Seperti tulisan Yuval Noah Hariri baru-baru ini yang beredar dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia tentang kondisi dunia setelah badai Corona ini datang. Dunia yang kita huni tak akan lagi sama setelahnya. Berbagai pertimbangan yang berbuah pada kebijakan Pemerintahan kita akan menggambarkan bagaimana mereka akan berbuat dan mengatasi masalah di masa mendatang.

Tulisan ini bukan suatu hal baru yang kita dengar mungkin, tapi bisa jadi akan membuat kita berpikir ulang tentang akan bagaimana sikap kita setelahnya. Tulisan ini adalah hasil dari muhasabah setelah membaca tulisan Yuval Noah Harari yang sangat masuk akal itu. Tentunya akan banyak lagi tulisan serupa ini.

Tulisannya cukup panjang namun ada baiknya kita bisa bertahan untuk membaca tulisan tersebut sampai akhir. Tanpa jeda. Usahakan dengan pikiran dan hati yang jernih. Jauhkan dari berbagai perasaan yang menggambarkan keputusasaan, apalagi kepentingan yang kelak bisa merampas hak banyak orang.

Menghadapi situasi darurat seperti pandemi Corona ini perlu hati yang luas dan solidaritas tinggi, bukan hanya antar warga negara tapi juga seluruh warga yang menghuni bumi ini. Lagi-lagi seperti yang dikatakan oleh Yuval Noah Harari. Bahwa untuk mengatur suatu populasi yang berpengetahuan luas itu lebih mudah dibandingkan mengatur sekelompok populasi yang tidak segera sadar diri dan berpikiran sempit.

Seorang penulis Umar Affiq yang berada satu forum dengan saya mengatakan,

“Mereka yang mengaku kaum beriman cukup disayangkan tidak memainkan karunia terbesar dari Tuhan, yaitu akal pikiran mereka. Kita hidup di zaman dimana iman harus diimbangi dengan pikiran. Karena kita tidak sedang hidup di zaman mukjizat yang bertebaran.”

Ya, seperti zaman Nabi. Mungkin saja mukjizat itu ada bagi orang-orang yang beriman dan yang mengaku pengikut Rasulullah. Namun di situasi genting seperti ini saya sungguh tidak bisa berkata apa-apa lagi pada orang yang sangat percaya diri mengatakan bahwa :

“Ini adalah tantangan bagi kita semua untuk mempertahankan aqidah. Takut sama virus atau yang menciptakan virus?”

Sungguh sangat disayangkan jika kaum intelek yang mengaku menjadi seorang pegawai salah satu Kementrian di Indonesia masih berpikir seperti seorang yang tak punya ilmu pengetahuan. Apa yang saya baca dari ketikan jari-jarinya di layar gawai sama persis dengan apa yang saya dengar dari seorang pedagang krupuk di pasar pagi ketika diberitahu akan daruratnya keadaan dunia saat ini. Ketika secara tidak sengaja saya mendengarnya mengumpat karena banyak orang “bodoh” yang tidak takut Tuhan, katanya.

Mohon maaf saya harus membuat perbandingan ini. Tapi benar adanya inilah realita yang sedang dihadapi Indonesia saat ini. Mereka tidak berpikir bagaimana Garda depan berjuang dan mempertahankan angka kematian stagnan agar tidak menjadi bencana yang mengerikan bagi bangsa ini.

Kepasrahannya pada Sang Maha Pemegang Hidup sungguh tidak mencerminkan sebuah hamba yang sedang bertawakkal. Ia memahami konteks tawakkal pada batas permukaan saja. Bahwa semua yang terjadi saat ini sudah ada yang mengatur, sudah digariskan mana yang mati dan mana yang selamat. Namun permasalahannya bagaimana jalan kematian kita itu. Karena tidak akan ada mati syahid sebelum berjihad, kan?

Mengapa mereka tetap saja tidak percaya pada ilmu pengetahuan?

Tentu kita semua punya harapan agar Indonesia menjadi negara yang bebas dari masa depan yang digenggam oleh pemerintahan otoriter. Namun pupus mengingat ada begitu banyak warga negara yang berpikiran Neo-Jabariyah seperti di atas. Karena pemberdayaan warga negara yang telah dilakukan oleh Korea Selatan, Taiwan dan Singapura akan lebih membawa kita pada masa depan negara yang lebih cerah. Membawa kita pada masa depan umat manusia yang bebas memilih antara kesehatan atau privasi. Jangan sampai apa yang terjadi pada film Fahrenheit451 menjadi kenyataan. Kita akan memilih untuk menyerahkan privasi pada pemangku kekuasaan yang punya kepentingan politik ketimbang membahayakan kesehatan yang berujung pada kematian.

credit : www.serigrafica7585.co.uk

Sungguh dilematis, dan mau tidak mau apa yang ditulis Seth Stephen dan David Dowits dalam bukunya EveryBody Lies akan berkembang menjadi sebuah sistem yang mengerikan. Kalau saat ini ketika kita membuka gawai, berselancar via Chrome atau sejenisnya, tiba-tiba muncul iklan tentang apa yang sedang kita cari selama ini atau apa yang sedang kita inginkan beberapa jam yang lalu, maka bisa jadi sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang kepala kita akan meledak sendiri karena perubahan suhu tubuh yang signifikan telah terlacak melalui arloji atau gawai yang kita genggam. Alogaritma ini sangat mungkin terjadi dan sedang terjadi.

Jadi, jika tak ingin bangsa ini berakhir seperti budak dalam genggaman tuannya, maka perluaslah sudut pandang dan ilmu pengetahuan. Bukankah Rasulullah sendiri yang menyabdakan secara implisit untuk menyerahkan pada ahlinya untuk urusan dunia?

Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim, no. 2363)

Tulisan Yuval Noah Harari tersebut bisa dibaca di sini :

http://re-dot-go.blogspot.com/2020/03/dunia-setelah-virus-korona.html