penurut.
Hewan-hewan hasil domestikasi semacam itu (domba, ayam, keledai, dan lain-lain) memasok makanan (daging, susu, telur), bahan mentah (kulit, wol), dan tenaga berupa otot-ototnya yang kekar. Mengangkut beban, membajak tanah, menjalankan penggilingan dan tugas-tugas lain sebelumnya dilakukan oleh otot manusia semakin banyak dilaksanakan oleh hewan.
Kebanyakan mereka yang menganut sudut pandang evolusioner yang sempit mengukur keberhasilan revolusi berdasarkan jumlah salinan DNA. Jumlah salinan DNA yang dinilai sebagai segala sesuatu yang berdasarkan pada kriteria kelestarian dan reproduksi, tanpa mempertimbangkan penderitaan dan kebahagiaan individu. Ayam dan sapi hasil domestikasi mungkin merupakan kisah keberhasilan evolusi, namun mereka juga tergolong makhluk-makhluk paling sengsara yang pernah ada. Domestikasi hewan dilandasi serangkaian praktik brutal yang justru semakin kejam seiring berlalunya abad demi abad.
Rentang hidup alami ayam liar sekitar tujuh sampai dua belas tahun. Sementara sapi sekitar dua puluh sampai dua puluh lima tahun. Di alam, sebagian besar ayam dan sapi mati lama sebelum rentang hidup itu tercapai, namun mereka tetap memiliki kesempatan cukup bagus untuk hidup sampai usia cukup tua. Sementara itu, sebagian sangat besar ayam dan sapi ternak dijagal pada usia antara beberapa minggu hingga beberapa bulan. Karena itu merupakan usia penjagalan optimal dari sudut pandang ekonomi. Untuk apa memberi makan ayam selama tiga tahun bila berat maksimumnya sudah tercapai setelah tiga bulan?)
Begitu juga dengan industri pemerahan susu yang punya cara-cara tersendiri untuk memaksa hewan melakukan apa yang industri kehendaki. Sapi, kambing dan domba menghasilkan susu hanya setelah melahirkan anak, dan hanya selama anak mereka terus menyusu. Guna melanjutkan pasokan susu hewan, peternak punya anak sapi, kambing dan domba untuk menyusu, namun anak hewan harus dicegah agar tidak memonopoli susu.
Seperti yang dilansir oleh Avi Pinkas dalam Farmyard Animals in Israel-Research, Humanism, and Activity tahun 2009 bab Milk Production and Cow bahwa salah satu metode yang umum dilakukan sepanjang sejarah adalah menjagal anak-anak ternak tak lama setelah lahir, memerah induknya habis-habisan, kemudian membuat si induk hamil lagi. Di banyak peternakan susu modern, sapi perah biasanya hidup selama sekitar lima tahun sebelum dijagal. Selama lima tahun si sapi nyaris selalu hamil dan dibuahi dalam enam puluh sampai 120 hari setelah melahirkan guna menjaga produksi susu maksimal. Anak-anak dipisahkan dari induknya tak lama setelah lahir. Yang betina dibesarkan untuk menjadi generasi sapi perah berikutnya, sementara yang jantan diserahkan untuk diurus indutsri daging.
Bentuk kekejaman industri hasil revolusi ini masih ada lagi, dan tentu lebih kejam dan tak terperi lagi bagaimana kemudian mereka menghabisi kehidupan sapi dan hewan-hewan hasil domistikasi tersebut.
(Bersambung)
Part selanjutnya : Kekejaman Manusia dalam Revolusi (End)
Mantap kakakku, sangat bagus, keren
#semangat
Terimakasih pak Eko. #semangat
Aq kok kasian sama si sapi yaaa…hwaaaa dia dipaksa beranak berkali2 diperah susunya..apa2an inih..ga berperikehewanan sama sekali, apa aq hrs stop minum susu saja???
Sama nyiiitt 🙁 aku emang ga suka daging. Tapi kalo dibikin pentol sih lumayan *lho?
[…] Part sebelumnya : Kekejaman Manusia dalam Revolusi (1) […]
Kasihan ya sapi dieksploitasi.
Iyaa mba. Aku pun berpikir demikian 🙁
[…] Baca juga artikel serupa di sini Kekejaman Manusia dalam Revolusi (1) […]