“Saya tawarkan padanya, tahun pertama, kedua, ketiga, keempat hingga kelima. Jawabannya tetap sama. Tidak. Aku tidak butuh yang kedua. Namun yang terjadi adalah di tahun kedelapan, saya merasa ada sesuatu yang tidak beres pada dirinya. Entah itu adalah firasat seorang wanita, ibu, sekaligus istri. Benar adanya, ternyata dia sudah memiliki anak lelaki dengan wanita lain. Yang paling menyakitkan adalah semua itu terjadi di belakang saya. Tanpa sepengetahuan istrinya.”

 

Tutur seorang wanita mengenai kehidupannya beberapa tahun terakhir ini sebagai istri pertama.

 

“Sebagai orang yang paham agama, saya tidak pernah mengingkari syariat Allah berupa poligami. Saya bahkan menawari suami saya. Namun dari tahun ke tahun jawabannya tetap sama. Hingga datanglah kebenaran menyakitkan itu. Satu atau dua tahun saya bertahan sebagai istri pertama. Namun selama itu pula dia tak bisa berbuat adil pada kami (saya dan anak-anak). Karena itulah kemudian saya meminta cerai. Bukan karena poligaminya, tapi karena sikapnya pada kami.” Lanjutnya.

 

Wanita itu tak menampakkan kesedihan barang sejenak saja saat cerita itu keluar dari mulutnya. Menangis pun tidak. Yang membuat ikut teririsnya hati ini, bertambah-tambah justru karena ketegaran dan kekuatannya sebagai wanita.

Kasus tersebut mungkin saja tidak terjadi hanya pada Ibu A. Setiap wanita punya peluang diduakan, mau itu secara baik-baik atau diam-diam. Karena kita tidak bisa mengendalikan hati seseorang, hanya Allah lah pemilik dan penggenggam hati manusia. Antisipasinya sebagai wanita, Ibu A adalah seorang wanita berpendidikan, cerdas, dan terampil. Bisa dikatakan, ketika memutuskan bercerai dengan suaminya, Ibu A sudah punya planning B untuk masa depannya dan anak-anaknya. Ia bisa mengusahakan kemandiriannya secara finansial, sehingga ketika suaminya tak mau memenuhi hak anaknya, Ibu A bisa menghandle sendiri. Tanpa bergantung pada laki-laki.

 

Begitu banyak kisah poligami yang justru gagal sebelum mencapai tujuan. Namun tidak bisa dipungkiri pula ada juga kisah yang sukses. Setidaknya hingga saat ini.

Hukum asal poligami dalam Islam berkisar antara ibaahah (mubah/boleh dilakukan dan boleh tidak) atau istihbaab (dianjurkan).

Adapun makna perintah dalam firman Allah Ta’ala,

{وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ}

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat” (QS an-Nisaa’:3).

Perintah Allah dalam ayat ini tidak menunjukkan wajibnya poligami, karena perintah tersebut dipalingkan dengan kelanjutan ayat ini, yaitu firman-Nya,

{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا}

Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa’:3).

Maka dengan kelanjutan ayat ini, jelaslah bahwa ayat di atas meskipun berbentuk perintah, akan tetapi maknanya adalah larangan, yaitu larangan menikahi lebih dari satu wanita jika dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil.

 

Namun perlu kita ketahui juga sebab turunnya ayat tersebut, bahwa perintah Allah dalam ayat tersebut jangan dijadikan legitimasi untuk melakukan poligami tanpa sebab yang ada pada rumah tangganya. Sebab turunnya ayat itu berasal dari sebuah cerita seorang sahabat Nabi yang memiliki istri sembilan hingga sepuluh atau bahkan ada juga yang lebih dari 10. Ia tak dapat berlaku adil dan hanya condong pada beberapa diantaranya.

 

Surat An-Nisa ayat 3 dipahami oleh sebagian ulama bukan sebagai perintah untuk poligami, tetapi sekadar membolehkannya. Surat An-Nisa ayat 3 justru ingin membatasi jumlah istri masyarakat Arab dan masyarakat lainnya yang ketika itu tidak ada batasan. Bayangkan, tidak ada batasan! Jika kita melihat sejarah, banyak juga Raja-Raja di Nusantara kita ini dulu memiliki istri dan selir belasan, bahkan puluhan. Surat An-Nisa ayat 3 membatasi jumlah maksimal istri hanya empat dari jumlah tak terhingga sebelumnya, bukan menganjurkan menambah istri dari satu hingga empat perempuan.

 

Dari faktor sosio-historis perkawinan bangsa Arab saat itu, Surat An-Nisa ayat 3 dimaknai oleh para ulama sebagai kebolehan, bukan perintah poligami sebagai keterangan Syekh M Khudhari berikut.

“Di kalangan masyarakat Arab zaman itu tidak ada batasan terkait bilangan istri. Seorang pria Arab zaman itu dapat beristri 10 perempuan sehingga Al-Qur’an menetapkan batasan moderat, lalu Al-Qur’an membolehkan poligami bagi mereka yang tidak khawatir berlaku zalim dalam memperlakukan istrinya sebagaimana firman Allah pada Surat An-Nisa ayat 3,” (Syekh M Khudhari, Tarikhut Tasyri‘ Al-Islami, [Beirut, Darul Fikr: 1995 M/1415 H], halaman 42). Syekh M Khudhari menambahkan bahwa dalam pandangan Allah sebagai pembuat syariat poligami bukan syiar fundamental Islam yang harus diamalkan. Masih ada syiar-syiar lain yang lebih mendesak dan penting sifatnya.

 

Saya juga belum bisa mengatakan manakah bangunan rumah tangga paling ideal? Monogami atau Poligami? Kembali lagi pada praktisinya. Tidak sedikit rumah tangga dengan monogami juga dibumbui dengan kekerasan dalam rumah tangga, penghianatan, dan masih banyak lagi hal-hal yang membuat rumah seperti neraka.

 

Lalu masih banyak lagi contoh keluarga yang baik-baik saja tanpa poligami meskipun menurut orang lain keluarganya penuh lubang.

Begitu juga dengan poligami. Maka bukan salah syariatnya, namun praktisinya atau pelakunya.

 

Kalau saya sendiri sih, tidak anti poligami. Bahkan saya pernah menawarkan pada suami untuk menikah lagi karena kekurangan yang saya punya. Kekurangan yang membuat rumah tangga benar-benar dalam kondisi darurat.

Tapi seorang kawan pernah berkata bahwa pernikahan tidak hanya persoalan untuk mendapatkan keturunan. Bukan perkara anak atau kebutuhan seksual semata.Tapi lebih dari itu. Motivasi apa yang kita punya saat menikah? Mari kita renungkan bersama-sama dengan pasangan.