Udara Yang Tak Bisa Dihirup, Kebakaran, dan New Normal

Perubahan iklim tidak hanya berpengaruh pada kenaikan permukaan air laut. Ada banyak sekali aspek yang terlibat di dalamnya. Hingga pada akhirnya kita tidak punya pilihan.

Masih dari buku yang sama, Bumi Yang Tak Dapat Dihuni, saya ingin membahas tentang bagaimana kebakaran hutan juga adalah salah satu efek yang ditimbulkan akibat pemanasan global. Saya teringat dengan kejadian kebakaran hutan di pulau Sumatra yang asapnya hingga bisa dirasakan negara tetangga. Bahkan kualitas udara saat itu sudah tidak bagus untuk dihirup. Ada banyak anak-anak dan lansia yang terpaksa harus menghirup udara tak layak. Hingga akhirnya penderita ISPA melonjak drastis.

Kemarau dan Ancaman Karhutla di Tengah Pandemi

Dilansir dari KBR bahwa memasuki musim kemarau, kebakaran hutan dan lahan masih menjadi bencana tahunan di negeri ini. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, secara umum Pulau Sumatera, terutama di Riau, sebagian Sumatera Utara dan Jambi, sudah memasuki musim kemarau. Berdasarkan titik api satelit Terra/Aqua Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), awal Mei lalu sudah muncul lebih dari 700 titik titik.

Musim kemarau pada 2020 ini, selain akan memunculkan ancaman kebakaran, juga memiliki dampak lanjutan langsung berupa meningkatnya risiko penularan COVID-19 pada masyarakat di sekitar wilayah kebakaran lahan dan hutan.
Pasalnya asap karhutla yang pekat akan memperburuk kondisi paru-paru. Sementara saat ini covid-19 juga menyerang sistem pernapasan.

Ternyata bukan hanya Indonesia yang mengalaminya. “Kota terbakar adalah gambaran diri Los Angeles yang terdalam”, tulis Joan Didion di Los Angeles Notebook dalam kumpulan tulisan Slouching Towards Bethlehem terbitan 1968. Kebakaran yang terjadi pada 2017 lalu bisa dikatakan kebakaran yang tak terbayangkan, belum pernah terjadi dan tidak pernah terpikirkan. Kebakaran serupa terjadi di California saat musim gugur 2017 yang menghanguskan lebih dari 500.000 hektare dan hampir 5000 kilometer perseginya jadi abu. 172 kebakaran terjadi dalam dua hari saja.

pencemaran udara kebakaran hutan

Apa artinya jika kita menyebut kebakaran-kebakaran di atas tidak pernah terjadi atau tak terbayangkan atau tidak pernah terpikirkan? Ya, seperti kasus langka yang terjadi sesudah beberapa puluh dasawarsa. Akhirnya menjadi teror baru bagi masyarakat yang ketakutan seperti ramalan iklim di film-film dan kini menjadi kenyataan.

New Normal

new normal dan udara tak bisa dihirup

unsplash.com/@rojekillian

Istilah New Normal ternyata sudah tercetus sejak kebakaran-kebakaran yang terjadi di planet ini menembus kota-kota tempat tinggal penduduk. Hal ini dikarenakan cuaca ekstrem yang tidak stabil. Jadi dalam satu dasawarsa saja ada peluang kebakaran-kebakaran besar seperti yang sudah terjadi beberapa tahun lalu, dan kemungkinan akan terjadi lagi dari tahun ke tahun. Inilah yang akan menjadi mimpi buruk semua orang dan menciptakan keadaan New Normal. Berdamai dengan asap.

Di seluruh dunia, sejak 1979 musim kebakaran bertambah hampir 20%. Diperkirakan pada 2050, kehancuran akibat kebakaran lahan akan berlipat ganda lagi. Untuk setiap satu derajat pemanasan global akan terjadi kebakaran yang meluas sampai empat kali lipat. (David Wallace-Wells dalam Bumi Yang Tak Dapat Dihuni halaman 77).

Kebakaran lahan tidak hanya terjadi di negara tropis, melainkan mewabah di seluruh dunia. Greenland yang tertutup es, kebakaran pada 2017 tampak melanda wilayah yang 10 kali lebih luas dibanding pada 2014. Hutan di Lingkaran Artika juga terbakar. Kebakaran sejauh itu di utara boleh jadi tampak relatif tidak berbahaya karena tak banyak orang hidup di sana. Namun kebakaran di utara meningkat lebih cepat daripada kebakaran di garis lintang rendah. Hal ini sangat mengkhawatirkan ahli iklim.

Abu dan jelaga yang dihasilkan oleh kebakaran akan menghitamkan es, sehingga menyerap lebih banyak cahaya matahari dan meleleh lebih cepat. Kebakaran Artika lain terjadi di perbatasan Rusia-Finlandia pada 2018 dan asap dari kebakaran di Siberia pada musim panas itu mencapai benua Amerika. Bayangkan!

Tiap tahun, di seluruh dunia, antara 260.000 dan 600.000 orang meninggal akibat asap kebakaran hutan dan lahan. (David Wallace Wells dalam The Uninhabitable Earth)

Bila Pohon Mati

kebakaran hutan udara yang tak bisa dihirup

unsplash.com/@dearjamie

Bila pohon mati karena proses alami, karena api maupun karena ditebang manusia, karbon yang tersimpan di dalamnya lepas ke atmosfer, kadang selama berabad-abad. Dengan cara seperti itu, pohon mirip dengan batubara. Itulah sebabnya efek kebakaran hutan bagi emisi gas rumah kaca termasuk yang paling ditakuti diantara berbagai lingkaran umpan balik iklim. Hutan-hutan di dunia yang biasanya menyerap karbon, bakal menjadi sumber karbon, melepas gas yang terserap.

Dampaknya bisa jadi sangat dramatis bila kebakaran terjadi di hutan yang tumbuh di atas lahan gambut. Kebakaran lahan gambut di Indonesia misalnya pada 1997 melepas sampai 2,6 miliar ton karbon (40% emisi global tahunan). Dan makin banyak kebakaran berarti makin banyak pemanasan lalu makin banyak lagi kebakaran. Di Amazon, yang pada 2010 mengalami “kekeringan seratus tahun sekali” untuk kedua kalinya terjadi dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Kini, pohon-pohon di Amazon menyerap seperempat dari seluruh karbon yang terserap hutan seplanet ini tiap tahun. Lalu siapa yang bertanggung jawab? Tidak, bukan hanya Indonesia. Amerika Serikar menghasilkan sekitar 5 gigaton karbon. Lalu disusul dengan negara dengan emisi gas rumah kaca terbesar di dunia yang sejauh ini didapuk oleh Tiongkok. Tiongkok bertanggung jawab atas 9,1 gigaton emisi pada 2017.

Akibat Penggundulan Hutan

Penggundulan hutan yang terjadi di seluruh dunia menyebabkan sekitar 12% emisi karbon dan kebakaran hutan menyebabkan sampai 25%. Kemampuan tanah hutan menyerap metana turun sampai 77% dalam tiga dasawarsa saja. Lalu penggundulan hutan ini akan dapat menambah 1,5 derajat celcius ke pemanasan global.

Masih dari buku Bumi Yang Tak Dapat Dihunidisebutkan bahwa dalam sejarah, laju emisi dari penggundulan hutan bahkan lebih tinggi, karena pembabatan hutan menyebabkan 30 persen emisi dari 1861 sampai 2000. Selain itu ada dampak pada kesehatan masyarakat juga. Tiap kilometer persegi hutan yang dibabat habis menghasilkan dua puluh tujuh kasus malaria tambahan, karena apa yang disebut “proliferasi vektor”, yaitu jika pohon ditebangi, nyamuk datang.

Udara yang tak bisa dihirup

new normal pencemaran udara

unsplash.com/@mborisov

Paru-paru kita butuh oksigen. Namun unsur kimia tersebut hanya sebagian udara yang kita hirup. Lalu bagian itu cenderung berkurang jika ada makin banyak karbon di atmosfer. Itu tak berarti kita terancam sesak napas. Karena oksigen masih cukup banyak. Tapi kita akan tetap menderita, dengan kadar karbondioksida 930 parts per million (di atas dua kali lipat yang sekarang) kemampuan kognitif turun 21%.

Efeknya akan lebih terasa ketika kita berada di dalam ruangan. Ketika kita berada dalam ruangan, CO2 cenderung berkumpul. Inilah salah satu alasan kenapa kita seringkali lebih mengantuk dibandingkan ketika jalan-jalan di luar. Ini juga mungkin yang menyebabkan konsentrasi pelajar dan mahasiswa kita seringkali terganggu karena lebih cepat mengantuk. Karena didapati rata-rata CO2-nya sudah mencapai rata-rata 1.000 parts per million. Angka yang cukup mengkhawatirkan mengingat lingkungan sekolah dan universitas adalah bagian yang kita rancang untuk mendorong prestasi intelektual.

Namun ruang kelas bukanlah yang terburuk. Penelitian-penelitian lain telah menunjukkan konsentrasi lebih tinggi lagi di pesawat terbang, dengan efek yang mungkin bisa kita gali kembali dari ingatan pengalaman pribadi.

Beberapa tahun belakangan, para peneliti telah mengungkap sejarah kesusahan akibat bensin dan cat timbal pada setengah abad terakhir. Pencemaran partikular kecil ternyata menurunkan prestasi kognitif dalam jangka panjang begitu banyak, sehingga para peneliti menyebut efeknya “besar sekali”. Tidak berhenti disitu, polusi sudah dikaitkan dengan bertambahnya penyakit mental pada anak dan kemungkinan kepikunan pada orang dewasa.

Kemudian ada ancaman kesehatan yang lebih familier dari polusi. David Wallace Wells dalam bukunya Bumi Yang Tak Dapat Dihuni memaparkan fakta-fakta dari hasil jurnal ilmiah dan makalah internasional bahwa pada 2013, melelehnya es Artika mengubah pola cuaca Asia. Mulai dari Tiongkok, Nepal, hingga India, bahkan di Indonesia sendiri. Ketika kita melihat kebakaran di Pulau Sumatra dan Kalimantan beberapa tahun silam tertutup kabut berwarna abu-abu yang begitu tebal sampai menghalangi matahari.

Ibu Kota India didiami 26 juta jiwa. Pada 2017, menghirup udaranya setara merokok dua bungkus lebih per hari dan rumah sakit lokal mendapat kenaikan jumlah pasien 20%.

Polusi juga menaikkan jumlah kasus stroke, penyakit jantung, segala jenis kanker, penyakit saluran pernapasan akut dan kronis seperti asma, dan gangguan kehamilan termasuk prematur. Riset baru atas efeknya ke perilaku dan pertumbuhan barangkali lebih mengerikan daripada polusi udara itu sendiri. Polusi udara telah dikaitkan dengan buruknya ingatan, perhatian dan kosakata, serta ADHD dan gangguan spektrum autisme. Polusi telah ditunjukkan merusak perumbuhan sel saraf di otak, dan kedekatan dengan pabrik yang membakar batu bara bisa merusak DNA manusia.

Tawar Menawar dengan Iblis

Perkara perubahan iklim tidak begitu saja selesai pada kenaikan air laut, wabah mematikan, kebakaran hutan yang lebih sering, hingga udara yang tak bisa dihirup. Namun peraih Nobel Paul Crutzen menyebut “Catch-22” yang dijabarkan oleh penulis iklim Eric Holthaus sebagai “tawar menawar dengan iblis”.

Pilihan antara polusi yang merusak kesehatan masyarakat atau langit jernih yang sehat tapi mempercepat perubahan iklim.

Begini formulanya : Hilangkan polusi dan jutaan jiwa selamat setiap tahun. Tapi terjadi kenaikan pemanasan global. Kita bakal mengalami antara 1,5 dan 2 derajat kenaikan suhu planet dibanding suhu awal masa pra-industri. Kenaikan ini akan mendorong kita langsung ke batas 2 derajat pemanasan, yang sudah lama dianggap sebagai batas pemisah masa depan yang nyaman dan bencana mengerikan akibat iklim.

Inilah skenario terburuknya.

Rumah menjadi senjata, jalan menjadi jebakan maut karena bencana alam tidak lagi alami, udara pun menjadi racun. Pegunungan indah yang dibangun menjadi tempat-tempat wisata menjadi ladang pembantaian. Mereka tak juga tersadarkan

Gerakan Penghijauan

Yuk mulai dari diri sendiri dengan ikut menjaga keanekaragaman hayati milik bumi. Kita bisa memulainya dengan kegiatan menanam pohon, tumbuh-tumbuhan yang bisa dimanfaatkan atau menambah ruangan hijau terbuka di rumah, sekolah, universitas, hingga pada lingkup kantor atau tempat kerja masing-masing.

Jika bukan kita yang memulai gerakan penghijauan, siapa lagi? Yuk mulai dari diri sendiri, keluarga, hingga menjadi pola hidup masyarakat yang ikut menjaga keseimbangan oksigen di planet ini.