Poligami? Seringkali kata ini menjadi momok tersendiri untuk dibahas baik oleh laki-laki maupun perempuan.

Laki-laki memang diciptakan berbeda dengan perempuan. Baik dilihat dari bagaimana perubahan perilakunya maupun psikologisnya. Perempuan memiliki masa istimewa, masa haid yang dipengaruhi oleh berbagai hormon, yang secara tidak langsung memengaruhi juga kondisi emosionalnya.

Dari Crawford, Kippax, Onyx and Benton (1992) dipahami bahwa perempuan lebih banyak menampilkan ketakutan dan kesedihan dibandingkan laki-laki yang lebih banyak menampilkan kemarahan. Perempuan juga lebih mudah dikenali emosinya dari eskpresi raut muka dan pengungkapan yang terucap. Perempuan mengharapkan dan menganggap bahwa mereka akan dirawat dan diperlakukan dengan baik, sebaliknya juga mereka beranggapan bahwa mereka harus bertanggung-jawab terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain (well-being). Sehingga cenderung berekspresi apa adanya ketika berada dalam emosional yang tidak sesuai dengan harapan dan anggapan mereka.

Begitu juga hasil penelitian Crawford (1992) menunjukkan bahwa adanya perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam dimensi expressive suppression meskipun masih bisa diteliti lebih jauh lagi. Pengaruh ketidaksadaran dalam regulasi emosi yang mengarahkan laki-laki untuk lebih menekan dan melupakan pengalaman emosinya daripada perempuan.

Sedangkan dari segi kehidupan seksualitasnya, tentu saja perempuan lebih rentan terkena penyakit kelamin dibanding laki-laki. Secara anatomi, bentuk kemaluan pria dan wanita berbeda. Organ eksternal pria tidak terlalu terbuka lebar. Pada wanita area vulva lebih terbuka dengan lebar sehingga membuat infeksi mudah masuk.

Saat perkuliahan di jurusan Biologi dulu, dosen saya selalu berpesan berulang-ulang pada kami, para wanita, bahwa bentuk fisiologis kemaluan wanita memiliki lingkungan dan bentuk kulit serta kelenjar yang sangat sensitif. Kondisi ini menyebabkan wanita mudah sekali mengalami infeksi kalau sampai ada masalah pada kelembapan, pH, atau luka. Infeksi ini mungkin bisa segera diatasi. Namun, dengan risiko yang lebih besar, wanita bisa dengan mudah mengalaminya berulang-ulang setiap bulannya. Sudah punya gambaran bukan mengapa Allah mengharamkan poliandri?

Bahkan untuk seorang wanita yang baru bercerai dengan suaminya saja harus melalui masa iddah sedikitnya 3 quruโ€™ (kurang lebih 3 bulan). Hikmah di balik semua ini adalah juga untuk memperjelas nasab bakal anaknya juga nantinya. Karena footprint yang ditinggalkan laki-laki pada wanita saat kawin tidak akan hilang sebelum tiga bulan. Setelah tiga bulan dari hari terakhir kawin, jejak yang ditinggalkan pria pada tubuhnya akan hilang dan siap untuk menyambut jejak baru.

Alasan di atas cukuplah sebagai dasar ilmiah mengapa Islam membolehkan poligami, tidak poliandri. Bisa dibayangkan bagaimana jika seorang istri punya suami lebih dari satu. Sebagai seorang wanita saya cukup mengerti dan ingin berpikir obyektif. Bahwa fitrah sebagai wanita memang memiliki kecenderungan perasaan pada satu pria saja. Lihat, bagaimana sikap wanita ketika diputus oleh salah satu pasangannya, sudah pasti galaunya berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, hingga bertahun-tahun. Barulah ia bisa memandang pria lain.

Meskipun ada juga wanita yang bisa membagi hatinya untuk beberapa pria, namun perbandingannya tentu tidak sebanyak pria yang dapat membagi hatinya untuk beberapa wanita.

Pernah ada kisah sukses tentang Poligami yang pernah saya baca dan dengar. Begitu juga dengan kisah ketidaksuksesan mereka untuk berlaku adil, sehingga rumah yang mereka bangun akhirnya menjadi retak, runtuh dan hancur berantakan. Menyisakan puing-puing yang melukai anak-anak sebagai amanah Allah yang diberikan pada mereka.

Poligami yang terjadi saat ini seringkali karena nafsu belaka. Bagaimana tidak? Istri kedua, ketiga dan keempat lebih cantik dan lebih muda. Sangat jarang saya temui istri kedua, ketiga dan keempat adalah janda miskin atau yatim piatu yang lebih tua dari istri pertama. Kemanfaatannya lebih sedikit dibanding kemudharatannya. Maka tidak bisa disalahkan juga bagaimana stigma negatif masyarakat terutama wanita itu sendiri terhadap poligami.

poligami

pict from unsplash.com/@marchisere

Begitu juga sebagai penyuluh yang banyak bersinggungan dengan persoalan perempuan, saya juga beberapa kali menemui wanita-wanita yang menjadi istri kedua. Bagaimanakah rasanya? Mereka baik-baik saja, selama cemburu tidak mengendalikan pikiran dan hati mereka. Masih banyak hal yang bisa mereka kerjakan dan mereka capai selain soal percintaan. Soal hati atau soal condongnya suami mereka kepada salah satu wanita yang dimiliki. Kata seorang kawan, kita tidak akan bisa mengukur kebahagiaan seseorang. Mungkin dari luar kita memandang tentu hidupnya menyakitkan karena diduakan. Ternyata tidak juga, bahkan ia bahagia. Selama bukan gilirannya, ia bisa lebih produktif melakukan hal-hal yang ia senangi, bersosialisasi, atau melakukan apa saja yang disukai.

Di tengah-tengah kehidupan saya ada yang menjadi seorang yang utama dan pertama. Ada juga yang menjadi kedua. Namun kita harus tahu bahwa keduanya adalah perempuan, sama seperti posisi kita. Penghakiman kita pada perempuan yang menjadi istri kedua, ketiga atau keempat tidak akan membuat posisi istri pertama menjadi lebih baik. Seringkali orang luarlah yang membuat kondisi rumah tangga seseorang semakin panas dan parah, hingga terjadi perceraian.

Perempuan-perempuan seperti saya yang menganut monogami memang selalu mengatakan bahwa untuk selalu berlaku adil itu sangatlah sulit. Meskipun lelaki itu menyediakan rumah yang sama warna dan bentuknya pada kedua, ketiga atau keempat istrinya. Namun, pandangan saya berubah ketika bertemu dengan beberapa orang yang menjadi istri kedua, atau ketiga. Entah mengapa hati bergetar mendengar ceritanya, karena mungkin kami sama-sama perempuan.

โ€œSaya memahami posisi saya sebagai yang kedua. Saya sadar bahwa saya tidak akan pernah menggantikan istri pertama.โ€

Kata seseorang yang sudah bertahun-tahun menjadi istri kedua. Tidak hanya perkataan itu saja yang ditegaskan, tapi juga tingkah laku dan perbuatannya jua. Bahkan untuk urusan uang pun, ia memilih untuk meminta pada istri pertama daripada langsung pada suaminya. Sebagai adabnya untuk menghormati istri pertama.

Masalah pokok poligami tentu saja ada pada praktisinya. Sehingga poligami seringkali dipandang sebagai hal negatif dan seolah membuka pintu lebar-lebar pada lelaki yang ingin memiliki istri lebih dari satu tanpa ilmu.

Kata Aa Gym, poligami adalah salah satu cara kita mentauhidkan Allah. Tidak terlalu mencintai suami, yang tentu adalah titipan Allah juga. Poligami juga salah satu ujian diri kita sebagai seorang perempuan.

Baca lanjutannya diย Siapkah Dipoligami? (2)

Sumber Jurnal : Crawford, J., Kippax, S., Onyx, J., Gault,U., and Benton, P (1992) Emotion and Gender : Constructing Meaning from Memory. London, Sage.