Bentuk ketidakadilan pada perempuan ternyata bukan hanya soal isu kekerasan fisik yang banyak dibahas di berbagai forum, majelis, maupun media. Bentuk ketidakadilan pada perempuan ini sempat dibahas lho pada Sharing Session bersama program ODOP (One Day One Post) ICC dan Mubadalah.id

Sharing Session pertama kali ini saya ikuti bersama program ODOP ICC pada Senin, 11 Januari 2021. Meskipun dengan kondisi yang sebenarnya tidak memungkinkan, namun karena bahasannya sangat menarik, jadi saya bertekad untuk mendengarkannya sampai akhir. Pemantik kami malam itu adalah Kak Muyassarotul Hafidzoh, seorang penulis novel sekaligus aktivis perempuan.

Kali ini beliau membuka sesi sharingnya bersama kami dengan tema Peran Keluarga Sebagai Support Sistem Penyintas Kekerasan Seksual yang kemudian dikerucutkan pada permasalahan yang sering terjadi, yaitu bentuk ketidakadilan pada perempuan. Sehingga ia kerap menerima kekerasan, terlebih kekerasan seksual.

ss zoom meeting

Bentuk Ketidakadilan Pada Perempuan menurut Muyassaro

Beliau menyebutkan lima bentuk ketidakadilan pada perempuan sebagai berikut :

1. Marginalisasi

Proses atau perlakuan peminggiran seseorang khususnya karena perbedaan jenis kelamin masih terjadi. Kurangnya pemahaman seksualitas khususnya pada sistem reproduksi kerap menjadi sasaran utamanya. Misalkan ketika seorang buruh pabrik perempuan hamil atau melahirkan, jika ia izin tidak masuk bekerja bisa diancam potong gaji atau bahkan pemutusan hubungan kerja.

Atau masih ada anggapan suatu profesi yang dilakoni perempuan adalah lebih cocok yang berjabatan rendah dan tidak terlalu tinggi. Alasan pandangan tersebut adalah laki-laki akan menjadi tersingkirkan dan merasa direndahkan pula. Padahal akar permasalahan yang memang salah adalah penyebab kuatnya budaya patriarki.

2. Subordinasi

Seseorang berhak meraih kesempatan yang sama dalam politik, ekonomi, sosial, pendidikan, jabatan dan karier. Memprioritaskan penyerahan jabatan kepada seorang laki-laki daripada perempuan yang juga memiliki kapabilitas yang sama adalah salah satu contoh ketidakadilan. Tidak hanya menomorduakan, pandangan superioritas terhadap laki-laki untuk sebuah jabatan tertentu harus diubah.

Kemampuan kecerdasan bekerja tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan ditentukan oleh kapasitas dan kesanggupannya memikul tanggung jawab.

3. Kekerasan

Seseorang yang diperlakukan kasar bukan dianggap sebagai subjek, tetapi objek yang wajar dijadikan pelampiasan. Telah banyak kasus yang tercatat bahwa perempuan sering dijadikan objek kekerasan oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Tindakan tersebut terjadi karena masih ada anggapan kuasa dan superioritas laki-laki terhadap perempuan.

Sudah demikian, korban kekerasan jika melawan malah dianggap berdusta, mencemarkan nama baik, dan hanya sekedar mencari sensasi. Apabila tidak menaati perintah laki-laki atau suami malah dikatakan durhaka, dan melanggar perintah agama. Tentu ironi yang masih banyak ditemui di lingkungan sekitar kita.

4. Stereotype

Banyak stigma atau label yang melekat pada diri kita karena konstruksi sosial di masyarakat. Misalkan saja, perempuan harus bekerja pada ranah domestik, sedangkan laki-laki pada sektor publik. Anak laki-laki yang mudah menangis dianggap sebagai laki-laki yang lemah atau cengeng, bukannya dianggap sebagai ungkapan emosi yang wajar.

5. Beban Ganda yang Dipaksakan

Biasanya sering terjadi dalam ranah rumah tangga, perempuan yang berkarier di luar harus mengurus urusan domestik juga tanpa bantuan siapapun. Pembagian kerja tanpa kesepakatan seperti ini masih sering dialamatkan kepada perempuan sebagai korbannya. Bukannya malah saling membantu, ada pula laki-laki atau suami yang tidak membantu urusan rumah tangganya sendiri.

Sedangkan laki-laki tersebut bisa jadi tidak banyak bekerja dan hanya bersantai saja.

Pemahaman Gender dan Feminisme dalam Kasus Ketidakadilan pada Perempuan

Jika melihat dari tradisi suku saya, Jawa, hubungan laki-laki dan perempuan dipahami sebagai hubungan yang saling melengkapi. Maka ada istilah garwo (sigaraning nyowo) yang berarti separuh jiwa ini diberikan pada pasangan suami istri. Lalu saat ini banyak wanita sudah umum mendiskusikan tentang perencanaan keluarga dan bahkan banyak juga yang penghasilannya melebihi suaminya.

ketidakadilan pada perempuan

Meskipun demikian, tidak semua perempuan di Jawa bisa mengakses ekonomi dam terlibat dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat. Kebebasan akses mereka tetap sangat bergantung dengan kelas sosial, etnis, dan wilayah dimana dia berada. Lalu persepsi gender dan seksualitas dalam budaya tradisional masyarakat Jawa yang seperti inilah yang setidaknya memengaruhi arah dan perspektif gerakan kesetaraan gender di Indonesia. Mengingat Pulau Jawa adalah pulau paling padat penduduknya dan mendominasi sektor formal Pemerintahan, maka tidak mengherankan bahwa budaya dan filsafat pemikiran Jawa memengaruhi, baik dalam arah gerakan perempuan maupun kebijakan Pemerintah.

Para feminisme memperdebatkan kata Islam dan feminisme. Pada persoalan ini lalu apakah feminisme sesuai dengan ajaran Islam atau tidak. Perdebatan tersebut erat kaitannya dengan polemik antara dunia Barat dan Timur, yang memandang sebagai feminisme sebagai barat dan Islam memiliki dimensi nilainya sendiri.

Lalu jika ada seseorang yang menyebutkan bahwa banyak ajaran Islam yang tidak mendukung adanya kesetaraan gender sehingga banyak terjadi ketidakadilan pada perempuan maka saya ingin mengutip sebuah pendapat dari Hammed Shahidin. Beliau mengatakan bahwa,

Islam berada di jalur keyakinan. Sedang feminisme merupakan sebuah istilah sekuler. Oleh sebab itu Islam dan feminisme tidak bisa disatukan. Mengutip juga pendapat Moghadam dan Mojab bahwa istilah feminisme Islam itu problematik dan merupakan oksimoron dalam perbendaharaan kata di dunia Islam. Para pendukung argumen ini berpendapat bahwa masyarakat Muslim tidak perlu mengimpor istilah dan nilai Barat dalam masyarakat Islam. Apalagi Muslim telah memiliki ajaran dalam kitab suci yang menurut mereka lebih relevan dan secara kultural lebih sesuai dibandingkan apa yang ditawarkan Barat

Meskipun begitu saya juga tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat tersebut, karena Islam dan feminisme sesungguhnya harmonis. Akademisi kontemporer yang setuju dengan istilah feminis Islam seperti Laila Ahmed, Riffat Hassan, dan Fateema Memissi berpendapat bahwa feminisme sangat sesuai dengan ajaran Islam. Benar, Islam yang memuliakan perempuan.

Ketidakpahaman dalam ajaran agama Islam inilah yang menempatkan perempuan sebagai subordinat.

Pada konteks masyarakat Indonesia seharusnya kita bisa memiliki asumsi bahwa seorang Muslim yang juga seorang feminis harus menjadikan agama Islam yang ada di dalam Quran dan Hadis sebagai sumber rujukan dalam diskusi mereka. Mengingat Islam memainkan peran yang sangat penting di Indonesia, maka sangat sulit mempromosikan kesetaraan gender apabila feminisme gagal memahami paradigma, norma dan nilai-nilai dalam Islam. Jika tidak, mereka akan gagal pula menilai kasus tentang ketidakadilan pada perempuan.