Sebagai seorang yang lahir di tahun 90-an, tentu Ronggeng merupakan bentuk kata yang menurut saya baru. Begitu juga dengan dukuh. Ahmad Tohari membawa kita pada kehidupan tahun 60-an pasca kemerdekaan. Rakyat yang masih lekat dengan kemiskinan, ketidakmampuan melawan, chaos politik, dan masih banyak lagi persoalan di Negara ini yang masih harus dibetulkan.

Saya tidak pernah kecewa dengan karya Ahmad Tohari. Mulai dari Di Kaki Bukit Cibalak, Bekisar Merah, Lingkar Tanah Lingkar Air hingga yang saya baca saat ini Ronggeng Dukuh Paruk. Semuanya mengisahkan bagaimana kesulitan orang-orang pada zaman itu, polemiknya, budaya serta bagaimana mereka semua menghadapinya. Selalu ada pesan moral yang diselipkan di setiap babnya, bahkan.

Ronggeng Dukuh Paruk mengisahkan kehidupan seorang Ronggeng (seperti biduan yang menari dan menyanyi dengan diiringi alat musik gendang dan caplung). Ronggeng di zaman itu ternyata masih lekat dengan predikat sundal (wanita yang dibayar khusus untuk memenuhi syahwat lelaki). Kalau sekarang, mungkin sudah masuk pada praktik jual diri. Ronggeng bernama Srintil ini terkenal dengan kecantikan dan kesempurnaan tubuhnya. Tidak ada yang menyangkal itu, bahkan kaum perempuan di Dukuh Paruk saat itu.

Praktik zaman Jahiliyah yang menurut saya telah menyimpang dari adat istiadat dan kebudayaan yang telah mereka ciptakan itu sendiri, ternyata juga tidak membuat hati kecil Srintil nyaman. Ronggeng selalu punya indung, yang memelihara dan membantu mereka untuk menjadi seorang Ronggeng yang sesungguhnya. Suatu ketika, tahun 1965-an rusuh PKI turut menghantam kesunyian dan kedamaian Dukuh Paruk. Srintil dituduh sebagai antek PKI hanya karena dia sering menghadiri dan ikut memeriahkan rapat orang-orang PKI dengan team ronggengnya. Maka Srintil pun ditahan selama dua tahun dan terkena wajib lapor selama beberapa purnama.

Sejak beberapa tahun sebelum ia ditahan oleh Pemerintah, Srintil sudah bertekad untuk berhenti melayani para lelaki. Bahkan beberapa tamu ditolaknya. Meskipun induk semangnya selalu menghadapkan Srintil pada keadaan terpojok dengan tipu dayanya. Tekad Srintil untuk behenti meronggeng ternyata tidak semulus jalan tol. Banyak sekali halangan dan pandangan penuh hina yang ia terima.

Orang-orang tetap saja melihatnya sebagai ronggeng dan bekas tahanan. Inilah yang membuat Srintil tidak memiliki rasa percaya diri. Bahkan pada seorang Rasus, teman masa kecilnya di Dukuh Paruk yang kini sudah menjadi tentara. Ya, tentara Indonesia yang terhormat dan dulunya sangat penuh perhatian pada Srintil, bahkan keduanya sempat saling mengungkapkan rasa sebelum Srintil didaulat sebagai seorang ronggeng, perempuan milik bersama.

Gemes banget dengan ending cerita yang khas Ahmad Tohari. Gemas dengan Rasus yang tidak segera berbuat sesuatu untuk Srintil. Masih saja menahan perasaan dan ucapannya bahwa sebenarnya ia masih sangat mencintai Srintil, meskipun ia adalah bekas ronggeng. Pembaca akan dibuat teraduk-aduk emosinya dengan kisah perjalanan Srintil yang sangat tidak mudah. Sedih, kesal, marah, hingga bahagia yang tak terkira ketika Rasus mengunjungi Srintil meskipun tanpa kata.

Empat ratus enam halaman dalam novel ini membuat saya menarik sebuah satu garis besar kesimpulan bahwa semua orang berhak menjadi seorang muslim atau muslimah yang lebih baik. Tidak ada batasan orang mana saja yang bisa bertaubat atau diterima taubatnya. Selama ia bersungguh-sungguh dan bersabar dalam menghadapi ujian.

Ahmad Tohari menuliskan buku ini untuk lelaki, perempuan dan anak-anak Dukuh Paruk agar tidak berhenti mengejar cita-cita. Agar tidak berhenti untuk selalu berbuat baik dan bergotong royong dalam kebaikan dan perbaikan.

Review ini dibuat untuk memenuhi tugas 2 RCO Batch 7. Seru sekali ikut tantangan baca dari RCO. Membaca memang lebih asyik kalo rame-rame. Buku selanjutnya, nonfiksi dong kak PJ. Biar timbunan buku nonfiksi ku segera habis 😁

Ronggeng Dukuh Paruk, oleh Ahmad Tohari

Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 408 halaman.

Cetakan kelima belas, Oktober 2019.