Social Distancing adalah kebijakan yang diumumkan oleh Pemerintah sejak pertengahan Maret lalu sebagai upaya untuk memutus rantai persebaran Covid-19 di Indonesia. Bagi sebagian orang sangat berat dilakukan, termasuk saya. Orang yang terbiasa bekerja dengan team, di lapangan, bahkan hampir setiap harinya selalu berinteraksi dengan orang baru, kebijakan demi kebajikan ini membuat saya agak shock. Atau mungkin belum terbiasa, lebih tepatnya. Hari pertama hingga ketiga, saya mulai mengeluhkan kesulitan untuk melakukan pekerjaan dari rumah. Bagaimana bisa seorang penyuluh yang pekerjaannya selalu melakukan penyuluhan di lapangan, tiba-tiba harus bekerja dari rumah. Hampa rasanya.

Social Distancing dan Adaptasi Baru

Namun demi kebaikan bersama, saya mencoba beradaptasi dengan semua ini. Karena bagaimanapun, saya dulu juga pernah beradaptasi atas hilangnya wartel hingga warnet. Minggu kedua, sifat-sifat buruk saya yang keluar lantaran stres perlahan bisa dikontrol dan di minggu ketiga saya mulai “menikmati” semua ini. Mungkin, inilah yang dimaksud oleh seorang penulis sekaligus ahli sejarah Yahudi yang tersohor itu, Yuval Noah, sebagai tatanan dunia baru pasca Covid-19. Perlahan, kita dipaksa untuk berubah. Dunia pun sebentar lagi tak lagi sama setelahnya.

Kemudian saya teringat dengan film yang pernah saya tonton, Fahrenheit dan War World Z. Kedua film ini selalu membuat saya beranggapan bahwa semua yang terjadi saat ini adalah mimpi belaka. Sebuah dongeng yang diceritakan oleh kakek, nenek dan ibu ketika senja tiba. Agar kami takut pada Tuhan. Agar kami punya harapan pada Tuhan sehingga akan terus berdoa padanya. Namun setiap kali mata ini terbuka di pagi hari, ponsel tetap melaporkan perkembangan angka-angka yang sudah menyentuh ribuan. Menandakan bahwa ini adalah nyata terjadi. Dunia sedang bergejolak dan saya masih belum bisa mempercayainya.

Kemanapun kaki ini melangkah pergi, bahkan ke toko sebelah rumah sekalipun, saya berusaha untuk “menjaga jarak” aman dengan tetangga. Meskipun banyak yang mencibir secara halus. Namun tak menjadi masalah bagi saya ketika dianggap sebagai seorang paranoid terhadap pandemi ini. Karena data, fakta dan realitalah yang berbicara tentang bahayanya virus ini. Tidak ada jalan lain selain membatasi interaksi sosial jika tidak ingin tertular. Karena si makhluk setengah benda mati ini begitu mudah penyebarannya.

Banyak orang menjadi tidak tenang, seperti saya mungkin. Namun jalan mencari ketenangan kami tentu berbeda-beda. Ada yang membatasi informasi yang masuk namun terus waspada. Ada pula yang mencari-cari opini. Opini yang bisa melegakan hati mereka, meskipun tidak didukung oleh data, fakta dan realita sesuai kaidah ilmiah. Secara psikologis, mereka lebih nyaman mendengarkan hal-hal fiktif. Sebuah deretan pengandaian yang panjang.

social distancing

photo from : unsplash.com/@enginakyurt

Berbagai macam asumsi dimunculkan. Termasuk asumsi tentang konspirasi. Saya lebih senang menyebutnya sebagai asumsi, bukan teori. Hingga penerapan Social Distancing pun dianggapnya sebagai sebuah konspirasi. Mungkin kehadiran Wi-Fi di rumah kita, saluran telephone, hingga layar televisi yang bentuknya sudah datar itu juga termasuk konspirasi. Berbagai macam kalimat pengandaian dilontarkan sebagai pembenaran. Jika demikian, mengapa tidak menulis novel saja seperti George Orwell menulis Animal Farm dan Burmese Days? Barangkali dengan kalimat pengandaian itu, publik tahu mana fiksi dan mana kenyataan.

Tiba-tiba ada banyak orang beranggapan bahwa penyebab pandemi adalah sesuatu yang “sudah diatur” oleh penguasa dunia. Termasuk bagaimana “penguasa” itu menginginkan kebijakan Social Distancing diberlakukan di seluruh negara di dunia. Paramedis hanyalah boneka yang dikendalikan oleh mereka. Benar kan seperti di film-film? Sebuah cerita fiksi yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah (paling tidak hingga saat ini) tentunya akan lebih mudah dijadikan sebagai alasan manusia untuk membuat hatinya tenang. Bahwa di luar sana sedang tidak terjadi apa-apa. Jangan sampai terjerat ikut mendukung konspirasi itu. Wah, saya pasti sudah gila! Ya, semengerikan itulah efek asumsi yang dilempar di hadapan publik oleh seseorang yang punya jutaan pengikut.

Saya tetap beranggapan bahwa pandemi memang takdir. Memang kejadian yang sudah diatur oleh Penguasa langit dan bumi seisinya. Takdir ini membawa kita pada tatanan baru, mengingatkan kita akan pentingnya empati. Juga mengingatkan kita akan fenomena kematian yang tidak dapat kita hindari meskipun kita berada di benteng yang kokoh sekalipun. Bahkan jika kita membeli pulau seperti yang dilakukan Ronaldo, jika Tuhan menghendaki terjadi maka terjadilah.

Saya berharap Social Distancing dan pandemi ini hanyalah sebuah mimpi buruk, sebuah karya fiksi berupa dongeng sebelum tidur yang akan cepat berakhir begitu mata ini terbuka. Ya, semoga saja besok segalanya telah berakhir. Kita bisa berkumpul kembali dan beaktivitas seperti sedia kala. Harapan ini akan selalu menyala, entah itu besok, minggu depan, bulan depan, atau tahun depan. Ya, segalanya akan berakhir atas izin Allah.

#BPNRamadan2020