Environmental Social Governance (ESG) adalah salah satu win-win solution yang bisa ditawarkan hingga saat ini untuk mengurangi dampak dari polusi yang dihasilkan oleh industri namun tetap mendukung laju perekonomian di suatu negara.

Mengapa perlu ESG? Seperti yang telah kita ketahui, ada banyak hal yang sudah kita rasakan akibat pemanasan global yang terjadi di bumi ini. Mulai dari kebakaran hutan, penggundulan lahan, air laut yang sekarat, polusi udara yang tak terkendali, dan lain sebagainya. Adalah sekian banyak hal yang disampaikan oleh para ahli sekaligus aktivis untuk menjelaskan bahwa bumi kita sedang tidak baik-baik saja.

Mungkin saat ini kita merasa baik-baik saja ketika banyak kemudahan yang diberikan oleh teknologi. Sehingga seolah tak merasakan bagaimana naiknya suhu bumi satu derajat saja dapat mengakibatkan banyak hal yang merugikan. Tidak hanya untuk umat manusia tapi juga makhluk lain pada umumnya.

Environmental Social Governance

Bumi Saat Ini

Tidak hanya bencana alam akibat kerusakannya. Namun di sisi lain kita harus siap dengan konsekuensi jatuhnya perekonomian akibat adanya perubahan iklim.

Terdapat riset paling menarik mengenai ekonomi pemanasan global yang berasal dari Solomon Hsiang, Marshall Burke dan Edward Miguel. Mereka menganalisis bahwa di suatu negara yang sudah relatif hangat, tiap derajat Celcius pemanasan mengurangi pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar satu persen.

Satu persen di mata kita mungkin angka yang kecil. Seperti satu persen dari seratus? Tentu saja tidak. Angka ini besar lho. Mengingat kita juga beranggapan bahwa satu digit rendah saja sudah “kuat”. Inilah salah satu penelitian penting di bidangnya.

Mungkin saat ini kita bisa menikmati kemajuan ekonomi yang pesat karena “seolah-olah” energi fosil yang kita keruk habis tiada akhirnya itu memang tidak akan habis. Tidak. Suatu saat mereka akan habis dan bumi sudah menjadi renta, bumi sudah rusak karena berbagai macam polusi yang dihasilkan oleh industri yang mengeruknya.

Penelitian itu menyatakan bahwa ada peluang 51% perubahan iklim akan mengurangi keluaran ekonomi global di atas 20% pada tahun 2100, dibanding dunia tanpa pemanasan, dan ada peluang 12% pemanasan global menurunkan PDB per kapita 50 persen atau lebih bila emisi tidak diturunkan.

Sebagai perbandingan, depresi besar akibat perubahan iklim ini diperkirakan akan menurunkan PDB global sekitar 15%. Hsiang dan koleganya memperkirakan ada peluang satu banding delapan terjadi efek yang terus berlangsung dan tak bisa dikembalikan pada 2100 (dimana hal itu dua puluh lima kali lebih buruk).

Kehancuran Ekonomi Akibat Pemanasan Global

Skala kehancuran ekonomi akibat pemanasan global yang diperkirakan oleh para peneliti bahkan sukar dibayangkan. Bahkan di negara-negara kaya pasca industri di Barat yang sudah banyak menggunakan Energi Terbarukan sebagai pengganti energi fosil saja agak sugar dicerna. Saking dahsyatnya dampaknya nanti bagi perekonomian.

Bagaimana dengan kerusakan di setiap negara?

Munculnya wabah Covid-19 saja sudah banyak menghantam banyak sektor perekonomian global. Mau tidak mau kita pun harus menghadapi itu. Bagaimana jika hadir bencana lain yang lebih dahsyat akibat dari pemanasan global?

Mungkin ada tempat-tempat yang mendapatkan keuntungan, di utara, dimana suhu lebih hangat dan bisa mendukung pertanian dan produktivitas ekonomi seperti Kanada, Rusia, Skandinavia, Tanah Hijau. Namun bagaimana dengan negara di lintang menengah? Negara-negara tempat sebagian besar kegiatan ekonomi dunia (seperti Amerika dan Tiongkok) kehilangan hampir separuh potensi keluaran ekonomi.

Pemanasan bumi dekat khatulistiwa lebih parah, dengan kerugian di seantero Afrika, dari Meksiko sampai Brasil, serta di India dan Asia Tenggara mencapai 100%.

Satu penelitian menyatakan bahwa India saja bakal menanggung seperempat kesengsaraan ekonomi dunia akibat perubahan iklim.

sumber daya air kehidupan

source : unsplash

Pada tahun 2018 silam, Bank Dunia pun memperkirakan bahwa jalur emisi karbon sekarang bakal memerosotkan kondisi hidup 800 juta orang yang hidup di seluruh Asia Selatan. Katanya seratus juta orang akan terjerumus kemiskinan ekstrem akibat perubahan iklim dalam dasawarsa mendatang.

Kelompok masyarakat yang paling rentan adalah mereka yang baru saja keluar dari kemiskinan dan hidup pas-pasan, melalui pertumbuhan negara berkembang seperti Indonesia ini. Namun didorong pula dengan industrialisasi dan bahan bakar fosil.

Mungkin kita terbiasa dengan penghiburan bahwa kemunduran dalam gerak maju pertumbuhan ekonomi. Namun kita juga harus tahu bahwa kemunduran yang disebut sementara dan kemudian diberi ilusi pengharapan bahwa ekonomi akan pulih dengan cepat adalah hiburan belaka. Perubahan iklim bukan berpengaruh seperti itu. Bukan resesi besar, melainkan sekarat besar di bidang ekonomi.

Bagaimana hal tersebut dapat terjadi?

Jawabannya tak lain dan tak bukan karena bumi yang sudah tak layak dihuni karena adanya pemanasan global itu sendiri. Bencana alam, banjir, krisis kesehatan masyarakat, semua itu bukan hanya tragedi melainkan juga butuh biaya mahal, dan akan mulai bertumpukan dengan laju tak terduga lainnya.

Panas berdampak langsung bagi pertumbuhan, sebagaimana terhadap kesehatan masyarakat. Beberapa efek ekstremnya sudah bisa kita lihat. Contohnya saja rel kerete melengkung atau penerbangan batal karena suhu tinggi menghilangkan aerodinamika yang memperkenankan pesawat terbang lepas landas. Karena menurut ilmuwan, ibaratnya tiap tiket pesawat terbang pulang pergi dari New York ke London telah membuat Artika kehilangan tiga meter persegi es.

Kemudian dari Swiss ke Finlandia, gelombang panas telah membuat pembangkit listrik diberhentikan operasinya karena cairan pendingin sudah terlalu panas untuk mendinginkan. Lalu di India, pada 2012, 670 juta orang tak mendapat listrik ketika jaringan listrik negara itu dibebani para petani yang berusaha mengairi lahan tanpa bantuan musim hujan yang tak terjadi.

Semua proyek kecuali yang paling mentereng di semua bagian dunia kecuali yang paling kaya, infrastruktur planet ini tidak dibangun untuk menghadapi perubahan iklim, artinya kelemahannya ada dimana-mana. Jadi jangan anggap remeh limbah industri yang banyak kita hasilkan saat ini.

Economic Ripple Effect

Dalam dunia dengan globalisasi, ada sesuatu yang Zhang Zhengtai dan kawan-kawan penelitinya sebut sebagai “efek riak ekonomi” atau economic ripple effect. Mereka juga telah menghitungnya, dan mendapati bahwa dampaknya memang semakin besar seiring dengan pemanasan global.

Banyak terjadi bencana di Indonesia, seperti banjir dan bencana alam, tanpa disadari inilah salah satu dampak yang dirasakan. Dengan kenaikan dua derajat, efek riak ekonomi di dunia akan berlipat tiga. Walau efeknya berlangsung berbeda-beda di berbagai belahan dunia. Dibanding dampak kerugian Amerika pada satu derajat, di dua derajat efek riak ekonomi di Tiongkok bakal 4,5 kali lebih besar. Bagaimana dengan Indonesia? Bisa dibayangkan ya.

Gelombang kejut yang menyebar dari negara-negara lain lebih kecil karena ekonominya memang lebih kecil. Tapi gelombang itu akan datang dari hampir semua negara di dunia.

Entah baik atau buruk, di negara-negara maju di Barat mereka telah menetapkan bahwa pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya ukuran terbaik kesehatan masyarakat, meski tak sempurna. Tentu saja dengan ukuran itu, perubahan iklim bisa diukur dampaknya, dengan kebakaran, kekeringan dan kelaparan, dampaknya besar sekali.

Biayanya sudah melangit. Satu badai di negara Barat saja menimbulkan kerugian ratusan miliar dolar. Andai planet ini memanas 3,7 derajat, seperti menurut satu perkiraan, maka kerusakan akibat perubahan iklim dapat bernilai total 551 triliun dolar (hampir dua kali lipat seluruh kekayaan yang ada di dunia sekarang). Dimana kita? Menuju pemanasan yang lebih tinggi lagi.

Environmental Social Governance ESG Sebagai Kontrol

Berdasarkan CESGS disebutkan bahwa Environmental, Social, and Governance atau yang biasa disingkat dengan ESG adalah seperangkat standar operasional yang merujuk pada tiga kriteria utama dalam mengukur keberlanjutan dan dampak dari sebuah investasi pada suatu perusahaan.

ESG menjadi penting sebagai salah satu pengendali limbah yang dihasilkan oleh industrialisasi. Limbah yang merusak tanah, udara, hingga air bersih. Hal ini bukan lagi teori, tapi kita sudah merasakannya.

ESG hadir sebagai kontrol bagi perusahaan untuk mengendalikan kegiatan operasionalnya yang berhubungan dengan pengolahan limbah industri ini. Jika kita memang tidak bisa menghindari pemanasan global yang lambat laun akan membuat bumi ini tidak layak huni, paling tidak kita bisa menekan lajunya dengan kehadiran ESG ini.

ESG merupakan sebuah standar perusahaan dalam praktik investasinya yang terdiri dari tiga konsep atau kriteria: Environmental (Lingkungan), Social (Sosial), dan Governance (Tata Kelola Perusahaan).

Dengan kata lain, perusahaan yang menerapkan prinsip ESG dalam praktik bisnis dan investasinya akan turut mengintegrasikan dan mengimplementasikan kebijakan perusahaannya sehingga selaras dengan keberlangsungan tiga elemen tersebut.

Kriteria Environmental Social Governance (ESG)

Kriteria lingkungan akan menjadi konsiderasi utama perusahaan untuk melakukan performa finansial dan operasi yang tinggi namun bersifat berkelanjutan dan tidak merusak alam. Lalu Kriteria sosial akan berusaha untuk mendalami hubungan baik antara masyarakat luar dengan perusahaan, maupun antara pekerja, pemasok produk, pelanggan, komunitas, dan sebagainya.

Kriteria tata kelola perusahaan membahas mengenai kapasitas dan legitimasi sebuah perusahaan, hubungan internal, kontrol internal, hak-hak investor, dan sebagainya.

Mungkin pembahasan sederhana di atas masih terkesan taksa dan abu-abu, sehingga memunculkan beberapa pertanyaan, seperti: Lantas, mengapa konsep ESG dan keberlanjutan terikat kepada sebuah perusahaan?

Untuk menjawab hal ini, sebelumnya kita akan membahas lebih lanjut mengenai kriteria-kriteria ESG dan hubungannya yang erat dengan keberlangsungan perusahaan.

1. Kriteria Lingkungan (Environment)

Kriteria lingkungan pada ESG turut membahas mengenai penggunaan energi sebuah perusahaan, limbah, polusi, konservasi sumber daya alam, dan perilaku terhadap flora dan fauna.

Dengan menempatkan kriteria lingkungan dalam manajemen resiko perusahaan, tentunya akan meminimalisir resiko berpotensi hadir dari kriteria lingkungan tersebut. Kriteria ini juga bisa digunakan untuk melakukan evaluasi sebuah perusahaan dalam bagaimana entitas perusahaan terkait beroperasi.

Integrasi ESG dengan sebuah perusahaan pun harus selalu diiringi dengan komitmen dan implikasinya pada kebijakan perusahaan. Sebagai contoh, perusahaan yang telah mengintegrasikan kriteria lingkungan pada perusahaannya dapat membuat atau merevisi regulasi dan kebijakan perusahaannya pada isu yang terkait. Penggunaan energi yang lebih terbarukan, efisiensi sumber daya alam, manajemen limbah dan pembuangan merupakan beberapa implikasi nyata hasil dari integrasi perusahaan pada kriteria lingkungan.

Tentunya, komitmen ini akan memberikan dampak positif–baik kepada perusahaan maupun kepada lingkungan. Dengan kondisi lingkungan yang baik dan mendukung, maka sebuah perusahaan pun akan mendapatkan keberlanjutan dalam operasi bisnisnya.

Dengan kata lain, melalui manajemen risiko yang baik maka peforma finansial perusahaan pun akan lebih mudah untuk tercapai.

2. Kriteria Sosial (Social)

Kriteria sosial dalam ESG lebih melihat hubungan sebuah perusahaan secara eksternal. Komunitas, masyarakat, pemasok, pembeli, media, dan entitas-entitas lain yang memiliki hubungan baik langsung maupun tidak langsung adalah hal yang harus dikonsiderasikan melalui kriteria sosial ESG.

Hal ini disebabkan beberapa faktor dari kriteria sosial akan memberikan dampak pada performa finansial perusahaan.

Tentunya, siap atau tidak siapnya sebuah perusahaan dalam mengadaptasikan posisinya pada masalah sosial akan mempengaruhi citra sebuah perusahaan. Sehingga, memfokuskan dan mendalami isu-isu sosial menjadi resiko manajemen perusahaan merupakan konsiderasi yang harus diimplementasikan dalam kebijakan perusahaan.

Sebagai contoh, sebuah perusahaan harus bergerak secara aktif untuk terus mendalami isu dan hak pekerjanya. Pertama, karena kesadaran akan hak pekerja adalah hal yang semakin mudah untuk diakses dan dipahami. Kedua, karena jika hak pekerja tidak dapat terpenuhi, kemungkinan tinggi masalah ini akan bermanifestasi untuk lebih besar dan merambat pada entitas-entitas sosial lain.

Sehingga, perusahaan harus menjadi aktor pertama dan terdepan untuk melihat kriteria sosial ESG untuk diimplementasikan dalam kebijakan perusahaan.

Serupa dengan kriteria lingkungan, apabila kriteria sosial dapat disingkapi dan dikelola dengan baik maka tentunya hal ini akan kembali ke performa finansial dan keberlanjutan sebuah perusahaan.

3. Kriteria Tata Kelola (Governance)

Kriteria governance atau tata kelola perusahaan memokuskan pada bagaimana sebuah perusahaan memiliki proses pengelolaan yang baik dan berkelanjutan pada bagian internalnya. Jika kriteria sosial memokuskan pada hubungan eksternal, maka kriteria governance melihat manajemen atau tata kelola sebuah perusahaan.

Kriteria ini membahas dan mencakup aktivitas perusahaan, tergantung aktivitas manajemen dan pemilik perusahaan. Sehingga hasil atau output yang dirancang seperti kebijakan perusahaan, standar perusahaan, budaya, penyingkapan informasi, proses audit dan kepatuhan merupakan hal-hal yang turut diperhatikan.

Hal ini tentunya menjadi nilai plus bagi perusahaan. Nilai plus ini kemudian dapat dikonversikan untuk memberikan kepercayaan diri calon investor untuk berinvestasi pada perusahaan terkait.

Sebagai contoh, tata kelola keuangan perusahaan yang transparan, legal dan tidak melanggar hak etik tentunya adalah hal yang selalu diperhitungkan oleh investor.

Sebaliknya, perusahaan yang memiliki sistem manajemen yang tidak transparan, melanggar hukum, dan hak etik tentunya akan menjadi nilai negatif pada praktik bisnis dan investasinya. Pemalsuan data, korupsi, skandal internal, konflik kepentingan adalah risiko-risiko internal yang harus dikonsiderasikan dan dihitung pada pengambilan dan perancangan regulasi perusahaan.

Kegagalan komitmen perusahaan untuk mengedepankan ESG sebagai kriteria dalam praktik investasinya pun bisa menjadi masalah.

kriteria ESG Environmental Social Governance

Pengelolaan Limbah untuk Environmental Social Governance

Semua pelaku usaha memang harusnya proaktif mengevaluasi limbah yang mereka hasilkan dan menentukan cara terbaik untuk mengelolanya sesuai peraturan pemerintah yang berlaku. Berikut langkah-langkah membuat rencana pengelolaan limbah sesuai U.S Environmental Protection Agency (EPA) atau Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat yang dapat kita jadikan rujukan pula untuk Environmental Social Governance bagi industri-industri di Indonesia.

1. Membentuk tim pengelola limbah

Perusahaan bisa menentukan tim pengelola limbah yang bertanggung jawab untuk menangani dan mengelola limbah di setiap area produksi dan untuk keseluruhan industri. Tim pengelola limbah ini harus mencakup beberapa pekerja yang kompeten, seperti operator pabrik, insinyur, ahli kimia/kimiawan, atau manajer produksi.

Koordinator tim bertanggung jawab untuk mengirim laporan secara berkala kepada pimpinan perusahaan terkait semua hal yang berhubungan dengan pengelolaan limbah. Pembentukan tim pengelola limbah disesuaikan dengan ukuran perusahaan.

2. Menentukan ruang lingkup pengelolaan limbah

Koordinator tim harus menetapkan ruang lingkup, termasuk tujuan dan sasaran pengelolaan limbah. Setiap industri tentu berbeda tergantung jenis, kegiatan produksi yang dilakukan, dan teknologi pengelolaan limbah yang tersedia. Dalam hal ini, tim pengelola juga harus mengetahui alasan program penilaian limbah perlu dilakukan dan tujuannya, serta kebijakan perusahaan tentang perlindungan lingkungan, seperti program minimisasi limbah.

3. Membuat perencanaan sebelum melakukan survei/penilaian

Langkah selanjutnya adalah tahap pra-penilaian limbah. Proses penilaian limbah berfokus pada operasi pabrik dan prosesnya, gambaran umum mengenai bahan baku produksi, serta metode pengolahan dan pembuangan limbah.

Tim pengelola limbah harusnya melakukan :

  • Membuat daftar semua kegiatan produksi di pabrik
  • Mengumpulkan informasi yang tersedia tentang setiap kegiatan produksi
  • Memberikan gambaran umum tentang semua zat atau bahan baku produksi
  • Memberikan gambaran umum tentang semua limbah dan emisi yang dihasilkan di masing-masing area produksi
  • Membuat daftar semua langkah perlindungan lingkungan. Hal ini mengacu pada UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
  • Mengidentifikasi semua persyaratan peraturan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan limbah untuk setiap kegiatan produksi
  • Membuat daftar permasalahan terkait limbah atau pencemaran limbah yang diketahui
  • Menetapkan prioritas kegiatan produksi yang akan dinilai
  • Menjalankan ruang lingkup pengelolaan limbah.

Selanjutnya, tim pengelola dan penilaian limbah harus menentukan bagaimana penilaian limbah dilakukan dan waktu pelaksanaannya.

4. Melakukan survei/penilaian limbah (waste assessment)

Proses penilaian limbah di masing-masing area produksi mencakup jenis limbah yang dihasilkan, melakukan sampling, analisis, dan pengukuran limbah,  investigasi pemanfaatan limbah, dan dampak yang ditimbulkan limbah terhadap lingkungan. Penilaian limbah harus dilaksanakan secara metodis dan sistematis. Perhatikan hal apa saja yang harus ditindaklanjuti selama penilaian limbah.

5. Melakukan evaluasi dan analisis kelayakan

Pada tahap ini, tim pengelola dan penilaian limbah melakukan evaluasi hasil penilaian limbah, mengidentifikasi peluang-peluang yang memberikan manfaat ekonomi dan lingkungan, dan mengembangkan beberapa opsi untuk program minimisasi limbah.
Perusahaan dapat melakukan analisis kelayakan secara teknis dan ekonomi pada masing-masing opsi untuk menentukan peluang minimisasi limbah mana yang dipilih atau diadopsi.

Minimisasi limbah adalah upaya untuk mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas, dan tingkat bahaya limbah yang berasal dari proses produksi, dengan cara pengurangan penggunaan sumber daya dan energi dan/atau pemanfaatan limbah berupa penggunaan kembali (reuse), daur ulang (recycle), dan perolehan kembali (recovery).

Setelah upaya minimisasi limbah dilakukan dengan maksimal, kemudian limbah yang terbentuk selanjutnya diolah dengan memperhatikan baku mutu lingkungan yang berlaku.

6. Membuat laporan hasil penilaian limbah

Laporan penilaian limbah harus didokumentasikan dengan baik dan menyertakan informasi yang sudah dikumpulkan. Laporan penilaian limbah biasanya mencakup jenis-jenis limbah yang dihasilkan, bahaya atau dampak yang ditimbulkan, dan minimisasi limbah yang akan dilakukan.

7. Membuat rencana pengelolaan limbah

Baik laporan penilaian limbah maupun analisis kelayakan strategi minimisasi limbah yang dipilih itu harus ditinjau oleh tim pengelola limbah. Dari sinilah, rencana pengelolaan limbah dibuat dan diimplementasikan.

Dalam membuat rencana pengelolaan limbah, tim pengelola juga harus mengidentifikasi biaya operasional dari strategi minimisasi limbah yang dipilih. Informasi ini dapat berfungsi sebagai dasar untuk mengukur kemajuan dan penghematan biaya lingkungan.

Rencana pengelolaan limbah yang dibuat belum berbentuk dokumen teknis, tetapi lebih kepada pembahasan tentang bagaimana penilaian limbah dilakukan dan bagaimana strategi minimisasi limbah itu dipilih dan diimplementasikan. Hal tersebut harus ditentukan secara jelas, tindakan apa yang akan dilakukan, kapan melakukannya, dan tujuan apa yang akan dicapai atau diharapkan.

Rencana pengelolaan limbah harus menjadi dokumen yang mudah dibaca dan dipahami pekerja serta pihak-pihak lain yang berada di sekitar lingkungan perusahaan. Dokumen rencana pengelolaan limbah merupakan titik awal atau panduan awal untuk meminimalkan produksi limbah.

8. Menerapkan rencana pengelolaan limbah

Setelah rencana pengelolaan limbah disetujui oleh pimpinan perusahaan, beberapa strategi bisa disosialisasikan dan dijelaskan kepada pekerja, serta diterapkan sesuai dengan prosedur yang tertuang dalam rencana.

Dalam beberapa kasus, rencana pengelolaan limbah memerlukan persetujuan pemerintah daerah setempat. Tim pengelola limbah harus memantau pelaksanaan rencana, performa perbaikannya, dan meninjau ulang rencana secara berkala.

9. Memantau dan meninjau ulang rencana pengelolaan limbah

Minimisasi limbah adalah proses, bukan tujuan. Rencana pengelolaan limbah harus ditinjau dan diperbarui secara berkala karena dua alasan, pertama, untuk memastikan bahwa pengelolaan limbah yang kurang efektif tidak terulang kembali dan kedua, untuk mengidentifikasi peluang minimisasi limbah yang baru.

Adanya pengelolaan limbah tersebut di atas memang tidak akan menjamin dapat menghilangkan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan bagi bumi dan ekonomi. Namun paling tidak, adanya pengelolaan limbah yang baik dan benar dapat menjadi perhatian penting perusahaan mengenai Environmental Social Governance (ESG) ini. Tidak hanya menumbuhkan perekonomian, namun kita juga harus ikut berperan aktif untuk menjaga bumi ini dari kerusakan melalui Environmental Social Governance (ESG).

Yuk, kawal dan dukung penuh Environmental Social Governance (ESG).

 

Referensi :

CESGS

Governansi.org

Safetysign.co.id

Bumi Yang Tak Dapat Dihuni oleh David Wallace-Wells

 

Ikuti juga komunitas pertanian Sariagri untuk mendukung pertanian di Indonesia. Baca juga kumpulan Testimoni Mosehat untuk Semua Penyakit di sini