Setelah dicanangkannya kebijakan menggunakan masker ketika keluar rumah, saya pun mulai memburu masker yang dijual oleh beberapa orang teman. Sesuai anjuran Pemerintah untuk menggunakan masker kain, karena masker medis diprioritaskan untuk tenaga medis saja. Sehingga mereka tidak akan mengalami kelangkaan masker medis ketika sangat membutuhkannya. Saat itu sang adik menawarkan masker kain yang dijual temannya seharga enam ribu rupiah, dengan tampilan warna hitam dan model earlooop. Karena harganya murah, saya pun memutuskan untuk membeli dua puluh masker. Sepuluh untuk dipakai sendiri dan sepuluh saya berikan untuk orang tua.

photo from unsplash.com/@lunarts

Ketika barang sampai dan dicoba, kening saya berkerut. Hampir-hampir tidak ada udara yang bisa masuk. Bukannya tenang dan nyaman, saya malah sesak napas memakainya. Padahal kainnya tipis, namun terasa panas. Sehingga sangat sesak ketika dipakai. Kesalahan saya adalah tidak menanyakan terlebih dahulu jenis kain yang digunakan untuk masker non-medis tersebut. Padahal ada panduan tersendiri yang sudah pernah dilansir oleh Cambridge University perihal masker kain ini.

Universitas tersebut membuat penelitian untuk mengukur efektivitas berbagai bahan atau kain perlengkapan rumah tangga yang kerap digunakan ketika membuat masker sendiri. Untuk mengujinya, mereka menembakkan bakteri Bacillus Atrophaeus (0,93-1,25 mikron) dan virus Bacteriophage MS (0,023 mikron) pada bahan rumah tangga yang berbeda. Selanjutnya mereka mengukur presentase kemampuannya menangkap virus dan bakteri dari berbagai bahan atau kain tersebut lalu membandingkannya dengan masker bedah.

Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa kinerja dari masker bedah lebih unggul daripada masker kain. Masker bedah mampu menangkap 97% dari bakteri 1 mikron. Sedangkan untuk masker kain yang terbuat dari kain-kain yang biasa ada di perlengkapan rumah tangga, presentasenya adalah sebagai berikut:

1. Bahan kantong di alat penyedot debu (vacuum cleaner bag) 95%
2. Kain lap piring 83%
3. Kain kemeja katun campuran 74%
4. Kain kemeja katun asli tanpa campuran 69%
5. Sarung bantal anti mikroba 65%
6. Syal 62%
7. Sarung bantal 60%
8. Sutra 58%.

(sumber statistik : wolipop.detik.com)

Namun ada salah satu faktor kenyamanan yang juga sangat penting, yaitu kemudahan untuk bernapas saat menggunakan masker. Kenyamanan itu akan mempengaruhi seberapa lama kita bisa menggunakan masker tersebut. Sayangnya, itu tidak ditemukan pada bahan tas penyedot debu dan kain penutup makanan yang persentase penangkalannya paling tinggi. Keduanya sangat sulit untuk dibuat bernapas.

Oleh karena itu berdasarkan penangkapan partikel dan kemampuan bernapas, para peneliti menyimpulkan bahwa kaus katun dan sarung bantal adalah bahan terbaik untuk membuat masker penutup wajah sendiri. Bahan-bahan tersebut mampu menyaring sekitar 50% partikel 0,2 mikron, ukuran yang hampir sama dengan virus Corona. Selain itu bahan tersebut juga lebih memudahkan kita untuk bernapas sehingga pemakainya akan merasa lebih nyaman. Tidak ada artinya jika kita memakai masker sebaik apapun ia bisa menyaring bakteri yang masuk, namun kita tidak bisa bernapas dengan baik.

photo from : unsplash.com/@yogidan2012

Tidak heran jika banyak orang malas memakai masker mungkin salah satu faktornya dikarenakan ketidaknyamanan mereka saat bernapas. Maka sangat penting bagi pembuat masker agar memperhatikan detail kain yang akan mereka jahit dan produksi. Apakah orang akan nyaman memakainya atau tidak. Sejauh ini berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah ada, kain katun adalah bahan terbaik pembuatan masker. Selain karena presentase penyaringannya terhadap makhluk berukuran mikron, kain katun juga punya karakteristik yang dingin ketika dipakai, juga punya sirkulasi udara yang baik.

Bagaimana? Maskermu masih membuatmu sesak napas?

#BPNRamadan2020 – 25 April 2020