Begitu membaca judulnya, sudahkah terpikirkan aksi nyata untuk #Jagalaut? Situasi pandemi saat ini mungkin adalah waktu dimana bumi kita beristirahat dari polusi. Begitu pun dengan laut yang beristirahat dari seluruh aktivitas manusia. Namun, benarkah demikian? Yuk simak selengkapnya.

Beberapa kali saya berlibur di pantai sangat jarang menemui pantai yang pasirnya bersih dari sampah. Apalagi sampah plastik. Banyaknya sampah di darat maupun di laut merupakan salah satu ancaman bumi, sampai-sampai bumi akan menjadi planet tidak lagi layak huni karena laut yang rusak. Saya teringat sebuah cerita di buku anak-anak yang pernah saya bacakan untuk si kecil, yaitu tentang sampah di lautan yang membuat beberapa hewan di sana kesulitan dan hampir saja kehilangan nyawanya. Buku tersebut berjudul Sampah dan Taman Laut.

Sampah dan Taman Laut

Lili dan Vapem membantu melepaskan jeratan plastik. Gurita kecil bernama Guvo merasa senang. Guvo pun berterimakasih kepada dua gurita yang telah menolongnya.

Mereka telah selamat hari ini. Namun mereka baru tahu bahwa lautan ternyata penuh sampah plastik! Mereka melihat banyak plastik melayang-layang di sekitar rumah penduduk bawah laut.

(Cuplikan Ceirta Taman Laut oleh Inara Mahya Mahawira)

Sampah dan laut yang sesak napas

Pertama kali saya tertegun hingga ingin sekali berlari dan memeluk Vapem dan Lili. Tokoh dua gurita yang mewarnai buku anak yang baru saja saya baca. Tema yang diangkat adalah sampah plastik yang kian hari kian bertumpuk seperti gunung. Tidak hanya mencemari udara di daratan sana, tapi sampah itu kini juga mengotori dan mencemari lautan. Tempat tinggal para makhluk yang tak tahu apa-apa namun harus menanggung imbas keserakahan manusia.

Mungkin beberapa orang akan mengatakan lebay atau apalah itu. Namun pasca tsunami yang menghantam pulau Lombok beberapa tahun lalu, membuat saya sadar bahwa kita ini sedang diingatkan karena abai. Laut mengganas karena aktivitas manusia juga kan, tapi kita masih juga tak kunjung menyadarinya.

Buku berjudul Taman Laut tersebut adalah buku anak. Buku yang ditulis oleh anak-anak yang menyadari pula bahwa laut kita sudah kotor dan tercemar. Hingga membahayakan makhluk-makhluk yang ada di dalamnya. Maka malu sekali kalau kita, sebagai orang dewasa yang lebih mudah mengakses dan menganalisis informasi, tidak juga sadar akan bahaya ini.

Kalau anak berusia lima tahun saja sudah bisa menampilkan gambaran laut yang sesungguhnya saat ini, bagaimana dengan kita?

Kematian Makhluk Laut Karena Sampah

 

Seperti yang dilansir dari KBR Indonesia yang menuliskan tentang ancaman sampah plastik bahwa Kematian seekor Paus Sperma di perairan Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara Senin (19/11/18) lalu mengundang keprihatinan. Salah satu mamalia laut terbesar di bumi ini diduga mati lantaran menelan sampah. Lembaga konservasi WWF  Indonesia menyebut 6 kilogram sampah ditemukan di dalam bangkai satwa malang itu. Jenisnya pun beragam, mulai dari botol, gelas plastik hingga sandal jepit! Dan ini bukanlah kasus pertama. Kejadian serupa pernah terjadi pada 2016 dan 2017 lalu. Polusi plastik di laut ini juga diduga menjadi pembunuh 1.000an penyu setiap tahun, menurut peneliti dari University of Exeter, Inggris.

Terlepas dari perdebatan apakah betul mereka mati lantaran menelan sampah plastik, kita patut khawatir soal pencemaran yang tengah berlangsung di samudera, termasuk di perairan Indonesia. 2015 lalu, Indonesia disebut sebagai penyumbang sampah terbesar ke laut nomor dua setelah Cina. Pemerintah Indonesia sebetulnya punya Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Pengelolaan Sampah Laut. Kementerian Kelautan dan Perikanan  serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  mengklaim telah melakukan sejumlah cara untuk menghadang sampah plastik terus mencemari lautan.

Para ilmuwan juga telah menemukan hewan laut baru di salah satu tempat terdalam di Bumi. Mereka menamai binatang itu Eurythenes Plasticus. Untuk menyoroti bahwa polusi plastik sekarang begitu lazim sehingga bahkan spesies baru dari amphipod yang hidup hampir 7 km di bawah permukaan laut telah menelan plastik.

jaga laut dari sampah

sumber : The Angry Earth

 

“Dengan nama tersebut kami ingin mengirim sinyal kuat terhadap polusi laut dan memperjelas bahwa kami sangat perlu melakukan sesuatu tentang banjir plastik besar-besaran,” Dr. Alan Jamieson “Spesies yang baru ditemukan Eurythenes plasticus menunjukkan seberapa jauh konsekuensinya. dari lemahnya penanganan plastik. Ada spesies yang hidup di bagian terdalam dan paling terpencil di planet kita dan bagaimanapun sangat terkontaminasi dengan plastik. Plastik ada di udara yang kita hirup, air yang kita minum, dan hewan yang hidup jauh dari peradaban manusia, ”komentar Heike Vesper, direktur Pusat Perlindungan Laut WWF. Dalam amphipod, polietilen tereftalat (PET) ditemukan, zat yang ditemukan di banyak benda sehari-hari seperti botol minum sekali pakai dan pakaian olahraga. “Krisis plastik mempengaruhi kita semua, karena kita semua menggunakan PET dalam kehidupan sehari-hari,” kata Vesper.

Nyatanya berbagai langkah untuk menghadang spesies baru yang mencemari laut itu tak cukup. Perlu upaya serius mengurangi produksi dan konsumsi plastik. Pada titik ini, kalangan industri dan kita selaku konsumen mesti ambil peranan. Tanpa perubahan radikal di hulu, ancaman kematian spesies laut semakin nyata dan berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia. Kemungkinan bahwa sampah laut menjadi ancaman bagi kerusakan bumi bukanlah mitos atau teori tanpa dasar belaka.

Jejak Karbon Makin Besar

Jejak karbon pada bumi kita dari waktu ke waktu semakin membesar. Dampak teknologi seperti dua sisi mata uang yang pelan-pelan akan membuat bumi kita sakit. Mulai dari bahan bakar fosil, makanan cepat saji, sampai pada gaya hidup konsumtif yang melebihi batas.

David Wallace Wells mengatakan bahwa roda penggerak semua masyarakat dilumasi kemakmuran. Kalau roda itu aus, maka ia akan macet dan rusak. Para pelaku penggerak roda ini sudah tahu, bahkan mereka cukup tahu bahwa hidup mereka penuh kemakmuran, kehidupan yang bebas dari gangguan. Tapi mereka mereka melihat hiburan yang menampilkan kemerosotan sosial. Mulai dari kehancuran pasar, kenaikan harga, penimbunan barang oleh orang kaya, penegakan hukum untuk memperkaya diri, dan kehilangan harapan keadilan yang membuat orang harus berusaha sendiri untuk bertahan hidup.

Negara-negara makmur pun tahu bahwa efek pemanasan global yang salah satunya disebabkan oleh banyaknya jejak karbon di planet ini adalah berasal dari gaya hidup konsumtif mereka sendiri. Namun mereka seperti menutup mata. Karena dampak dari ini semua akan paling dirasakan oleh negara-negara berkembang dan miskin. Karena merekalah yang paling tidak mampu menghadapi efeknya.

Bisa dikatakan bahwa kaum kaya dunia menenggelamkan kaum miskin dengan sampah dan limbah. Dalam buku Uninhabitable Earth, David Wallace menuliskan bahwa negara pertama yang mengalami industrialisasi dan menghasilkan gas rumah kaca secara besar-besaran adalah Inggris, yang diperkirakan tidak akan banyak menderita karena perubahan iklim. Namun negara yang paling lambat berkembang di dunia dan menghasilkan emisi rumah kaca paling sedikit akan menjadi negara yang terpukul paling keras. Yaitu Republik Demokratik Kongo, salah satu negara termiskin di dunia, diperkirakan akan kacau balau.

Bukan hanya Republik Kongo tentunya, persoalan ini akan berlanjut menjadi ancaman yang sangat serius. Karena salah satu sebab terbesar rusaknya laut dikarenakan sampah. Jaga laut, dan laut akan menjaga kita dari bencana kenaikan suhu planet yang menyebabkan musnahnya berbagai macam makhluk hidup di bumi ini.

Benarkah laut sedang beristirahat dari aktivitas manusia saat ini?

jaga laut dari sampah medis

sumber : The Angry Earth

 

Ketika pandemi menghantam hampir di seluruh belahan dunia beberapa bulan lalu, boleh jadi laut memang sedang beristirahat dari aktivitas manusia dan tentu saja jejak karbon serta sampah yang ditinggalkannya. Namun ancaman baru di era new normal lebih mengerikan lagi dibanding sebelumnya.

Dilansir dari akun The Angry Earth dituliskan bahwa banyak konservasionis yang khawatir tentang meningkatnya polusi laut yang disebabkan oleh peningkatan limbah yang diciptakan oleh pandemi coronavirus. Dengan masa hidup 450 tahun, masker dan sarung tangan seperti layaknya bom waktu ekologis karena konsekuensi lingkungannya yang abadi bagi planet kita. Sebuah studi terbaru dalam jurnal Environment, Science & Technology memperkirakan bahwa 129 miliar masker wajah dan 65 miliar sarung tangan digunakan setiap bulan selama masa pandemi dan era new normal.

Laut Yang Sekarat dan Ancaman Bumi

Kita tahu bahwa 70% permukaan bumi berupa lautan. Sehingga ia termasuk dalam lingkungan utama di planet ini. Ada begitu banyak jasa lautan pada seluruh umat manusia, diantaranya ia sebagai sumber makanan. Makanan laut menjadi hampir seperlima dari seluruh protein hewani yang disantap manusia, dan di kawasan pantai bisa lebih banyak lagi. Laut juga memelihara musim-musim di planet ini, melalui arus yang sudah ada yang juga mengatur suhu planet kita yaitu dengan menyerap sebagian besar panas matahari.

Namun fungsi laut sebagai salah satu penyeimbang suhu planet terancam karena kerusakan di dalamnya. Dimana hal itu akan mendukung adanya pemanasan global yang berakibat fatal.

Satu penelitian terhadap dampak manusia ke kehidupan laut menemukan bahwa tinggal 13 persen laut yang tidak rusak. Sedangkan bagian-bagian Artika telah banyak diubah oleh pemanasan. Sehingga para ilmuwan bertanya-tanya seberapa lama pencairan di sana masih bisa disebut “Artika”? Artika yang kita kenal adalah pulau dengan ditutupi bongkahan es berton-ton seluruhnya. Masihkah saat ini bisa disebut Artika jika bongkahan-bongkahan itu sudah mulai meleleh?

Seperempat karbon lebih yang dihasilkan manusia diserap oleh laut, yang dalam lima puluh tahun belakangan juga menyerap 90 persen panas berlebih akibat pemanasan global. Sebenarnya kita pun selama ini dijaga oleh laut agar tidak

Pemutihan Karang

sampah laut ancaman bumi

unsplash.com/@milandegraeve

 

Pemutihan karang atau coral bleaching adalah satu kondisi dimana karang sedang dalam keadaan sekarat. Hal tersebut disebabkan karena adanya sampah di laut dan memperarah kondisi suhu di laut yang semakin hangat. Sehingga terumbu karang kehilangan protozoa zooxanthellae yang menghasilkan sampai 90 persen energi yang dibutuhkan karang melalui fotosintesis.

Tiap terumbu karang adalah ekosistem yang sekompleks kota modern, dan zooxanthellae adalah pemasok makanan. Ketika terumbu karang mati, keseluruhan ekosistemnya kelaparan seperti kota yang dikepung atau diblokade. Dilaporkan bahwa kehidupan karang sudah banyak merosot sampai-sampai menciptakan lapisan baru di laut yang oleh ilmuwan disebut sebagai zona senja (twilight zone). Menurut World Resources Institute pada 2030 pemanasan dan pengasaman laut akan mengancam 90% dari seluruh terumbu karang.

Hal ini berarti sangat buruk dan menjadi ancaman bumi. Mengapa?

Karena terumbu karang menopang sampai seperempat dari seluruh kehidupan laut serta memasok makanan dan penghidupan untuk setengah miliar orang. Terumbu karang juga melindungi dari banjir akibat badai. Pengasaman laut juga akan merusak populasi ikan secara langsung.

Laut Sesak Napas = Ancaman Bumi

Disebutkan dalam Uninhabitable Earth bahwa selama lima puluh tahun terakhir, jumlah air laut tanpa oksigen sama sekali berlipat empat kali lipat di seluruh dunia. Akibatnya menghasilkan banyak zona mati atau dead zone. Yaitu zona tanpa oksigen yang meluas beberapa juta kilometer persegi, hampir seluas Eropa. Tidak cukup sampai disitu, ratusan kota pantai dikelilingi laut tanpa oksigen. Hal ini disebabkan oleh adanya pencemaran dan pemanasan planet (air hangat mengandung lebih sedikit oksigen). 

Ditemukan satu zona mati di Teluk Meksiko seluas 23.000 kilometer persegi disebabkan oleh limpahan pupuk kimia industrial. Lautan di Indonesia pun juga demikian. Ada banyak sampah plastik yang ditemukan ikut merusak ekosistem laut dan menyumbang adanya coral bleaching. Sampah-sampah yang dibuang ke laut menjadi salah satu pelaku pemicu ini semua. Laut menjadi “sesak napas” dan mereka masih saja tidak menyadarinya.

Kali ini jika kita masih tidak percaya dengan kata-kata para ahli iklim bahwa benar adanya sampah di darat dan laut adalah ancaman bumi yang sukar dikendalikan, entah bagaimana nasib anak cucu kita puluhan tahun mendatang.

Craddle to Craddle – Prinsip Daur Ulang Mengacu Siklus Ekologi

Kita masih bisa menggunakan cara konvensional seperti Reduce, Reuse, Recycle -3R-. Bisa kita lakukan bersama-sama sehingga menjadi gerak massive yang menghasilkan perubahan signifikan terhadap sampah. Kita memang belum merasakan implikasi dari 3R tadi, namun kelak anak cucu kitalah yang akan merasakan dampaknya secara langsung. Kita memang hanya akan mengurangi laju pemanasan bumi, tidak menghentikan atau bahkan menghilangkan. Namun, apa yang kita lakukan dengan sampah hari ini adalah salah satu bentuk langkah kecil kita mendukung planet ini untuk terus memperbaiki kondisinya.

pengelolaan sampah

Bagaimana dengan sampah lautan?

Salah satu hal yang perlu dipikirkan adalah berpikir dengan prinsip alam itu sendiri. Dalam prinsip siklus ekologi dikenal sebuah prinsip dasar yang dikenal sebagai cradle-to-cradle (C2C), yaitu model rantai makanan yang tertutup. Semua proses industri dan komersial diharapkan dapat mengikuti siklus tertutup sehingga tidak ada lagi limbah.

Jika hal ini bisa dilakukan dan sudah menjadi komitmen seluruh industri maka kita bisa mengurangi sampah tersebut dan meminimalisir kerusakan lautan yang sudah terjadi.

Pada dasarnya konsep C2C membagi material dalam proses industri dan komersial ke dalam dua kategori, bahan teknis dan bahan biologis. Bahan teknis hanya boleh menggunakan bahan-bahan sintetis yang tidak beracun dan tidak memberi dampak negatif pada lingkungan dan dapat digunakan berulang-ulang tanpa mengurangi kualitas bahan (daur ulang penuh).

Konsep ini agak berbeda dengan konsep daur ulang konvensional yang selama ini kita pahami, di mana suatu bahan didaur ulang menjadi produk yang lebih rendah (daur turun, downcycling). Contohnya plastik casing komputer didaur ulang menjadi cangkir minuman kemudian didaur kembali menjadi kantong plastik dan terakhir betul-betul menjadi sampah.

Mengenai limbah COVID, tentu saja kita harus memilih masker dan sarung tangan yang dapat digunakan kembali. Untuk saat ini, paling tidak kita harus meminimalisir sampah baru berupa sarung tangan, masker, dan lainnya.

Selanjutnya yaitu bahan biologis, yaitu bahan organik yang setelah digunakan dapat dilepas dan diurai kembali ke alam. Namun demikian, untuk yang saat ini sudah terjadi, tentunya upaya pembersihan laut dari sampah plastik tak bisa kita abaikan begitu saja, seperti halnya dalam kanker, pengangkatan sel-sel kanker melalui invasive surgery kadang menjadi harapan satu-satunya.

Kita patut mengapresiasi perusahaan-perusahaan, gerai makanan atau minuman, toko atau warung-warung yang saat ini bahkan sudah tidak menyediakan kantung plastik. Namun membiarkan pembeli membawa kantung kain dari rumahnya masing-masing. Atau menyediakan kantung kain berbayar. Meskipun hasil akhirnya sama-sama menjadi “sampah” nantinya, namun aksi kecil ini patut diapresiasi.

Karena langkah besar hingga menjadi sebuah perubahan tidak akan terjadi tanpa langkah kecil yang dilakukan mulai dari diri sendiri, keluarga, serta lingkungan sekitar. Yuk, kurangi bahan-bahan yang menyebabkan planet ini semakin penuh sesak dengan sampah yang tak bisa didaur ulang. Jangan biarkan laut kita sesak napas! Jangan biarkan sampah di darat maupun laut menjadi ancaman bagi bumi kita.

Baca juga dampak perubahan iklim terhadap aspek lainnya di sini :

Sumber Daya Air dan Gigi Ikan Hiu

Udara Yang Tak Bisa Dihirup

Referensi

Sampah Laut Ancaman Bumi

70% persen permukaan bumi : National Ocean Service, “How Much Water Is in the Ocean?” National Oceanic and Atmospheric Administration, https://oceanicservice.gov/facts/oceanwater.html.

Makanan laut menjadi hampir seperlima : “Availibility and Consumption of Fish,” World Health Organization, www.who.int/nutrition/topics/

13% laut yang tak rusak : Kendall R.Jones, etc, “The location and Protections Status of Earths Diminishing Marine Wilderness

Zona Senja : C.C Baldwin, “Below the Mesophotic”, Scientific Reports 8, no.4920, https://doi.org/

Craddle to Craddle : mongabay.co.id/jika-laut-dipenuhi-sampah

Eurythenes Plasticus : instagram.com/angryearth

 

Saya sudah berbagi pengalaman soal Perubahan Iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti Lomba Blog “Perubahan Iklim” yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya bisa anda Lihat di Sini Https://Kbr.Id/Nasional/05-2020/Jaga_bumi_sembari_ikut_lomba_blog_perubahan_iklim_/103105.Html