Sapiens pertama kali dipublikasikan di Israel dengan judul Kitzur Toldot Ha’enoshout di tahun 2011. Kemudian versi bahasa Inggrisnya diterbitkan pertama kali dengan judul Sapiens dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia pada tahun 2014. Dimana hak terjemahan bahasa Indonesia tersebut dipegang oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) mulai dari cetakan pertama pada September 2017 hingga cetakan kedelapan pada Februari 2019 dan baru saya selesaikan hari ini.

Damaring Tyas Wulandari Palar sebagai penerjemah telah sukses menerjemahkan buku bergenre sejarah ini sehingga bahasanya mudah dipahami pembaca. Buktinya buku ini naik cetak hingga cetakan kedelapan, dan banyak orang yang masih akan mencari buku ini. Yuval Noah Hariri, sang author meraih gelar Ph.D dari Oxford University dan sekarang mengajar di Universitas Ibrani Yerusalem dengan spesialisasi sejarah dunia. Risetnya berfokus ke pertanyaan-pertanyaan  besar dalam sejarah, seperti : Apa hubungan antara sejarah dan biologi? Adakah keadilan dalam sejarah? Apakah orang makin bahagia seiring berjalannya sejarah?

Buku ini menuturkan secara jelas dan terperinci tentang bagaimana selama dua setengah juta tahun, berbagai spesies manusia hidup dan punah di Bumi, sampai akhirnya tersisa satu, Homo Sapiens, Manusia Bijaksana, sejak seratusan ribu tahun lalu. Namun spesies ini bisa menyebar ke seluruh dunia dan beranak pinak hingga berjumlah tujuh miliar, dan kini menjadi kekuatan alam yang dapat mengubah kondisi planet.

Buku ini membahas sisi yang tak banyak diungkit buku sejarah atau evolusi manusia lain : bagaimana manusia berangkat dari sekadar satu spesies hewan (menurut Hariri) menjadi makhluk berperadaban, melalui tiga revolusi : Kognitif, Pertanian, dan Sains.

Perbedaan paling penting antara buku ini dan apa yang kebanyakan orang Indonesia yakini adalah pada pola pikir atau prinsip bagaimana makhluk hidup itu terbentuk. Jika Indonesia mengakui adanya enam agama yang sah di mata negara, dimana semuanya mengakui bahwa makhluk hidup adalah ciptaan Tuhan, bukan sekadar hasil dari evolusi. Ahli biologi di seluruh dunia mungkin tengah berseteru dengan gerakan desain cerdas, yang menentang evolusi Darwinan di sekolah-sekolah dan menyatakan bahwa kompleksitas biologis membuktikan bahwa pastilah ada pencipta yang merancang semua rincian biologis terlebih dahulu.

Ahli-ahli biologi mungkin benar mengenai masa lalu namun perlu diketahui bahwa para pendukung desain cerdas (orang yang percaya pada Tuhan, begitulah mereka disebut dalam buku ini) benar tentang masa depan. Bahkan ketika keajaiban-keajaiban yang luar biasa dapat dilakukan dengan rekayasa genetika, dan inilah alasan mengapa rekayasa genetika memunculkan segudang permasalahan etis, politis dan idiologis. Dan hal ini terjadi bukan hanya di antara monoteis taat seperti masyarakat Indonesia pada umumnya yang menolak mengambil alih peran Tuhan. Bahkan ateis teguh tak kalah terguncang oleh gagasan para ilmuwan yang berupaya mengambil alih kekuasaan alam.

Slaves cutting the sugar cane on the Island of Antigua, 1823

unsplash.com/@britishlibrary

Aktivis hak hewan menyuarakan penderitaan yang ditimbulkan pada hewan-hewan laboratorium dalam percobaan rekayasa genetika, dan kepada hewan-hewan ternak yang direkayasa tanpa memedulikan kebutuhan dan hasrat mereka sama sekali. Sama persis seperti yang dilakukan oleh aktivis pelindung hewan yang ada di Indonesia. Para aktivis hak asasi manusia takut rekayasa genetika bisa digunakan untuk menciptakan adimanusia yang akan memperbudak kita semua.

Terlalu banyak kesempatan yang akan terbuka secara sedemikian cepat dan kemampuan kita memodifikasi gen jauh lebih cepat berkembang daripada kesanggupan kita memanfaatkan keahlian itu secara bijak dan berwawasan jangka panjang. Namun Indonesia yang bangga dengan segala keramahtamahan bangsanya. Bangga dengan berbagai ritual dan kebudayaan yang masih lestari hingga kini. Juga bangga dengan tujuan utama kita sebagai manusia, sehingga kita tahu pada siapa dan apa kita harus bergantung. Berbeda dengan ilmuwan Barat yang tidak sedikit menyangsikan adanya kekuatan tak terkalahkan dari Sang Pencipta.

Para ilmuwan itu, terlepas dari hal-hal menakjubkan yang dilakukan, mereka tetap tidak yakin mengenai tujuan yang ingin mereka capai dan tampaknya tetap tidak akan merasa puas sampai kapanpun. Mereka memang telah banyak membuat kemajuan dari perahu menuju kapal layar lalu uap lalu kapal ulang-alik antariksa, namun tak ada yang tahu kemana sebenarnya tujuan mereka?

Mereka memang semakin digdaya dari sebelumnya, namun hanya punya sedikit gagasan mengenai apa yang harus dilakukan dengan kekuasaan itu. Lebih parah lagi mereka menimbulkan kerusakan bagi rekan-rekan sesama makhluk hidup yaitu hewan dan ekosistem sekeliling, demi mencari sekadar kenyamanan dan penghiburan bagi diri sendiri, namun tak pernah menemukan kepuasan. Apakah ada yang lebih berbahaya daripada seorang manusia yang menuhankan dirinya sendiri lalu tidak pernah merasa puas, tidak bertanggung jawab dan tidak mengetahui apa yang diinginkan?

unsplash.com/@herleeyein

Untuk itulah agama di Indonesia, bumi Nusantara, tanah yang subur karena diberkati ini ada. Yuval sebagai seorang Yahudi mungkin benar tentang beberapa hal tentang kerusakan yang ditimbulkan oleh berbagai revolusi ciptaan manusia itu sendiri. Dari buku ini saya belajar bagaimana ilmuwan dan ahli sejarah memandang Sapiens. Seperti Muqaddimah karya Ibnu Khaldun, buku sejarah yang bersudut pandang intelektual 1300-an. Namun pada banyak hal lain tentang prinsip maupun idiologi, saya tak menyetujuinya.

Sapiens, Yuval Noah Harari.

Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, cetakan kedelapan Februari 2019, 526 halaman.