Everybody lies in social media

Saya tertarik dengan kalimat itu, yang ditulis Seth Stephen-DaviDowits dalam bukunya Every Body Lies.

Benar juga. Siapa sih yang tidak ingin tampil “baik” di sosial media? Siapa pula yang tidak ingin mendapat “perhatian” dari para netizen budiman? Dalam mengunggah sesuatu tentu kita melakukan proses memilah dan memilih. Mana yang pantas, mana yang tidak “pantas” diunggah. Yah, mau jujur atau tidak, tapi pasti kita melakukan itu.

Apalagi kita kaum perempuan yang doyan selfie, doyan foto-foto, mau makan cekrek, mau bobo cekrek, eh ini ngga semua perempuan sih.. Hehehe..

Setelah ada puluhan atau bahkan ratusan photo dengan pose yang sama atau tempat dan waktu yang sama, kita hanya memilih satu atau dua untuk diposting. Sisanya? Jadi tabungan di gallery.

Post besok deh,nabung foto buat feed kece nanti.

Dalam proses memilih dan memilah itu tentu kita ingin menampilkan sesuatu yang “menarik”, atau “indah” sehingga akan menambah angka like dan menaikkan unggahan kita di kolom timeline. Sepakat kan kalau ada yang bilang everybody lies in social media?

Mungkin iya, mungkin tidak.

Persoalan yang lain, apakah bisa disebut bahwa keadaan seseorang di akun media sosialnya adalah keadaan dirinya yang sebenarnya? Kalau kita melihat fenomena, semua ingin tampil baik, maka saya pun juga berasumsi bahwa apa yang ditampakkan dalam akun sosial media seseorang bukanlah dirinya yang sebenarnya, termasuk saya. Kita hanya menampakkan apa yang ingin dilihat orang saja. Sisanya untuk apa?

Anda sendirilah yang bisa menjawabnya.

everybody lies

Saya pun tidak terlepas dari proses tersebut. Saya ingin menampilkan sesuatu yang memang “ingin” dilihat oleh publik atau netizen. Apa yang mereka inginkan sebenarnya? Ada orang yang gemar mengikuti akun-akun informatif, ada juga yang menyukai akun gosip, akun tausiyah, dakwah, jual beli, motivasi, komunitas sosial, dan lain-lain sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.

Disini sosial media tampak sebagai satu wadah besar yang bermanfaat. Karena sosial media, kita mendapatkan informasi uptodate dan tidak perlu mengeluarkan cost untuk perjalanan dan mengantre untuk mendapatkan sesuatu, karena banyak onlinestore yang lalu lalang di timeline kita.

Sosial media bak pisau bermata dua. Siapa yang menggunakannya secara bijak, maka dia akan dapat mengambil manfaat yang banyak darinya. Tapi, dengan sosial media dia juga akan melukai dirinya sendiri jika dia tidak menggunakan alat ini dengan baik.

Termasuk dengan tidak menjadi diri sendiri. Inginnya dilihat gaul di mata netizen? Maka penuhi feed anda dengan unggahan menarik tentang tempat nongkrong kekinian, makanan kekinian, fashion kekinian, atau apa saja yang bisa dianggap gaul oleh netizen. Padahal itu anda rasakan sebagai sesuatu yang berat. Tapi demi eksiss, apapun akan dilakukan.

Maka tidak salah jika seseorang menilai diri kita dari profile kita di sosial media. Mungkin ada yang jujur apa adanya menggambarkan dirinya sendiri. Tapi pasti juga tidak sedikit yang tidak jujur dengan dirinya sendiri.

Kembali lagi pada pisau bermata dua tadi. Mau kita jadikan apa pisau ini? Sebagai alat untuk memasak atau untuk membunuh?

Setiap Orang Butuh Perhatian

Setiap orang pasti butuh perhatian, itulah naluri manusia. Tapi, bisakah perhatian yang kita dapatkan itu dengan tidak membohongi diri sendiri? Nilai minimal deh, sebelum membohongi publik. Seperti artis-artis kekinian yang sarat dengan gimmick agar kepopulerannya meningkat dan melesat.

Saya sendiri masih belajar, sampai detik ini. Apapun yang saya unggah, saya berusaha keras untuk menanyakan pada diri sendiri,

Jika ini saya unggah, apa manfaatnya?

Apa manfaat yang akan didapat dari pembaca media sosial saya?

Meskipun kadang luput dari filter, tapi sampai saat ini saya masih menekankan itu pada diri sendiri bahwa nilai kemanfaatan sebuah peristiwa/moment perlu dipertanyakan sebelum diposting. Karena kelak, bukan mulut kita saja yang akan dimintai pertanggungjawabannya, tapi juga jari-jari yang kita gunakan untuk menulis sesuatu kemudian disebarkan.

Jangan tersinggung dengan ungkapan everybody lies in social media karena memang begitulah faktanya. Tapi paling tidak, jika dalam kehidupan nyata kita bukan orang baik, setidaknya kita menyebarkan kebaikan di sosial media kita.

Kebaikan-kebaikan yang kita unggah pun bukan menunjukkan bahwa kita adalah orang yang benar-benar baik. Tapi suatu usaha untuk menjadi benar-benar baik. Dan siapa tau, kebaikan itu bisa ditiru dan diamalkan orang lain, sehingga mungkin ada banyak kebaikan yang kita hembuskan pada para netizen. Siapa sih yang tidak ingin jadi baik?

Begitu juga dengan tulisan ini, semoga membawa kebaikan untuk para pembaca.

Big Data Yang Terungkap di Hadapan Korporasi

everybody lies

Sebenarnya, ada bahasan tersendiri dari buku Seth Stephen ini tentang social media khususnya atau internet pada umumnya. Tidak jarang kita mengalami suatu hal yang dulu saya anggap aneh. Misalnya, ketika kita sedang membicarakan tentang pandemi, maka iklan yang keluar di sosmed kita kemudian mengikuti soal pandemi tersebut. Seolah mereka bisa membaca pikiran kita. Padahal, itulah big data yang sedang dikumpulkan oleh mesin pencari lewat gawai yang kita miliki.

Seseorang tidak akan bisa lagi menyembunyikan kebiasannya menonton film porno. Karena semua rekam jejak digitalnya di setiap kunjungan dari website satu ke yang lain terekam jelas di mesin pencarian. Maka jika ingin menilai seseorang bagaimana kebiasannya ketika hanya ada dirinya dan internet, maka lihatlah rekam jejak digitalnya. Semua data ini tersimpan seperti memori dalam otak yang terekam jelas oleh ingatan. Data ini dijual ke korporasi yang membutuhkan data konsumen sebagai sasaran iklan mereka.

Seth Stephen membuat saya agak ngeri juga bagaimana dunia ini nantinya tidak akan bisa lagi menyimpan privasi seseorang. Seperti yang telah diungkapkan oleh sejarawan Yuval Noah Hariri bagaimana kehidupan manusia pasca pandemi. Meskipun berlindung di bawah teori konspirasi, namun ada benarnya juga jika dihubungkan dengan teori big data yang telah dikemukakan oleh Seth Stephen dalam buku ini. Saya selesai membaca buku ini di tahun 2018, dan ulasan ini diperbarui pada Juni 2020. Faktanya, ternyata sangat relevan dengan kondisi transisi new normal saat ini.

Masih banyak lagi rahasia-rahasia dalam dunia digital yang diungkap dalam buku ini. Ada banyak kode-kode rahasia, serta problem-problem tak terpecahkan bak mengarungi lautan informasi digital seperti dalam kisah science fiction. Beberapa pebisnis menjadikan buku ini sebagai bacaan wajib bagi mereka yang ingin bagaimana menjalankan marketing bisnisnya. Karena big data lah yang sebenarnya mereka butuhkan agar iklan mereka tepat sasaran.

Proses Memahami Buku EveryBody Lies

everybodylies

9 Maret 2019 adalah kali kedua saya membaca buku Everybody Lies ini untuk lebih memperjelas apa yang tidak saya mengerti sebelumnya. Meskipun hanya beberapa babnya saja, demi mendapatkan pemahaman yang utuh.

Buku yang berbicara tentang kumpulan data ini akan membuat bulu kuduk kita berdiri saking seramnya zaman teknologi 4.0 saat ini. Saya belum menemukan kalimat yang pas untuk menggambarkan secanggih apa sebuah mesin pintar yang selama ini kita andalkan akan dapat membongkar kebohongan yang kita sembunyikan sendiri.

Meskipun agak susah juga membaca buku ini hingga selesai karena bahasanya memang bahasa bisnis dan data yang sama sekali tidak saya sukai, apalagi ada perhitungan matematika soal peluang. Namun disini Seth memberikan anologi sederhana yang sebenarnya mudah dipahami, dasar orangnya aja ini malas untuk memahami dan menghayati tulisan Seth dengan sepenuh jiwa. Eaaa.

Namun, akhirnya saya bisa mendapatkan substansinya. Tentu saja setelah membaca kedua kalinya, hehe…

Awal mula penasaran dengan buku ini adalah saat ikut kelas bisnisnya coach Alfafaizal bersama AMM lainnya. Saat itu sudah coba mampir ke toko buku dan stok sedang sold. Baik versi asli atau versi bahasa indonesia. Alhamdulillah beberapa bulan setelah kelas selesai saya mencoba untuk kembali lagi menanyakan perihal buku ini pada mbak-mbak Customer Service salah satu toko buku di Malang. Akhirnya buku ini ada, versi bahasa indonesia lagi!

Isinya daging semua! Kalau boleh saya menyebutnya tidak ada hal yang tidak penting yang disampaikan dalam buku ini. Maksudnya seluruh bab yang ditulis oleh Seth itu ada faedahnya. Biasanya banyak basa-basinya ya untuk buku setebal ini, namun disini isinya data, data, data dan data.

Seth berbicara soal data, big data dan segala sesuatu yang menjadi hipotesanya selalu berdasarkan data. Termasuk mengapa Trump memenangkan pemilu, turunnya elektabilitas Obama, dan beberapa rahasia pria yang ternyata mereka khawatirkan dan kita bisa menemukannya lewat data dalam google!

Lalu bagaimana seseorang yang kau kenal di dunia maya tengah berbohong atau tidak. Bahkan Seth bicara soal pendidikan dalam buku ini. Pentingkah dimana kita kuliah? Dimana tempat terbaik untuk membesarkan anak? Sedalam itu! Disini pula saya baru mengenal namanya google correlate (finds search patterns which correspond with real-world trends). Inilah yang dimaksud coach saya waktu itu dengan melihat situasi saat ingin memulai bisnis.

Lalu kita akan dibuat berkaca, apakah kita selama ini juga berbohong?

Lihat saja instagram, facebook, twitter atau akun sosial media lain yang kita miliki. Saya tidak tahu siapa yang berbohong, siapa yang tidak, tapi ternyata Seth mengajarkan bagaimana data akan berbicara bahwa manusia yang selalu bergantung pada teknologi saat ini, tidak akan pernah bisa berbohong.

Everybody Lies, Big Data dan Apa yang Diungkapkan Internet Tentang Siapa Kita Sesungguhnya, oleh : Seth Stephens-Davidowits

Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 336 halaman. Cetakan Pertama Mei 2017.

3.5/5