Ketika diketahui satu batalyon TNI/APRIS yang berkekuatan seribu orang, di bawah komando Mayor H. V. Worang sedang dalam perjalanan ke Sulawesi Selatan, unsur federalis dalam pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT) memutuskan untuk mengambil tindakan preventif. Bekas menteri kehakiman NIT, Soumokil, yang tampaknya mengabaikan nasihat Presiden, meyakinkan Andi Azis bahwa pendaratan batalyon TNI/APRIS harus dicegah dengan kekerasan untuk mempertahankan NIT. Pada tanggal 5 April 1950 waktu Subuh, pasukan Andi Azis dengan bantuan sekitar 300 prajurit KNIL, menyerang barak-barak CPM dan markas staf TNI.

Pada tanggal 13 April sore hari, Andi Azis dicap sebagai pemberontak; tanggal 14 April, Mokoginta mengawalnya ke Jakarta, setelah secara jujur memberi jaminan atas keselamatannya. Tetapi, setibanya di Jakarta, Andi Azis segera ditahan; dia diadili pada bulan Maret dan April 1953, dan dihukum 14 tahun penjara.

Pemerintah adalah sehebat-hebatnya pembohong. Benarlah kata Andi Upe bahwa kau boleh percaya kepada pencuri, tetapi jangan sekali-kali percaya kepada pemegang kekuasaan.

(Tiba Sebelum Berangkat, halaman 36)

Sementara masih banyak perlawanan dari berbagai daerah untuk berdiri sendiri, tidak menggantungkan hidup mereka pada satu negara yang merengkuh kemerdekaan dengan berdarah-darah, ada juga yang sangat mencintai negaranya yang sudah lama merdeka ini. Meskipun banyak hal buruk terjadi padanya pasca kemerdekaan. Meskipun kakeknya pernah dibunuh oleh tentara negeri ini. Meskipun ubi jalar hasil panen kebun keluarganya selalu dirampas oleh TII. Meskipun neneknya pernah diperkosa oleh utusan orang-orang tak dikenalnya. Meskipun ia tahu pada akhirnya bahwa orang tua yang merawatnya selama ini, bukan orang tua kandungnya. Ia tetap merasa harus optimis dengan nasib negerinya, juga nasib dirinya.

Walida, begitu namanya dipanggil oleh orang-orang di sekitarnya.

Tulisan ini telah dimuat di media lain.