Beberapa waktu lalu sebelum pandemi datang, saya pernah melakukan diskusi bersama AMAN (Asean Moslem Active Network) Jawa Timur yang saat itu diwakili oleh beberapa organisasi perempuan di Indonesia. Saat itu topik menarik yang kami bahas adalah tentang Perempuan di Ranah Publik serta ancamannya. Diskusi tertutup yang dilakukan oleh AMAN dalam menghimpun ide-ide atau pemikiran dari berbagai sudut pandang ini sengaja dihadirkan agar kami lebih banyak mendengar langsung pendapat dari praktisinya. Tidak sekadar berbekal “katanya”.

Diskusi yang kami lakukan sudah berkali-kali, mulai dari poligami, sampai masalah keperempuanan seperti tema khusus yang akan saya bahas dalam artikel ini. Mengapa perempuan di ranah publik menjadi menarik untuk dikaji?

Perempuan di Ranah Publik

Sebenarnya peran perempuan di ranah publik sudah eksis sejak Islam datang, memuliakan wanita dan memperbaiki adat yang merendahkannya. Dibuktikan dalam sebuah kongres Perempuan Indonesia pertama pada tahun 1928 yang saat itu mengumpulkan seluruh organisasi perempuan di Indonesia dengan tujuan untuk mendiskusikan masalah gender, membentuk hubungan antar organisasi perempuan serta menyamakan suara pembelaan terhadap kepentingan perempuan Indonesia yang ditujukan pada Pemerintah (dalam Womens Movement in Postcolonial Indonesia : Gender and Nation in a New Democracy oleh Elizabeth Martyn, 2004).

Diskusi yang terjadi antar organisasi perempuan tersebut salah satunya membahas tentang poligami. Aisyiyah mendukung poligami dengan argumen bahwa poligami disebutkan dalam AlQuran dan diyakini dapat mencegah laki-laki dari perbuatan zina dengan perempuan yang bukan istrinya. Sedangkan kelompok lainnya ada yang menolak dan ingin menghapuskan poligami dalam tatanan masyarakat.

Pada akhir masa kolonial pun ternyata gerakan perempuan di ranah publik ini sudah masif. Utuh, padat, dan tidak berongga (menurut KBBI). Gerakan perempuan di ranah publik tersebut masih berfokus pada persoalan pernikahan di bawah umur, pendidikan, hak pilih perempuan, dan seputar hukum perkawinan. Hal ini sangat wajar karena memang kita butuh pondasi yang kuat pada persoalan tersebut sebelum melangkah lebih jauh pada persoalan-persoalan yang lain.

Hingga pada 1941, pemerintah mulai memberi perhatian terhadap pendidikan dan hak politik dengan membuka sekolah-sekolah bagi para perempuan muda dan memberikan hak pilih pada perempuan. Keberhasilan ini dapat dicapai karena organisasi-organisasi perempuan tersebut menyuarakannya secara serentak dan masif. Jadi, tidak ada ruginya menyuarakan kebenaran yaa teman bloger. Meski kita tidak akan tahu kapan kebenaran itu akan didengar oleh penguasa. Namun tugas kita sebagai perempuan yang peduli terhadap masa depan bangsa, masa depan anak cucu kita, maka wajib hukumnya untuk perempuan memperjuangkan hak dan menyuarakan kebenaran.

Jaminan Perempuan di Ranah Publik

Salah satu hal yang diberikan oleh Pemerintah untuk perempuan agar ia bisa berkontribusi di ranah publik adalah dengan adanya pendidikan perempuan. Sebagaimana yang telah kita ketahui pada persoalan pendidikan yang dapat ditelusuri melalui kisah Kartini. Karena selama era kolonial, tidak ada sekolah negeri bagi perempuan Indonesia.

jaminan perempuan di ranah publik

Kartini menuliskan bahwa menurutnya yang disebut sebagai gadis modern adalah seorang gadis yang membanggakan dan mandiri. Mandiri maksudnya adalah mereka bekerja bukan hanya untuk kesejahteraan dan kebahagiaannya sendiri, namun untuk kebajikan seluruh umat manusia yang lebih besar.

Sebagaimana yang dilakukan pula oleh Ibunda Aisyah radhiallahu anha yang dikenal sebagai pakar ilmu sepeninggal Rasulullah. Sayyidah Aisyah yang merupakan istri termuda Rasulullah. Beliau dideskripsikan sebagai sosok guru perempuan yang paling pintar sepanjang zaman. Hal tersebut terbukti bahwa Sayyidah Aisyah berhasil meriwayatkan Hadis sebanyak 2210 Hadis. Banyak sahabat dan Salafus Shalih yang menimba ilmu hadis dari Ibunda Aisyah.

Sayyidah Aisyah menjadi pengajar dalam suatu majlis terbuka selepas Rasulullah SAW wafat. Ilmu-ilmu yang dikuasai oleh Sayyidah Aisyah ra didapatkan dari pengalamannya hidup bersama mendampingi Rasulullah SAW. Selama menemani Rasulullah SAW, Sayyidah Aisyah banyak menelaah dan memerhatikan apa saja yang diucapkan, dilakukan dan diajarkan Rasulullah SAW kepadanya.

Meliputi perihal menjadi istri, ibu, kakak perempuan dan ummul mukminin. Selain menguasai ilmu-ilmu agama yang berkaitan dengan kekeluargaan, Sayyidah Aisyah juga menguasai ilmu kedokteran seperti pengobatan-pengobatan herbal pada zaman Rasulullah SAW. Kemudian, Sayyidah Aisyah juga menguasai silsilah Arab dan bait syairrya, ahli tafsir sekaligus ahli hadis yang sangat dipercaya. Bagi sosok Sayyidah Aisyah untuk mempelajari ilmu tidak ada batasan ilmu tertentu untuk dipelajari.

Para sahabat dan tabi’in yang menjadi murid Sayyidah Aisyah berbondong-bondong datang untuk mendengarkan pengajian di kelas beliau. Walaupun Sayyidah Aisyah adalah sosok perempuan, namun beliau tidaklah minder ataupun sungkan untuk mengajarkan ilmu kepada sahabat dan tabi’in yang mayoritas adalah laki-laki. Tentunya masih dengan keanggunan akhlak beliau dan jiwa ummul mukminin yang ada pada dirinya. Sayyidah Aisyah menjadi referensi utama terkait masalah keluarga, wanita dan keseharian Rasulullah SAW. Beliau adalah guru perempuan yang tegas, lembut, penuh keteduhan dan terus menyampaikan kebenaran tanpa rasa malu.

Berdasarkan dari kiprah Sayyidah Aisyah di ranah publik tersebut, khususnya di bidang pendidikan maka dapat dikatakan bahwa Islam telah menjamin keberadaan perempuan di ranah publik. Jika tidak ada peran perempuan di ranah publik seperti sekolah, rumah sakit, hingga keamanan, maka akan sangat sulit layanan publik yang saya tuliskan di atas dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Terkhusus perempuan.

Bagaimana jika tidak ada dokter perempuan? Bagaimana jika tidak ada guru perempuan? Atau bahkan bagaimana jika tidak ada sipir perempuan?

Ancaman bagi Perempuan dan Solusinya

Perempuan yang masuk ke sektor publik tidak harus disertai profesi tertentu seperti berperan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun peran di sektor publik bisa dilakukan dengan mengikuti kegiatan pengajian, posyandu, dan lainnya. Apa yang sudah kita lakukan melalui Nasyiatul Aisyiyah adalah satu langkah tepat untuk eksis di ranah publik. Amar ma’ruf nahi munkar harus dikerjakan bersama-sama. Artinya, baik laki-laki dan perempuan bersama-sama harus mengurus urusan publik maupun domestik.

Minimnya peran perempuan di ranah publik karena adanya implikasi paham ideologis. Misalnya, perempuan tidak dibenarkan masuk ranah publik karena akan mengakibatkan kekacauan. Kekacauan masyarakat dilekatkan sebagai kesalahan perempuan. Selain itu, perempuan menuntut keadilan dan kesetaraan gender dalam semua aturan, kebijakan, program, dan kegiatan publik. Ditambah lagi, peran publik dianggap jadi beban berat untuk perempuan.

Ruang publik saat ini, lebih dekat pada karakter maskulin yang tegas, berani, cekatan/cepat mengambil keputusan. Sektor publik diisi oleh dominan laki-laki. Kekuasaan publik dianggap tidak perlu dan tidak memiliki karakteristik unggul dari feminitas berupa kesabaran, kejujuran, dan kesetiaan. Sementara, kekuasaan publik identik dengan persaingan dan konflik dengan penyelesaian masalah berciri zero sum game.

Tantangan lain yang hadir bagi perempuan di sektor publik adalah dari aspek budaya. Feminitas dianggap sebagai kelemahan, bukan sebagai kelengkapan social engineering. Urusan publik dianggap semata-mata memasyarakatkan maskulinitas, sementara perempuan merupakan incomplete sucject (kekurangan maskulinitas).

Dra. Dewani Romli, M. A. mengatakan bahwa tidak ada larangan bagi perempuan untuk berperan di sektor publik bila dilihat dari kaca mata agama Islam. Bahkan, sejak zaman Rasulullah saw., peran perempuan di sektor publik sudah terjadi sebagaimana yang telah saya ceritakan pada paragraf sebelumnya. Prinsip Islam berupa persamaan antara manusia tanpa mendiskriminasikan perbedaan jenis kelamin,  bangsa, suku, dan keturuan. Semuanya berada dalam posisi yang sejajar. Hal yang dapat meninggikan dan merendahkan kualitas seseorang adalah nilai pengabdiannya dan ketakwaannya kepada Allah (Q.S. Al-Hujurat: 13).

Lemahnya pemberdayaan perempuan, memang tidak bisa terlepas dari historis, pengaruh konsep kultur, ras, politik, dan agama yang berlangsung lama. Kemudian, pengaruh interpretasi/pemahaman agama yang keliru dan mendiskriminatifkan perempuan adalah sangat dominan. Selain itu, nilai-nilai agama yang dianut terkadang tarik-menarik terhadap nilai-nilai budaya.

Dampaknya atau ancamannya adalah ketidakadilan gender, kekerasan, diskriminasi, dan penindasan.

perempuan dan keluarga

Bagaimana solusinya? Kita perlu mencerahkan kesalahan dalam tafsir atas berbagai aturan agama, perlu adanya teori persamaan (musawa), rekonstruksi, dekonstruksi, dan analisis terhadap hal-hal yang mengarah pada misogini (mendiskreditkan perempuan). Yang perlu kita lakukan adalah mencari titik temu negosiasi. Harapannya, titik temu tersebut dapat melahirkan kemungkinan untuk merekonstruksi makna-makna yang telah mapan dimulai dalam institusi keluarga.

Bagaimanapun, keluarga adalah titik krusial yang harus dibentengi atau dibekali oleh ilmu dan keterampilan untuk menghadapi ancaman bagi perempuan tersebut.

Sharing di sini yuk, bagaimana menurut teman bloger?

Referensi :
Al-Quran
Feminisme Muslim di Indonesia oleh Alimatul Qibtiyah