“Halo Monyet!”
Door!

Senjata serbu meledak di kepala Atino. Tiga tentara muncul dari ruang belakang.

“Aman.”

Sesudah mengamankan perimeter dan berbicara cukup lama dengan Martin Kabiti, tentara-tentara itu pun pulang. Keesokan harinya, tersiarlah kabar yang sampai hari ini selalu dikisahkan turun-temurun itu, di gereja dan di Toko Subur, di kelas dan di musim hujan.

Oetimu adalah suatu wilayah kecil di pelosok Nusa Tenggara Timur. Masa itu adalah paruh kedua 1990an, dan kejadian-kejadian di wilayah Indonesia selebihnya mau tak mau berdampak kepada kehidupan sosial orang-orang di kampung terpencil itu. Kolonialisme Indonesia di Timor Timur kian disorot dunia Internasional, sementara warisan kekerasan antara militer Indonesia dan gerilyawan Fretilin ikut menyebar ke wilayah sekitarnya.

Membaca novel ini ada satu waktu yang membuat saya jijik hingga ingin muntah, ada juga bagian yang membuat hati terasa teriris-iris karena kisah hidup Silvy dan Maria. Ada juga bagian yang membuat saya tertawa hingga saya baca ulang kelucuan itu. Isinya komplit, nano-nano. Manis asam asin. Lah jadi iklan.

Orang-Orang Oetimu benar-benar memberikan wawasan serta cerita dari sudut pandang yang berlainan. Kami sebagai orang Jawa yang banyak diperbincangkan di sana sebagai penjajah, kolonialis, dan lain sebagainya tentu tidak tahu bagaimana alasan sebenarnya di balik penyebutan itu. Namun membaca Orang-Orang Oetimu saya jadi mengerti, selama ini mereka termajinalkan. Bagian yang sedikit mengganggu adalah ketika diceritakan iklan-iklan di televisi menampakkan model-model dari Jawa. Seolah kecantikan dan keeksotisan wanita itu mengacu pada wanita-wanita yang hidup di Jawa. Berkulit putih, rambut lurus, dengan senyum yang memamerkan gigi-gigi tonggosnya (ini kata Felix yah) haha. Sehingga banyak wanita-wanita Oetimu merasa harus menjadi cantik dengan meniru mereka yang ada di Jawa.

Terlebih lagi persoalan pendidikan yang mungkin hingga sekarang tak kunjung tuntas.

Felix dengan sangat berani menceritakan bagaimana bejatnya Romo-romo Gereja sebenarnya. Nada satirenya yang dituliskan melalui tokoh Maria membuat saya kembali sadar bahwa perilaku manusia selalu dilatar belakangi oleh kepentingan-kepentingan. Hanya berapa orang yang sadar dan tulus untuk menjadi pelayan Tuhan seutuhnya? Praktek-praktek mesum para Romo membuat Maria tidak percaya lagi pada gereja. Tidak lagi percaya pada laki-laki. Sebuah kritik untuk budaya patriarki yang mengakar dalam kehidupan banyak manusia.

Kritik pada kesewenang-wenangan aparatur negara pada rakyat tak berpunya juga disampaikan secara gamblang dan menyakitkan oleh Felix. Perlu diketahui juga oleh mereka, orang-orang Oetimu bahwa nasib rakyat yang termajinalkan di wilayah Jawa juga tak jauh berbeda dengan mereka. Kami juga punya orang-orang yang tak bisa melanjutkan sekolah karena uang. Kami juga punya anak-anak cerdas yang terpaksa harus menjadi petani bawang merah sejak usianya tujuh tahun ketimbang harus melanjutkan sekolahnya karena uang. Siapa sih yang tidak tahu bahwa di Negeri ini untuk menjadi pintar itu butuh banyak uang? Kecuali nasib baik berpihak padanya, dengan kemungkinan satu dibanding seribu untuk mendapatkan beasiswa, mungkin?

Selama ini mereka membawa beban yang tak ringan sebagai bagian dari Negeri ini. Namun siapa yang peduli?

Novel ini mengungkap segala yang terjadi pada masyarakat Timor Barat dengan berbagai kepelikannya, dimana gereja, tentara dan Negara berperan besar dalam kehidupan sosial mereka.

Sebagai penutup Felix menyuguhkan ungkapan menggelitik yang mungkin ada benarnya juga untuk direnungi.

“Dahulu semua hal baik-baik saja,” begitu katanya sebelum membuang ludah sirih-pinang dan melanjutkan, “sejak orang-orang mulai berani melawan Bapak Soeharto, mulai berani melakukan demonstrasi, banyak kemalangan yang melanda kita. Biar saya kasih tahu ya? Bapak Soeharto adalah titisan raja-raja Tanah Jawa. Sumpah. Saya pernah membacanya di koran. Intinya, Tuhan dan sekalian leluhur mendukung Soeharto. Jika ada yang melawannya, dunia akan menjadi kacau balau.”

Saya pun bergumam, “ada benarnya juga ya,” kemudian saya tutup buku ini dengan perasaan campur aduk. Masih belum bisa move-on dari tokoh Maria, Silvy, Sersan Ipi, Atino, Martin Kabiti, dan Romo Yosef yang kisahnya begitu memilukan. Apakah kejadian di Oetimu akan berakhir dengan baik-baik saja?

Orang-orang Oetimu, oleh Felix K. Nesi

Penerbit Marjin Kiri, Cetakan Kedua September 2019, 220 halaman

4/5